Berita Langsa

Akademisi IAIN Langsa Nilai Budaya Politik Orang Aceh Politik Keterusterangan

Berbeda dengan kultur Jawa yang menghadirkan politik simbolik, Aceh menampilkan bentuk politik yang berterus terang. 

Penulis: Zubir | Editor: Mursal Ismail
For Serambinews.com  
Akademisi IAIN Langsa, Dr Muhammad Alkaf  

Berbeda dengan kultur Jawa yang menghadirkan politik simbolik, Aceh menampilkan bentuk politik yang berterus terang. 

Laporan Zubir | Langsa

SERAMBINEWS.COM, LANGSA - Akademisi IAIN Langsa, Dr Muhammad Alkaf, mengatakan, budaya politik orang Aceh adalah politik keterusterangan.

Berbeda dengan kultur Jawa yang menghadirkan politik simbolik, Aceh menampilkan bentuk politik yang berterus terang. 

Tidak ada basa-basi. Selalu terang benderang. Alam pikiran dan alam hidup orang Aceh memanglah demikian.

Hal ini disampaikan Dr Muhammad Alkaf pada Forum Ilmiah Pascasarjana IAIN Langsa, yang dihadiri civitas akademika IAIN Langsa, baik dosen maupun mahasiswa, Selasa (6/8/2024).

Menurut Alkaf, saat kemarahan orang Aceh terhadap Pemerintah Pusat atas peleburan Provinisi Aceh ke dalam Sumatra Utara abad lalu. Hal tersebut disampaikan dengan bahasa yang lugas. 

Dalam satu suratnya kepada Soekarno, dia memberi kabar kabar kalau aparatur militer melakukan razia kepada tokoh-tokoh Aceh yang telah berjasa terhadap eksistensi Republik Indonesia di masa revolusi. 

Baca juga: VIDEO Mencekam! 29 Anggota Partai Politik yang Berkuasa di Bangladesh Tewas dalam Semalam

"Pada kesempatan itu, dia menulis tentang pusaka pikiran dan sikap orang Aceh ketika diri mereka diusik: sabar, tak menghiraukan (jijik), dan melawan,” kata Alkaf

Sambung akademisi ini, dalam literatur politik dan kebudayaan orang Aceh, keterusterangan demikian disebabkan oleh struktur sosial yang egaliter dan terbuka. 

Struktur sosial demikian ditopang oleh dua faktor: Islam dan konflik politik bersenjata.

“Keterusterangan orang Aceh pastilah membingungkan, sekaligus menjengkelkan bagi pihak yang hendak mendominasi, baik pemerintah kolonial di masa lalu, maupun pemerintah pusat di masa sekarang. 

Orang Aceh selalu saja memiliki kosakata untuk mengatakan apa pun yang ada di dalam pikirannya: syariat Islam, merdeka, bansa, otonomi, referendum, partai lokal, negara, dan sejarah,“ terang Alkaf dalam paparannya.

Namun demikian, tambah Alkaf lagi, dengan perubahan kekuatan politik lokal dan pergeseran kuasa politik nasional, terkadang keterusterangan merupakan hambatan dalam berkomunikasi. 

Baca juga: Satpol PP dan Bea Cukai Sabang Sita Puluhan Bungkus Rokok Ilegal, Operasi Akan Terus Digencarkan

Keterusterangan dapat dianggap sebagai sikap tidak sopan di hadapan budaya politik dominan yang mengenal konsepsi ewuh pakewuh. 

“Terkadang tipikal politik yang penuh dengan keterusterangan dapat menghambat komunikasi Aceh dengan Pemerintah Pusat, tetapi di saat yang sama, hal demikian dapat menjadi modal politik dalam relasi pusat dan daerah,” tutup Alkaf. (*)

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved