Jurnalisme Warga
Serunya Perjalanan Darat Aceh-Lampung
Di satu sisi kami sebagai orang tua sedih karena harus berpisah dengan si buah hati, tetapi kami yakin semua ini adalah pilihan Allah yang terbaik
CHAIRUL BARIAH, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Kebangsaan Indonesia, dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Bireuen, melaporkan dari Lampung
Akhir tahun ajaran 2024 bagi siswa sekolah menengah atas (SMA) dan yang sederajat merupakan titik awal untuk penentuan melanjutkan studi ke perguan tinggi sesuai minat dan bakatnya. Salah satu dari siswa tersebut adalah anak saya, lulusan SMA Sukma Bangsa Breuen. Kegelisahan tampak di wajahnya pada saat pengumuman kelulusan tes masuk perguruan tinggi negeri (PTN) tahap awal, yang ternyata ia gagal. Sebagai orang tua, saya dan suami, selalu memberikan motivasi anggaplah bahwa kegagalan itu sebagai suatu kesuksesan yang tertunda.
Kemudian ada kesempatan ikut tes lagi, dia pun mendaftar dan alhamduillah dia lulus sesuai program studi (prodi) yang dia inginkan di Institut Teknologi Sumatera (Itara) Lampung. Di satu sisi kami sebagai orang tua sedih karena harus berpisah dengan si buah hati, tetapi kami yakin semua ini adalah pilihan Allah yang terbaik untuk masa depan anak kami.
Setelah diskusi yang panjang akhirnya kami putuskan untuk mengantar ananda melali jalur darat. Selama satu minggu kami terus mencari referensi dan mencatat beberapa kemungkinan yang akan terjadi dalam perjalanan, termasuk juga mempersiapkan kendaraan pribadi, sopir, dan segala kelengkapan yang dibutuhkan.
Akhirnya, tibalah waktu keberangkatan untuk memulai perjalanan. Pagi Minggu setelah shalat subuh kami berangkat menuju Medan melalui jalan elak Simpang Tiga Alue Awe. Suasana di jalan sedikit sepi karena hari libur. Jadi, belum banyak kendaraan yang lalu lalang, lampu-lampu di jalan pun masih menyala.
Kami melewati beberapa kabupaten, seperti Aceh Utara, Aceh Timur, Kota Langsa, dan Aceh Tamiang. Akhirnya kami sampai di jalan tol menuju Kota Medan pukul 12.00 WIB. Karena akan memasuki waktu zuhur, kami istirahat di ‘rest area’ tol.
‘Rest area’ ini terlihat luas dan kosong karena masih baru, belum ada aktivitas perdagangan, hanya sebagai tempat singgahan untuk shalat atau ke toilet. Namun, petugas kebersihan sudah mulai bekerja. Informasi yang kami dapat dari mereka bahwa tempat ini baru akan diaktifkan pada akhir Agustus.
Sebelum melanjutkan perjalanan kami makan siang dari bekal yang kami bawa. Menurut informasi dari adik sepupu suami saya, dalam perjalanan jauh melalui darat sebaiknya membawa bekal yang diolah sendiri, karena dalam perjalanan tidak semua makanan cocok dengan lidah kita.
Hari kedua, kami telah memasuki Provinsi Riau dengan ibu kotanya Pekan Baru dan sering dijuluki dengan sebutan Bumi Lancang Kuning. Julukan ini diambil dari nama sebuah kapal mewah milik Riau yang turut berperan dalam mengusir penjajah. Lancang kuning juga diabadikan dalam lagu daerah, cerita rakyat dan tarian. Mengingat arus lalu lintas di kota macet maka kami memilih langsung ke Jalan Lintas Sumatra (Jalinsum).
Untuk menghindari kemacetan, setelah istirahat di mMsjid Al-Ikhlas kami bergerak menuju gerbang tol Bathin Solapan berjarak ± 27,23 km dan keluar ke tol Minas. Istirahat sejenak di Masjid Parawang Pekan Baru sekaligus mengisi BBM yang kelima selama dalam perjalanan.
Setelah selesai melewati jalan tol, kami kembali menggunakan Jalinsum yang berliku, menurun, dan mendaki. Terkadang bersaing dengan truk-truk pengangkut berbagai barang. Ada yang mengangkut kayu, sawit, dan aneka barang lainnya yang tidak terlihat karena baknya tertutup. Butuh keberanian dan kemahiran dalam mengemudikan kendaraan untuk perjalanan jauh seperti yang kami lakukan.
Kami bersyukur saudara yang kami minta menjadi sopir sangat bertanggug jawab, sabar, dan telaten. Kami biasa memanggilnya Abah, lelaki dari dua orang putra-putri ini sering lalu lalang melalui jalan ini ke Jakarta untuk keperluan bisnis. Hampir setiap sudut jalan dia tahu tempatnya. Hal inilah yang membuat kami merasa nyaman dalam perjalanan. Jika lelah, kami langsung berhenti di SPBU atau masjid. Kebetulan adik saya ada di Sorek, jalan lintas nasional Riau. Kami pun menyempatkan diri untuk istirahat dan setelah shalat Isya kami lanjutkan perjalanan.
Hari ketiga pagi kami memasuki Provinsi Jambi. Jalannya tidak terlalu padat, hanya truk-truk pengangkut barang yang berlalu Lalang. Terkadang kendaraan kami menyalip mendahuluinya.
Selama dalam perjalanan kami jarang bertemu dengan bus penumpang, karena biasanya bus jalan pada malam hari.
Sepanjang Jalinsum ini di sisi jalannya banyak perkebunan sawit, baik milik perusahaan maupun masyarakat setempat.
Setelah beberapa kilometer perjalanan akhirnya kami memasuki Sumatera Selatan dengan ibu kotanya Palembang. Istirahat di SPBU Sri Gunung, Musi Banyuasin, siangnya kami makan di Rumah Makan Pagi Sore. Tempat ini berada di Sungai Lilin, di sini tersedia aneka masakan Padang dengan harga lumayan terasa di kantong.
Setelah selesai istirahat kami melanjutkan perjalanan ke perbatasan Palembang Lampung. Kemudian melewati ratusan kilomter perjalanan, kamii masuk ke gerbang Tol Kramasan. Mengingat waktu sudah larut malam akhirnya kami istirahat dan bermalam di ‘Rest Area’ Km 306 B Tol Palembang-Lampung.
Jarak tempuh tol Palembang-Lampung menghabiskan waktu empat jam perjalanan. Lalu lalang kendaraan tanpa ada kemacetan.
Kecepatan kendaraan kami seperti biasa atauran di jalan tol antara 60 sampai dengan 100 kilometer per jam seperti yang terpasang di rambu sisi jalan tol. Hal ini sesuai dengan Peraturan Meteri Perhubungan Nomor 111 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Batas Kecepatan.
Alhamdulillah, tepat pukul 09.10 WIB kami tiba di gerbang Tol Itera, Kotabaru, Lampung. Lelahnya perjalanan selama empat hari terasa hilang karena sudah sampai d itujuan: Kota Lampung, tempat ananda akan menempuh pendidikan dengan segudang harapan di masa depan.
Terus terang kami terasa asing. Namun, rasa galau itu hilamg karena ternyata ada saudara dekat yang tinggal di kota ini. Ia bekerja sebagai ASN pusat, yaitu bapak Thalut.
Kami menginap satu malam di rumahnya. Pelayanan yang ramah membuat kami merasa tersanjung, walaupun rumahnya mewah dan megah beliau berpenampilan bersahaja.
Menjelang keberangkat ke kantor, beliau berpamitan dan meminta kami untuk tetap tinggal di rumahnya. Namun, karena harus segera mendaftar ulang dan mencari kos untuk ananda kami pun mohon izin meninggalkan kediamannya.
Kami juga mengunjungi saudara yang lain, Lisa Indriani, yang bekerja sebagai tenaga medis pada Puskesmas Palapa Bandar Lampung.
Kemudian kami berkeliling mencari kos di seputaran Kampus Itera, degan berbagai model dan harga, tetapi belum ada yang cocok. Waktu zuhur telah tiba dan kami shalat di Masjid Ar-Rahman jalan utama Ryacudu Bandar Lampung.
Akhirnya, kos untuk ananda kami dapat melalui informasi via Instagram. Setelah menghubungi nomor yang diberikan selanjutnya kami melihat lokasi dan ternyata cocok dengan keinginan serta sesuai dengan budget yang ada. Malamnya kami langsung menginap dan istirahat di kos, melepas lelah perjalanan ribuan kilometer Aceh-Lampung yang seru dan penuh kenangan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.