Opini
Generasi 'Mabuk' Selebgram
Mari kita gunakan media sosial dengan bijak. Jangan membuat konten aneh hanya demi popularitas.
Tgk Mustafa Husen Woyla, Ketua Umum ISAD, Wakil Pimpinan Dayah Darul Ihsan Abu Krueng Kalee, dan Pengamat Bumoe Singet
FENOMENA selebgram atau artis media sosial di kalangan generasi muda kini semakin marak di Aceh. Tidak hanya melibatkan anak muda, tetapi juga generasi yang lebih tua, termasuk "urueng tuha pateun" (orang tua tanggung). Dari satu platform ke platform lainnya, kita disajikan beragam konten oleh mereka yang dikenal sebagai influencer. Namun, apakah kita benar-benar memahami apa yang terjadi di balik layar ketenaran mereka? Mari kita telusuri fenomena ini dan menilai sejauh mana pengaruh money monkey, money game, dan kebodohan memengaruhi perjalanan mereka.
Belakangan ini, muncul selebgram di Aceh yang sering menggunakan bahasa kasar dan kotor, serta salah kaprah dalam menyambut dan menilai para kreator konten. Influencer, dalam pengertian sempit, adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk memengaruhi keputusan orang lain melalui media sosial. Mereka bisa berupa blogger, YouTuber, selebritas, atau public figure dengan pengikut yang sangat banyak. Pengaruh yang mereka miliki membuat mereka menjadi figur penting dalam dunia digital.
Dengan platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube yang saling berebut untuk menarik pengguna, para pembuat konten menjadi komoditas berharga. Namun, jebakannya adalah ketika uang mulai berbicara, semua orang berlomba-lomba menciptakan konten yang menarik perhatian. Kreativitas murni sering kali tergeser oleh keinginan untuk mendapatkan klik dan bayaran, sehingga muncul konten yang tidak hanya menghibur tetapi juga berisiko merusak nilai-nilai etika.
Monkey business
Istilah "monkey business" mengacu pada bisnis yang merugikan orang lain demi keuntungan pribadi melalui penipuan. Dalam dunia media sosial, para influencer sering kali terjebak dalam praktik serupa, di mana mereka menggunakan taktik provokatif untuk menarik perhatian demi meraih bayaran dari iklan atau sponsor.
Misalnya, kita melihat bagaimana influencer terkadang terlibat dalam konten yang bombastis atau kontroversial hanya untuk mendapatkan klik. Ini tidak jauh berbeda dengan arisan bodong atau booming batu akik dan tokek yang menipu banyak orang dengan janji keuntungan cepat. Perilaku seperti ini merugikan banyak pihak dan menciptakan ekosistem di mana uang lebih berharga dari integritas.
Media sosial pada awalnya dirancang untuk memperluas jangkauan komunikasi, tetapi sekarang sering kali digunakan untuk memproduksi konten yang merusak moral dan etika. Platform-platform ini memberikan imbalan finansial kepada pembuat konten yang dapat menarik perhatian.
Sehingga mendorong munculnya konten negatif seperti pornografi, bahasa kasar, dan aksi yang melanggar norma. Di Aceh, di mana masyarakat sangat menjunjung tinggi ajaran Islam. Dampak dari konten semacam ini bisa sangat merusak. Platform media sosial yang awalnya dimaksudkan untuk berkomunikasi secara positif, kini sering kali menjadi tempat penyebaran konten yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan agama.
Selain konten negatif, beberapa platform media sosial juga disusupi oleh konten yang mempromosikan perjudian. TikTok dan Instagram, misalnya, sering kali menampilkan iklan yang menyamarkan promosi judi dalam bentuk permainan atau aplikasi yang tampaknya tidak berbahaya.
Penggunaan algoritma untuk menargetkan iklan ini memanfaatkan data pengguna untuk menyasar individu yang rentan, meningkatkan risiko ketergantungan judi dan kerugian finansial. Ini adalah bentuk penipuan yang tidak hanya mengeksploitasi pengguna tetapi juga merusak integritas platform yang seharusnya menjadi tempat hiburan yang sehat.
Lebih mengkhawatirkan adalah penggunaan media sosial sebagai alat pencucian uang, termasuk oleh para bandar narkoba. Platform seperti TikTok dan Instagram sering kali digunakan untuk menyamarkan transaksi finansial yang mencurigakan di balik konten yang tampak biasa.
Hadiah virtual atau koin yang diberikan kepada kreator konten sering kali memiliki nilai tunai yang dapat digunakan untuk tujuan yang lebih gelap. Di Aceh, di mana narkoba telah menjadi masalah besar, penggunaan media sosial untuk pencucian uang dapat memperburuk situasi dengan memberikan peluang tambahan bagi pelaku kejahatan untuk menyembunyikan aktivitas ilegal mereka. Ini adalah ancaman serius yang memerlukan perhatian khusus dari semua pihak.
Latah ikut arus
Fenomena latah ikut arus menjadi salah satu masalah utama. Banyak orang mengikuti tren tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Ketika konten negatif menjadi populer, banyak orang berusaha menciptakan konten serupa demi mendapatkan popularitas dan uang. Ini menunjukkan betapa dangkalnya beberapa aspek dari dunia media sosial saat ini.
Banyak yang terjebak dalam pusaran ini tanpa menyadari bahwa mereka sebenarnya hanya menjadi alat bagi sistem yang lebih besar—platform dan pengiklan yang mengontrol konten. Ini adalah jebakan yang tidak hanya merugikan pembuat konten tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.
Media sosial seharusnya digunakan untuk menyebarkan hal-hal positif dan bukan untuk merusak moral dan etika. Kita perlu lebih bijak dalam menggunakan media sosial, menciptakan konten yang bermanfaat, edukatif, dan inspiratif. Ini adalah tugas kita untuk memastikan bahwa media sosial tetap menjadi tempat yang mendukung nilai-nilai positif dan memberikan dampak yang baik bagi masyarakat.
Platform media sosial sering kali mengeksploitasi pengguna dengan membuat mereka terjebak dalam konten yang menarik perhatian tetapi tidak bermanfaat. Kita adalah pasar yang menyedot paket data dan waktu kita dengan sia-sia. Konten unik dan nyeleneh memang menarik banyak perhatian, tetapi hanya sedikit yang benar-benar memiliki makna dan nilai. Ini adalah strategi untuk memastikan agar sistem algoritma tetap berjalan dengan lancar tanpa menimbulkan kecurigaan.
Mari kita gunakan media sosial dengan bijak. Jangan membuat konten aneh hanya demi popularitas. Jangan latah mengikuti jejak para selebgram, TikToker, YouTuber, atau influencer lainnya tanpa berpikir panjang. Hakikatnya, mereka adalah alat bisnis bagi pemilik aplikasi yang memanfaatkan popularitas mereka untuk keuntungan finansial. Mari kita jadikan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan hal-hal positif dan membangun masyarakat yang lebih baik.
Harapan kepada pemuka agama dan tokoh adat, jangan pernah memberikan legitimasi dan ruang kepada mereka yang hanya mencari sensasi dan keuntungan pribadi di tengah masyarakat yang religius dan berbudaya. Selalu ada cara untuk memanfaatkan media sosial dengan bijak dan produktif, tanpa terjebak dalam jebakan bisnis orang lain.
Simpul kata, mari kita gunakan kesempatan mudahnya mengakses informasi dengan hal positif dan kreativitas, bukan ajang peudeuh bangai demi cuan, manoe lam got (menampakkan kebodohan demi cuan rela mandi dalam got). Jadi, kita kembali ke nilai-nilai yang mendasar, menjaga agar media sosial tidak menjadi ladang penipuan dan kebodohan, melainkan sebuah platform yang mendukung pembelajaran, kreativitas, dan kebaikan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.