Opini
UUPA Sedang 'Sakaratul Maut' Pasca 18 Tahun
Aceh selain berlaku khusus, juga berstatus istimewa sesuai UU No.44/1999. Pasca MoU Helsinki dan UUPA, selain perdamaian, banyak terjadi perubahan bai
Oleh: Dr Amrizal J Prang SH LLM, Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
UNDANG-undang No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang disahkan Presiden SBY pada 1 Agustus 2006, 18 tahun silam, pasca MoU Helsinki telah mengubah politik hukum (legal policy) Aceh. Eksistensi UUPA, yang mencabut UU No.18/2001 tentang Otonomi Khusus Aceh sebagai NAD, telah meneguh dan menguatkan Aceh sebagai daerah desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization), berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Aceh selain berlaku khusus, juga berstatus istimewa sesuai UU No.44/1999. Pasca MoU Helsinki dan UUPA, selain perdamaian, banyak terjadi perubahan baik regulasi, politik, hukum, keuangan, dan syariat Islam. Namun, perubahan tersebut belum berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan.
Baca juga: Fachrul Razi Desak Mendagri Tito Karnavian Perpanjang Dana Otsus Aceh Lewat Perppu atau Revisi UUPA
Sehingga, memunculkan banyak pertanyaan, ada apa dengan Aceh, 18 tahun UUPA, masih bergeming dengan kemiskinan. Adakah karena kelemahan dan kesalahan pemerintahan Aceh atau pemerintah pusat atau kesalahan kolektif?
Kebijakan khusus
Dari 40 Bab dan 273 pasal UUPA, dapat dikategorikan dalam 4 (empat) aspek: pertama, regulasi khusus: pembentukan 9 (sembilan) Peraturan Pemerintah (PP) dan 3 (tiga) Peraturan Presiden (Perpres). Sampai saat ini sudah dibentuk 5 (lima) PP, yaitu: i) partai politik lokal (PP No.20/2007); ii) pengangkatan dan pemberhentian sekda (PP No.58/2009); iii) pelimpahan kewenangan pemerintah kepada DKS (PP No.83/2010); iv) kewenangan pemerintah bersifat nasional di Aceh (PP No.3/2015); dan, v) pengelolaan bersama migas antara pusat-Aceh (PP No.23/2015).
Kemudian, 3 (tiga) Perpres: i) konsultasi dan pertimbangan gubernur dan DPRA (Perpres No.75/2008); ii) kerja sama dengan lembaga luar negeri (Perpres No.11/2010); dan, iii) pengalihan Kanwil BPN Aceh menjadi perangkat Aceh (Perpres No.23/2015).
Kedua, aspek kewenangan, antara lain: i) kebijakan administratif, persetujuan internasional dan legislasi pemerintah pusat terkait Aceh perlu konsultasi dan pertimbangan Gubernur dan DPRA; ii) pendidikan dayah, syariat Islam, adat, dan peran ulama; iii) mengelola pelabuhan dan bandara umum; iv) mengelola SDA di darat dan laut; v) perdagangan dan investasi secara internal dan internasional; vi) kerja sama dengan lembaga luar negeri; vii) pengelolaan bersama migas antara pusat-Aceh; viii) pengembangan kawasan perdagangan Sabang; ix) pengangkatan Kapolda dan Kajati Aceh dengan persetujuan Gubernur; x) memberikan HGB dan HGU bagi PMDN dan PMA; xi) Qanun Jinayah, memuat sanksi cambuk; xii) penetapan bendera, lambang, dan himne Aceh.
Baca juga: Masyarakat Sipil Aceh Beri Kajian Kebijakan ke DPRA Terkait Revisi UUPA
Ketiga, pembentukan lembaga khusus: i) partai politik lokal; ii) Lembaga Wali Nanggroe dan adat; iii) Mahkamah Syar'iyah; vi) MPU; v) Pengadilan HAM; vi) KKR Aceh; vii) Dinas Syariat Islam, Dinas Pendidikan Dayah, dan Wilayatul Hisbah; dan, viii) Kanwil BPN Aceh menjadi perangkat Aceh. Keempat, aspek keuangan: i) pemberian dana, sarana, dan prasarana yang sudah didesentralisasi; ii) dana perimbangan; iii) dana otsus selama 20 tahun; iv) DAU; v) DAK; vi) Dana Bagi Hasil (DBH) hidrokarbon dan SDA; dan, vii) tambahan DBH migas.
Ketidakpastian hukum
Meskipun mempunyai kewenangan dalam bentuk desentralisasi asimetris, alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat, implementasi UUPA belum maksimal dan menimbulkan ketidakpastian hukum (rechts son sicherheit). Pertama, aspek regulasi:1) belum ditetapkan 4 (empat) PP, yaitu: i) pembentukan kawasan khusus; ii) keuangan dan pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur; iii) penetapan standar, norma, dan prosedur pembinaan dan pengawasan PNS; dan iv) nama dan gelar Aceh.
Ditambah lagi, pembentukan peraturan pelaksana mengenai zakat yang dibayar menjadi pengurang pajak dari wajib pajak. Padahal kewajiban pemerintah pusat, 2 (dua) tahun pasca UUPA semua peraturan pelaksananya harus sudah ditetapkan (Pasal 271 UUPA). 2) peraturan kebijakan (beleidsregel) kementerian, mengenai standar, norma dan prosedur tidak sinkron UUPA. 3) Sebagian Qanun Aceh tidak dapat dijalankan, seperti Qanun No.3/2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.
Kedua, aspek kewenangan: i) Pemerintah dan DPR-RI tidak melakukan konsultasi dan pertimbangan Gubernur atau DPRA yang terkait Aceh, seperti: a) pembentukan PP No.7/2007 tentang Lambang Daerah; b) pembentukan UU No.7/2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), membatalkan KIP dan Panwaslih dalam UUPA.
Pasca judicial review UU Pemilu oleh DPRA ke MK, sebagaimana Putusan MK No.61/PUU-XV/2017 dan Putusan No.66/PUU-XV/2017, membatalkan substansi UU Pemilu tersebut, karena kontradiksi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, ketidakpastian hukum UUPA; dan c) pembentukan UU No.4/2009 jo. UU No. 3/2020 tentang Pertambangan Minerba. (Amrizal J. Prang, 2020:151-152). ii) pelaksanaan kerja sama Pemerintah Aceh dengan lembaga luar negeri, mengacu PP No.28/2018 tentang Kerja sama Daerah, bukan Perpres No.11/2010. iii) ketidakpastian pengelolaan dan pemberian izin minerba, meskipun surat Mendagri No.118/4773/OTDA, 22 Juli 2021, mengakui kewenangan Aceh sesuai UUPA dan PP No.3/2015, tetapi pelaksanaan mengacu beleidsregel pusat. iv) pelaksanaan Pilkada Aceh tahun 2022 menjadi tahun 2024.
Padahal, Pasal 65 ayat (1) UUPA berbunyi, dipilih setiap 5 (lima) tahun sekali. Begitu juga, Pasal 101 ayat (3) Qanun No. 12/2016 tentang Pilkada, berbunyi: hasil Pemilihan tahun 2017 dilaksanakan tahun 2022. Sehingga, Gubernur Aceh saat itu, menyurati Mendagri, Surat No.270/9232, tanggal 1 Juli 2020, meminta sesuai UUPA.
Begitu juga, DPRA tanggal 26 Februari 2021 menyurati Presiden, Surat No.160/451. Tetapi, Pemerintah bergeming, mengacu Pasal 201 UU No. 1/2015 jo. UU No.10/2016 tentang Pilkada, tahun 2024. Padahal, pilkada Aceh sebelumnya tahun 2006-2011, tahun 2012-2017, dan 2017-2022 sesuai qanun. Implikasinya, menimbulkan dualisme hukum dan kontradiksi dengan UUPA serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, ketidakpastian hukum.
Ketiga, aspek kelembagaan: 1) belum dibentuk pengadilan HAM; 2) kewenangan KKR terbatas; 3) belum dialihkan Kanwil BPN Aceh menjadi perangkat Aceh; dan, 4) dualisme kewenangan dan pengelolaan pertanahan Aceh antara Kanwil BPN dengan Dinas Pertanahan. Keempat, aspek keuangan: 1) tidak ada dana keistimewaan; 2) belum ada kepastian perpanjangan dana otsus; 3) belum jelas pengalihan dana dan sarana-prasarana yang didesentralisasikan (Pasal 15 ayat (1) UUPA).
De javu
Mengutip pendapat Jimly Assiddiqie, bahwa prinsip negara hukum (rule of law), dalam konteks aspek prosedural (procedural aspects), terdapat 3 (tiga) cakupan fungsi. Yaitu, fungsi pembuatan atau pembentukan (law making functions), fungsi pelaksanaan dan penerapan hukum (law applying functions), dan, fungsi penegakan hukum (law enforcement functions). Idealnya pelaksanaan prinsip rule of law, pemenuhan ketiga fungsi tersebut haruslah mencakup secara simultan. (Jimly Asshiddiqie, 2020:36-42).
Merujuk pelaksanaan procedural aspects implementasi UUPA, dapat dipastikan law making (pembentukan regulasi khusus) dan law applying (pelaksanaan) tidak berjalan simultan. Sehingga, dejavu, seperti berulang ketidakpastian hukum kekhususan Aceh. Sejak orde lama, orde baru dan reformasi, yaitu: 1) Keputusan Perdana Menteri RI No.1/Missi/1959, keistimewaan bidang pendidikan, adat dan agama, tidak dapat dilaksanakan karena Perda ditolak pusat. (Ahmad Farhan Hamid, 2006: 6); 2) UU No.44/1999, keistimewaan Aceh di bidang pendidikan, adat, agama, dan peran ulama.
Di samping, tidak ada keistimewaan bidang ekonomi plus tidak ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksana. (Darmansjah Djumala, 2013:133); dan, 3) UU No.18/2001, status otonomi khusus Aceh, juga tidak dapat ditindaklanjuti bahkan UU tersebut ditolak oleh GAM, sampai diganti dengan UUPA (Amrizal J. Prang, 2020:122).
Status quo Aceh, belum bangkit dari kesejahteraan tidak terlepas dari kesalahan dan kelemahan kolektif, antara lain: 1) ketidakpastian hukum UUPA, akibat inkonsistensi Pemerintah Pusat; 2) tidak sinergi suprastruktur politik Aceh (Pemerintah Aceh dan DPRA); 3) kurang pelibatan infrastruktur politik, seperti, ulama, akademisi, pengusaha, media dan civil society; 4) apatisme infrastruktur politik Aceh; dan, 5) tidak adanya ‘kepemilikan bersama’ (ownership) MoU Helsinki dan UUPA.
Menyikapi fenomena tersebut, maka benar UUPA sedang sakaratul maut, menunggu ajal. Apalagi tahun 2027 tidak ada lagi dana otsus. Oleh karena itu, sebelum dilakukan perubahan UUPA dan implementasinya maksimal, niscaya diperlukan: 1) political will dan konsistensi Pemerintah Pusat; 2) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota membangun dan menjaga trust rakyat; 3) kolaborasi suprastruktur dan infrastruktur politik Aceh; dan, 4) sinergitas antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Aceh, serta anggota DPR/DPD RI Aceh. Semoga!
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.