Konflik Palestina vs Israel
Sampai Kini Israel Tak Akui Bunuh Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh, Adakah Dalang Lain?
Israel sudah mengakui pembunuhan petinggi Hizbullah, Fuad Shukr. Namun hingga kini tidak mengakui pembunuhan Haniyeh. Adakah dalang lain?
Penulis: Sara Masroni | Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM - Israel walau sudah mengakui pembunuhan petinggi kelompok pejuang Islam Hizbullah, Fuad Shukr. Namun hingga kini tidak mengakui pembunuhan Haniyeh. Adakah dalang lain?
Diketahui Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah mengklaim bertanggung jawab atas pembunuhan Shukr.
Namun Israel belum secara resmi mengomentari pembunuhan Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh yang dituduhkan Hamas, Iran dan sekutu mereka.
"Kami menyerang pada Selasa malam di Lebanon dan menewaskan Fuad Shukr dalam serangan udara yang akurat," kata Juru Bicara IDF, Laksamana Muda Daniel Hagari dilansir dari Times of Israel, Kamis (1/8/2024) malam.
Baca juga: Israel Cemas, IDF Siaga Tingkat Tinggi Nantikan Serangan Mematikan Lebanon dan Iran
Baca juga: IDF Kacau, Rencana Serangan Balasan ke Lebanon Buyar usai Pangkalan Militer Israel Diserbu
Selanjutnya ketika ditanya tentang Haniyeh, Jubir IDF menegaskan tak ada rudal malam itu ke seluruh Timur Tengah.
"Saya ingin menekankan, tidak ada serangan udara lain, tidak ada rudal dan tidak ada pesawat nirawak Israel di seluruh Timur Tengah malam itu," ungkap Hagari.
"Dan saya tidak akan berkomentar lebih lanjut," tambahnya.
IDF Siaga Tingkat Tinggi Nantikan Serangan Lebanon-Iran
Di sisi lain, IDF kini siaga tingkat tinggi menantikan serangan balasan Iran dan Lebanon atas terbunuhnya para pemimpin kelompok pejuang Islam Hamas serta Hizbullah.
IDF mengatakan, pihaknya berada dalam "kesiagaan tinggi" karena negara itu bersiap untuk menanggapi pembunuhan pemimpin Hizbullah di Beirut dan Hamas di Teheran minggu ini.
Meski demikian, juru bicaranya mengklaim bahwa militer tahu bagaimana menangani ancaman apa pun.
Baca juga: Israel Bunuh Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh, Media AS New York Times: Keamanan Iran Memalukan
Sementara Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu berbicara dengan Presiden AS Joe Biden menekankan komitmen Amerika untuk mempertahankan keamanan Israel “dari semua ancaman dari Iran.”
Menurut Gedung Putih, keduanya membahas pengerahan militer AS yang baru untuk melindungi dari kemungkinan serangan rudal balistik dan pesawat nirawak.
Petinggi Iran Perintahkan Serangan Langsung ke Israel
Sementara diberitakan sebelumnya, Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei kabarnya memerintahkan serangan langsung ke Israel usai Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh terbunuh.
Dilansir dari New Work Times, Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei telah mengeluarkan perintah bagi Iran untuk menyerang Israel secara langsung, sebagai balasan atas pembunuhan pemimpin Hamas itu di Teheran, Rabu (31/7/2024)
Tiga pejabat Iran yang diberi pengarahan tentang perintah tersebut mengatakan, Khamenei memberikan perintah pada pertemuan darurat Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran pada Rabu pagi, tak lama setelah diumumkan Haniyeh terbunuh.
Ketiga pejabat Iran, termasuk dua di antaranya anggota Garda Revolusi itu meminta agar nama mereka tidak dipublikasikan karena tidak berwenang untuk berbicara di depan umum.
Iran dan Hamas menuduh Israel atas pembunuhan tersebut. Sementara Israel yang tengah berperang dengan Hamas di Jalur Gaza, tidak mengakui atau membantah pembunuhan Haniyeh, yang berada di Teheran untuk menghadiri pelantikan presiden baru Iran.
Israel memiliki sejarah panjang dalam membunuh musuh di luar negeri, termasuk ilmuwan nuklir dan komandan militer Iran.
Selama hampir 10 bulan perang di Gaza, Iran telah mencoba untuk mencapai keseimbangan, memberikan tekanan pada Israel dengan meningkatkan serangan secara tajam oleh sekutu dan pasukan proksinya di wilayah tersebut, sambil menghindari perang habis-habisan antara kedua negara.
Pada April lalu, Iran sempat melancarkan serangan terbesar dan paling terbuka terhadap Israel dalam beberapa dekade permusuhan.
Iran meluncurkan ratusan rudal dan pesawat nirawak sebagai balasan atas serangan Israel terhadap kompleks kedutaannya yang menewaskan beberapa komandan militer di Damaskus, Suriah.
Namun, unjuk kekuatan itu pun sudah diketahui jauh sebelumnya, hampir semua senjata ditembak jatuh oleh Israel dan sekutunya, dan hanya sedikit kerusakan yang terjadi.
Sekarang tidak jelas seberapa kuat Iran akan menanggapi, apakah Iran akan sekali lagi mengkalibrasi serangannya untuk menghindari eskalasi.
Komandan militer Iran sedang mempertimbangkan serangan kombinasi lain dengan pesawat nirawak dan rudal terhadap target militer di sekitar Tel Aviv dan Haifa.
Tetapi pihaknya akan berusaha menghindari serangan terhadap target sipil, demikian kata pejabat Iran.
Salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan adalah serangan terkoordinasi dari Iran dan front lain tempat Iran memiliki pasukan sekutu, termasuk Yaman, Suriah, dan Irak, untuk efek maksimal, kata mereka.
Khamenei yang memegang keputusan akhir dalam semua masalah negara dan juga panglima tertinggi angkatan bersenjata, menginstruksikan komandan militer dari Garda Revolusi dan angkatan darat untuk menyiapkan rencana serangan dan pertahanan jika perang meluas dan Israel atau Amerika Serikat menyerang Iran, kata para pejabat.
Dalam pernyataan publiknya tentang kematian Haniyeh, pemimpin tertinggi Iran itu mengisyaratkan bahwa pihaknya akan membalas dendam secara langsung.
"Kami melihat pembalasan atas darahnya sebagai tugas kami," kata Khamenei.
Karena hal itu terjadi di wilayah Republik Islam, dia mengatakan Israel telah menyiapkan panggung untuk menerima hukuman berat.
Pernyataan dari pejabat Iran lainnya, termasuk presiden baru, Masoud Pezeshkian, kementerian luar negeri, Garda Nasional dan misi Iran untuk PBB, juga mengatakan secara terbuka bahwa Iran akan membalas terhadap Israel dan bahwa Israel memiliki hak untuk membela diri terhadap pelanggaran terhadap kedaulatannya.
Iran dan pasukan regional yang didukungnya termasuk Hamas, Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, dan sejumlah milisi di Irak, membentuk apa yang mereka sebut sebagai poros perlawanan.
Para pemimpin kelompok tersebut berada di Teheran untuk menghadiri pelantikan Pezeshkian pada Selasa kemarin.
Sementara Haniyeh dibunuh pada Rabu, sekitar pukul 2 pagi waktu setempat setelah menghadiri upacara dan bertemu dengan Khamenei.
Pembunuhan itu mengejutkan para pejabat Iran, yang menggambarkannya sebagai tindakan melewati batas merah.
Tak Jaga Keamanan Haniyeh, Iran Memalukan
Sementara New York Times dalam laporannya menuliskan, peristiwa itu adalah pelanggaran keamanan yang memalukan bagi sebuah negara yang ingin menunjukkan kekuatan, tetapi telah lama frustrasi karena ketidakmampuannya untuk mencegah Israel melakukan operasi rahasia di wilayahnya.
Rasa malu itu diperparah oleh keunggulan Haniyeh, kehadiran sekutu lainnya dan fakta bahwa ia diserang di wisma tamu Garda Revolusi yang sangat aman pada hari dengan keamanan yang diperketat di ibu kota.
Banyak pendukung pemerintah dan pejabat Iran menyatakan kemarahan atas kegagalan menggagalkan pembunuhan tersebut dengan mengatakan hanya segelintir pejabat keamanan senior yang tahu di mana Haniyeh tinggal.
Beberapa orang menggunakan media sosial untuk mengatakan bahwa prioritas pertama Iran seharusnya adalah membersihkan rumah dan memastikan keselamatan pejabat seniornya.
“Sebelum membalas dendam, pastikan dulu keselamatan pemimpin tertinggi,” kata Alireza Katebi Jahromi, seorang jurnalis dan pendukung pemerintah Iran dalam sebuah posting di X.
Pejabat Iran tidak memandang pembunuhan Haniyeh sebagai sekadar pembunuhan oportunistik Israel terhadap salah satu musuhnya
Tetapi juga sebagai penghinaan terhadap aparat keamanan mereka yang menunjukkan siapa pun di Iran, di tingkat mana pun, dapat menjadi sasaran dan dibunuh.
Para analis mengatakan, Iran memandang pembalasan sebagai hal yang diperlukan baik untuk membalas pembunuhan Haniyeh.
Tetapi juga sebagai pencegahan terhadap Israel yang membunuh musuh-musuh kuat lainnya, seperti Hassan Nasrallah pemimpin Hizbullah, atau Jenderal Ismail Qaani komandan Pasukan Quds yang mengawasi kelompok-kelompok militan di luar Iran.
"Iran kemungkinan besar percaya bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain membalas untuk mencegah serangan Israel lebih lanjut," kata Direktur International Crisis Group untuk Iran," Ali Vaez.
"Mempertahankan kedaulatannya, dan menjaga kredibilitasnya di mata mitra regionalnya," pungkasnya.
Turki: Genosida Netanyahu akan Berakhir seperti Masa Hitler
Sementara pada kesempatan berbeda, diberitakan sebelumnya Kementerian Luar Negeri Turki dalam sebuah pernyataan mengungkapkan, genosida (pembunuhan besar-besaran suatu bangsa atau ras) yang dilakukan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu akan berakhir seperti masa Hitler.
"Sebagaimana berakhirnya genosida yang dilakukan Hitler, demikian pula genosida Netanyahu akan berakhir," tulis pernyataan Kemlu Turki dilansir dari Anadolu Agency, Senin (29/7/2024).
"Sama seperti Nazi yang melakukan genosida dituntut pertanggungjawaban, mereka yang berusaha menghancurkan Palestina juga akan dimintai pertanggungjawaban," sambungnya.
Kemlu Turki itu mengatakan, semua pihak akan berpihak pada Palestina, negara ini tidak dapat dihancurkan.
"Umat manusia akan berdiri bersama Palestina. Kalian tidak akan dapat menghancurkan Palestina," tambahnya.
Sementara Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan mengatakan, Presiden Turki Erdogan telah menjadi suara bagi hati nurani umat manusia.
"Mereka yang berusaha membungkam suara yang adil ini, terutama kalangan Zionis internasional termasuk Israel, berada dalam keadaan panik yang besar,” ucap Fidan dalam unggahan di platform X.
"Sejarah telah berakhir dengan cara yang sama bagi semua pelaku genosida dan pendukung mereka," imbuh dia.
Pernyataan dari pejabat Turki itu muncul setelah Menlu Israel, Israel Katz melontarkan pernyataan yang memfitnah dan menghina Presiden Recep Tayyip Erdogan di media sosial.
Israel Makin Terisolasi: Dibenci Dunia, Diusir Mahkamah Internasional
Sebelumnya diberitakan, Israel semakin terisolasi. Dibenci dunia karena genosida yang dilakukan dengan membunuh warga sipil, perempuan dan anak kecil, kini diusir Mahkamah Internasional karena menduduki wilayah Palestina secara ilegal.
Mahkamah Internasional (ICJ) mengusir atau meminta Israel angkat kaki dari wilayah Palestina karena sudah melanggar hukum.
Dilansir dari Anadolu Agency, keputusan pengadilan tinggi PBB soal pendudukan Israel atas wilayah Palestina dapat mengubah kalkulasi politik di Barat.
Selain itu dapat membuat Israel lebih terisolasi dalam hubungan internasional menurut para ahli hukum.
Diketahui Hakim Ketua ICJ, Nawaf Salam memutuskan, keberadaan Israel di Wilayah Palestina adalah ilegal.
"Pengadilan memutuskan keberadaan Israel di Wilayah Palestina adalah ilegal," kata Nawaf Salam di Den Haag, Jumat (19/7/2024).
Sebanyak 52 negara menyampaikan argumen mereka di ICJ dengan mayoritas mendukung pandangan bahwa kebijakan Israel di wilayah pendudukan melanggar hukum internasional.
Pendapat pengadilan tersebut tidak akan mengikat secara hukum, tetapi memiliki pengaruh politik yang besar.
Gerhard Kemp, seorang profesor di University of the West of England, Bristol, percaya hasil yang paling mungkin adalah pendapat bahwa Israel secara tidak sah menduduki wilayah Palestina.
“Selain itu, ada kemungkinan ICJ akan menyampaikan pendapatnya tentang kebijakan apartheid Israel yang diberlakukan terhadap rakyat Palestina di OPT (Wilayah Pendudukan Palestina),” ungkap Kemp kepada Anadolu.
Hal ini, kata dia, akan menguntungkan perjuangan penentuan nasib sendiri Palestina secara politik dan diplomatik.
"Jelas tidak akan diterima dengan baik di Israel. Dalam jangka pendek atau bahkan menengah, saya tidak berpikir pendapat penasihat tersebut akan berdampak langsung pada perilaku Israel, tetapi mungkin membantu mengubah kalkulasi politik di Barat," ujar Kemp.
Israel Terisolasi
Sementara Pakar Hukum Internasional Universitas Westminster, Marco Longobardo mengatakan, pendapat ICJ menjadi instrumen yang ampuh untuk memperjelas kerangka hukum pendudukan Israel.
"Lebih dari sekadar masalah permanensi, inti permasalahannya adalah apakah pendudukan itu sah. Jika pengadilan menyatakan bahwa seluruh pendudukan itu melanggar hukum, ini akan mempersulit negara ketiga untuk mendukung pendudukan Israel yang sedang berlangsung," kata dia kepada Anadolu.
“Berurusan dengan praktik Israel di wilayah pendudukan mungkin menjadi 'radioaktif' dalam hubungan internasional. Lebih banyak negara mungkin memutuskan untuk tidak mendukung Israel, khususnya di bidang kerja sama ekonomi dan pertahanan.”
Meski Tel Aviv kemungkinan besar akan mengabaikan pendapat tersebut, hal itu tetap berdampak ke Israel.
"Membuat Israel semakin terisolasi dalam hubungan internasional," tegas Longobardo.
Longobardo menjelaskan bahwa pengadilan tinggi PBB akan membahas “legalitas seluruh pendudukan wilayah Palestina oleh Israel berdasarkan hukum humaniter internasional, hukum hak asasi manusia internasional, prinsip penentuan nasib sendiri masyarakat, dan aturan hukum internasional lainnya.”
Secara formal, pendapat tersebut tidak mengikat negara karena tidak ditujukan kepada negara.
"Namun, temuan hukum dari pendapat penasihat memiliki kewenangan signifikan karena pendapat tersebut diberikan oleh badan peradilan utama PBB," tegas Longobardo.
Longobardo, yang telah menulis buku berjudul The Use of Armed Force in Occupied Territory, juga percaya waktu munculnya pendapat tersebut sangat penting dalam konteks saat ini.
“Jalur Gaza adalah bagian dari wilayah Palestina dan berada di bawah pendudukan Israel. Israel tidak mengakui tanggung jawabnya sebagai kekuatan pendudukan di wilayah tersebut,” kata dia.
“Pendapat tersebut akan memperjelas masalah ini dan kemungkinan akan mempertanyakan hak Israel untuk mempertahankan kendali atas Jalur Gaza.”
Dalam gambaran yang lebih luas, temuan hukum tersebut juga akan “berdampak pada proses atas tanggung jawab individu dan negara di hadapan Mahkamah Pidana Internasional dan ICJ,” pungkasnya.
(Serambinews.com/Sara Masroni)
BACA BERITA SERAMBI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.