Breaking News

Opini

Menguatkan Ketahanan Pangan Aceh

Sejumlah pedagang bahkan mengaku tidak lagi memperoleh pasokan dari kilang padi yang biasanya menyuplai mereka.

Editor: mufti
IST
Dr Ir Basri A Bakar MSi. Peneliti Ahli Madya BRIN 

Dr Ir Basri A Bakar MSi. Peneliti Ahli Madya BRIN

DALAM beberapa pekan terakhir, masyarakat di berbagai kabupaten/ kota di Aceh dihadapkan pada situasi yang sangat meresahkan: harga beras melonjak tajam, sementara pasokan semakin menipis. Sejumlah pedagang bahkan mengaku tidak lagi memperoleh pasokan dari kilang padi yang biasanya menyuplai mereka.

Puncaknya terjadi ketika Harian Serambi Indonesia edisi 19 Juli 2025 memuat berita berjudul “Beras di Aceh Mahal dan Langka”, yang langsung memantik diskusi publik sampai di warung kopi.Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa harga beras premium di pasaran minggu lalu telah mencapai Rp255.000 per 15 kg, naik dari Rp250.000 dua pekan sebelumnya. Beras medium pun ikut bergerak naik sebesar Rp5.000 per sak. Sementara itu, beras merk biasa yang sebelumnya dijual seharga Rp195.000 kini melonjak menjadi Rp230.000 per sak.

Namun yang menjadi pertanyaan besar, benarkah Aceh mengalami kekurangan beras? Data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh menunjukkan bahwa produksi padi sepanjang Januari–Desember 2024 mencapai 1,66 juta ton gabah kering giling (GKG). Angka ini mengalami peningkatan signifikan sebesar 18,21 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan, Pemerintah Aceh melalui Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) menargetkan produksi gabah mencapai 1,698 juta ton GKG pada tahun 2025. Maka secara logika produksi Aceh tidak sedang dalam kondisi defisit beras.

Namun, krisis ini membuka mata kita bahwa ada masalah struktural dalam sistem rantai pasok pangan di Aceh. Saat ini, harga gabah di tingkat petani sudah menyentuh Rp8.000 - Rp9.000 per kg, jauh di atas rata-rata nasional. Ini menyebabkan kilang-kilang padi tidak sanggup menebus harga gabah. Akibatnya, banyak kilang memilih tutup sementara atau membatasi operasi.

Lebih parah lagi, masa panen di banyak wilayah Aceh belum tiba, sehingga pasokan gabah benar-benar terbatas. Kondisi ini menciptakan prahara ganda: gabah mahal, kilang tutup, stok menipis, dan harga beras melonjak.Pemerintah memang telah meluncurkan program SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) melalui Perum Bulog untuk menekan harga.

Di Banda Aceh, misalnya, toko-toko mitra seperti BKN-Pdin bisa menebus beras SPHP seharga Rp65.000 per 5 kg. Sayangnya, program ini masih bersifat terbatas dan belum menjangkau seluruh wilayah, terutama daerah-daerah pinggiran dan pedagang kecil. Seharusnya distribusi beras murah data menjangkau lapisan terbawah pasar agar efeknya terasa secara merata.

Pengamat dan peneliti perberasan nasional, Prof  M. Husein Sawit yang penulis wawancarai, menjelaskan akar persoalan bukan hanya pada distribusi. Menurutnya, pemerintah terlalu fokus pada pengadaan pupuk hingga 4 juta ton.

Ketika produksi stagnan dan stok di masyarakat menipis, harganya terdongkrak. Sementara penetrasi pasar lemah, dan cadangan beras pemerintah justru tersendat dalam distribusi. “Kondisi ini menciptakan kegaduhan yang berujung pada tuduhan terhadap pedagang sebagai mafia,” ujarnya.  Husein Sawit malah memprediksi harga beras tidak akan turun hingga awal tahun depan. Perlu juga digarisbawahi, bahwa selama ini gabah dari Aceh sebagian mengalir ke Sumatera Utara.

Potensi besar

Aceh memiliki potensi besar sebagai lumbung beras. Luas baku sawah mencapai 213.997 hektare dengan produktivitas rata-rata 5,6 ton per hektare. Indeks Pertanaman (IP) saat ini masih 1,8, artinya sebagian besar sawah belum optimal ditanam dua kali dalam setahun. Jika IP bisa dipertahankan pada angka 1,8 saja dengan dukungan irigasi dan infrastruktur, maka produksi padi Aceh bisa mencapai 2,15 juta ton gabah kering panen atau setara 1,34 juta ton beras per tahun. Mungkin kita tidak perlu terlalu muluk-muluk, dengan patokan produksi padi seperti target Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh yang 1,7 juta ton tahun ini, toh kita tetap masih surplus. Apalagi bila IP sudah bisa meningkat ke angka 2,00.

Sementara itu, kebutuhan konsumsi beras masyarakat Aceh hanya sekitar 521 ribu ton per tahun (dengan konsumsi per kapita 96,5 kg dan populasi 5,4 juta jiwa). Artinya, Aceh sebenarnya surplus lebih dari 800 ribu ton beras per tahun. Surplus ini harusnya menjadikan Aceh sebagai penyangga pangan nasional, bukan justru daerah yang dilanda kelangkaan beras.

Saat ini peran Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh serta jajarannya sudah berbuat maksimal dalam mendongkrak produksi gabah dari tahun ke tahun, meskipun rintangan pun tidak sedikit. Pengenalan teknologi seperti benih unggul, sistem tanam, pemupukan, mekanisasi pertanian dan lain-lain sebagian besar sudah diadopsi oleh petani kita.

Namun di sisi lain, menunjukkan adanya persoalan serius dalam tata kelola pangan kita. Persoalan beras bukan sekadar fenomena musiman atau masalah distribusi. Ini mencerminkan ketergantungan sistemik pada musim, lemahnya infrastruktur pendukung, serta belum efektifnya pengelolaan produksi hingga distribusi.

Karena itu, momen ini harus dijadikan sebagai titik balik untuk memperkuat ketahanan pangan Aceh dari hulu hingga hilir. Beberapa langkah strategis harus segera dilakukan oleh pemerintah daerah antara lain, pertama, merehabilitasi dan membangun irigasi. Saat ini hanya 11 persen sawah yang menikmati irigasi teknis. Sisanya mengandalkan irigasi sederhana, setengah teknis, bahkan tadah hujan yang mencapai 36 persen. Ini membuat produktivitas tidak stabil. Kedua, Pembangunan embung dan waduk mini, sebagai cadangan air saat musim kering dan mendukung tanam dua kali setahun.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved