Asyraf Aceh Gelar Seminar Habib Teupin Wan dan Habib Abdurrahman Az-Zahir

Ini merupakan seminar yang kesekian kali digelar oleh Asyraf Aceh terkait pengungkapan sejarah Habib Teupin Wan dan Habib Abdurrahman Az-Zahir

for serambinews.com
SEMINAR - Yayasan Asyraf Aceh Darussalam menggelar seminar tentang Sejarah Habib Teupin Wan dan Habib Abdurrahman Az-Zahir di gedung Mini Theater Puslatbang KHAN LAN Lantai IV, Banda Aceh, Senin (2/9/2024) 

 

SERAMBINEWS,COM, BANDA ACEH - Yayasan Asyraf Aceh Darussalam menggelar seminar tentang Sejarah Habib Teupin Wan dan Habib Abdurrahman Az-Zahir di gedung Mini Theater Puslatbang KHAN LAN Lantai IV,  Banda Aceh,  Senin (2/9/2024). Selain seminar, Asyraf juga memamerkan sejumlah dokumen dan manuskrip sejarah Aceh dalam bentuk Galeri Mini di tempat yang sama.

Dibuka oleh Kepala Puslatbang KHAN LAN RI Aceh Said Fadhil SIP MM, seminar ini diikuti oleh seratusan peserta dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa program studi sejarah, guru bidang studi sejarah di SMA se-Banda Aceh dan Aceh Besar, pemerhati sejarah, budayawan, dan sejumlah akademisi dari UIN Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala (USK). 

Pembina Asyraf Aceh Prof Dr Said Muhammad MA ikut memberikan sambutan.

Ini merupakan seminar yang kesekian kali digelar oleh Asyraf Aceh terkait pengungkapan sejarah Habib Teupin Wan dan Habib Abdurrahman Az-Zahir. Kegiatan ini juga terselenggara berkat kerja sama dengan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek RI.

Kegiatan sehari ini menghadirkan dua narasumber, yakni Ketua Asyraf Aceh, Sayed Murthada bin Badruddin Al Aydrus STP MSc dengan judul’ Menanggapi Tuduhan-tuduhan terhadap Habib Abdurrahman Az-Zahir. Sedangkan satu lagi makalah dibawakan oleh Dr Sehat Ihsan Shadiqin MAg, yang juga dosen Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh dengan judul “Habib Teupin Wan: Ulama dan Perjuangan Kemerdekaan di Aceh awal Abad XX.”

Dr Sehat Ihsan Shadiqin MAg mengatakan, berdasarkan berbagai catatan yang dimilikinya, sangat pantas Habib Teupin Wan diusulkan sebagai pahlawan nasional. Selain sebagai pejuang, kata Sehat Ihsan Shadiqin,  Habib Teupin Wan juga ulama yang mengobarkan perlawanan kepada Belanda selama 38 tahun (1873-1911), namun luput dari pengetahuan publik.

 “Tentu masih banyak tokoh-tokoh serupa yang luput dari pengetahuan kita,” katanya. 

Klarifikasi tuduhan miring


Narasumber yang kedua yang juga Ketua Asyraf Aceh, Sayed Murthada bin Badruddin Al Aydrus STP MSc mengklarifikasi sejumlah tuduhan negatif terhadap salah seorang ulama sekaligus pejuang Aceh pada masa perang Aceh-Belanda (1873) yakni Habib Abdurrahman Az-Zahir.


Klarifikasi tersebut disampaikan pada seminar diskusi ilmiah sekaligus pameran mini galeri yang digelar oleh Asyraf Aceh di Gedung Mini Teater Puslatbang KHAN LAN Banda Aceh.

Ketua Asyraf Aceh, Sayed Murtadha bin Badruddin Al Aydrus dalam slide presentasinya "Menanggapi Tuduhan-Tuduhan Terhadap Habib Abdurrahman Az-Zahir (wa.1832-1896)" menyampaikan, tuduhan itu dilakukan untuk mengaburkan sejarah tentang sosok Habib sendiri dalam perjuangan Aceh melawan Belanda. 

Padahal Habib Abdurrahman, kata Sayed, memiliki sejumlah kontribusi dan perannya di Kesultanan Aceh Darussalam di akhir abad 19. 
Sebagaimana data otentik dan penelitian terbaru yang telah dikaji ulang secara ilmiah oleh Asyraf, Habib pernah menjadi diplomat, Perdana Menteri atau Mangkubumi, Qadhi dan Uleebalang Cot Putu hingga Panglima Perang.

"Habib pernah berdiplomasi untuk mendapat dukungan Internasional, kemudian dia juga pernah menyelesaikan konflik internal dalam keluarga sultan. Perannya dalam diplomasi dapat dilihat dari upaya dia mencari solusi antara Aceh dan Belanda di Straitt Settlement (1874-1876), terakhir berada di medan tempur memimpin perang," katanya.

Sayed menyebutkan, setidaknya ada beberapa tuduhan negatif yang telah dilontarkan kepada Habib Abdurrahman dalam narasi sejarah Aceh yang berkembang hingga hari ini, diantaranya; tuduhan dalang syahidnya Teuku Ibrahim Langa (suami Cut Nyak Dien) yang ditulis dalam Aceh di Mata Kolonialis Jilid II (1985) terjemahan De Atjeher oleh Cristian Snouck Hourgronje, tuduhan itu juga disebut dalam media cetak milik Belanda yaitu Niewsgier Van Maandag (1956) dan hikayat Prang Kompeni oleh Do Karim dalam buku Aceh Sepanjang Abad, Jilid II oleh Muhammad Said.

Menurut Sayed, pernyataan Snouck dan media cetak Hindia Belanda tanpa sumber informasi tersebut, menimbulkan segresi sosial hingga saat ini, dengan membuat masyarakat terpecah belah akibat opini dan narasi yang dimunculkan untuk merusak citra ulama-ulama atau pejuang di mata rakyatnya. 

Hasil pengkajian Asyraf menunjukkan,  tidak ada data yang menyebutkan bahwa Habib dibalik meninggalnya Teuku Ibrahim Lamnga. 

Kemudian tuduhan kepada Habib Abdurrahman selanjutnya yakni menerima sogokan dari Belanda. Hal ini beredar beberapa video  di media sosial dengan narasi Habib menerima sogokan atau pensiunan dari Hindia Belanda. 

"Begitu juga tulisan hypnowriting yang mensugesti atau membentuk opini bersifat pembunuhan karakter sebagai pengkhianat yang dituduhkan kepadanya. Para cendikiawan lokal juga bersifat parsial, sehingga penafsiran pembaca sering bersifat negatif terhadap beliau," ujarnya.

Fakta yang dikaji Asyraf, Habib beserta pengikutnya telah bertaslim (menyerah) kepada Belanda berdasarkan keputusan musyawarah dari 12 orang pejuang Aceh lain. Kemudian sikap Habib bertaslim diikuti sebanyak 400 orang pengikutnya. 

"Jadi ketika Habib bertaslim ada negoisasi yang dilakukan, dan Belanda memberikan biaya hidup tahunan kepadanya dan 400 pengikutnya, jadi bukan menerima sogokan untuk menyerah, tapi keputusan itu diambil berdasarkan mufakat," ungkap Sayed. 

Sayed melanjutkan, berkembang lagi tuduhan Habib Abdurrahman bersekutu dengan Hindia Belanda. Ini terlihat dari penampakan karakter atau foto Habib yang memakai bintang tanda jasa pemberian dari Belanda sebagaimana yang ditulis dalam buku Teungku Chik di Tiro oleh Ismail Yacob (1972). Faktanya bintang tersebut merupakan pemberian dari Turki Utsmani.

Sayed menuturkan, ada beberapa alasan Habib Abdurrahman difitnah, pertama ketika perang Hindia-Belanda di Jambi pada September 1871 datang ke Aceh menekan secara politik, Habib selaku mangkubumi menolak keras dan tegas permintaan Hindia-Belanda yang menyebabkan mereka tidak senang dengan sikap tersebut. 

Habib mengatakan saat itu, jika Belanda ingin bersahabat dengan Aceh harus dimulai dengan mengembalikan wilayah-wilayah Aceh yang pernah menjadi bagian Aceh Darussalam seperti; Sibolga, Barus, Singkel, Pulau Nias dan Kerajaan Sumatra Timur. Hal lain yang dibenci Belanda kepada Habib yakni, dia menjelaskan hubungan diplomatik Aceh dengan Inggris masih terjalin. 

"Belanda terpaksa melobi Inggris untuk membuat perjanjian baru yang dikenal dengan traktat Sumatra pada 1871. Ini pula yang membuat Belanda kwalahan, dan masih banyak lagi usaha-usaha Habib yang menyusahkan Belanda," katanya.

Akhir pergerakan Habib di Aceh akhirnya Belanda mengambil sikap agar orang-orang seperti Habib Abdurrahman dan pengikutnya diberi perlakuan tanpa diintimidasi, yakni dengan diberangkatkan ke Jeddah. 

"Sejumlah tuduhan atau fitnah seperti yang telah dijelaskan sampai hari ini masih ditabalkan kepada Habib sebagai pengkhianat dengan opini publik untuk membunuh karakter pejuang Aceh, hari ini menjadi tugas bagi generasi seperti kita untuk melanjutkan kajian agar sejarah Aceh tidak boleh dikaburkan dengan berbagai cara yang dilakukan musuh hingga terpecah belah," pesan Sayed mengakhiri presentasinya.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved