Kupi Beungoh

Uteun Adat Gunong Kubu dan Kisah Mistis Rimueng Teungku, Penjaga Hutan di Suwak Awe Aceh Barat Itu

Survei tersebut merupakan kerja sama antara Kementerian ATR/BPN Republik Indonesia dengan Universitas Syiah Kuala atau USK, Banda Aceh.

Editor: Mursal Ismail
SERAMBINEWS.COM/Handover
Dr Teuku Muttaqin Mansur, MH, Anggota Tim Survei Pusat Riset Hukum, Islam dan Adat (PRHIA) USK 

Oleh: Dr Teuku Muttaqin Mansur, MH *) 

SURVEI Identifikasi dan Inventarisasi Tanah Ulayat di Provinsi Aceh telah dilaksanakan tahun 2023. 

Survei tersebut merupakan kerja sama antara Kementerian ATR/BPN Republik Indonesia dengan Universitas Syiah Kuala atau USK, Banda Aceh. 

Rektor USK, Prof Dr Ir Marwan, mempercayakan Pusat Riset Hukum, Islam dan Adat (PRHIA) Universitas Syiah Kuala sebagai pelaksana kegiatan tersebut. 

Dr Sulaiman, S.H., MH, ditunjuk Rektor mewakili PRHIA menjadi ketua tim leader kala itu.

Saya dipercayakan sebagai salah seorang anggota tim ahli bidang hukum. 

Sepuluh Kabupaten/Kota menjadi sasaran tim untuk dilaksanakan survei, yaitu Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Nagan Raya, Aceh Selatan, Pidie, Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Kabupaten Aceh Barat.

Baca juga: Pencarian Emas di Krueng Bugeng Peudada Makin Ramai, Pj Bupati Bireuen ke Lokasi, Ini Imbauannya

Walaupun terdapat 148 temuan hasil survei, namun yang ditindak lanjuti tahun ini sebagai pilot proyek penetapan tanah ulayat baru di Kabupaten Aceh Besar. 

Dua Mukim di Aceh Besar, Mukim Siem Kecamatan Darussalam dan Mukim Seulimeum Kecamatan Seulimeum telah ditetapkan sebagai Masyarakat Hukum Adat oleh Pj Bupati Aceh Besar, Iswanto. 

Beberapa bulan kemudian, SK Tanah Ulayat untuk dua mukim tersebut ditanda tangani oleh Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). 

Secara resmi SK itu telah diserahkan kepada mukim pada 6 September 2024 di Bandung.

Dari jumlah temuan itu, saya juga tertarik menelusuri satu bidang tanah ulayat di Kabupaten Aceh Barat

Masyarakat di kawasan itu menyebutnya Uteun Adat Gunong Kubu Suwak Awe. 

Baca juga: Keseringan Mengirup Polusi Bisa Merusak Kesuburan Pria dan Wanita, Ini Solusinya

Uteun (hutan) adat tersebut terletak di Gampong Suwak Awe, Kemukiman Gunong Meuh, Kecamatan Pante Cermen Kabupaten Aceh Barat.

Sebetulnya, penelusuran ini bukan hal yang disengaja, tidak pula karena ada tugas dari PRHIA.

 Jumat (5/7/2024) saya dan tim riset sedang melaksanakan riset lain dengan tajuk, “Peran Penegak Hukum dalam Penyelesaian Sengketa Adat di Aceh dikaitkan dengan Restoratif Justice” di wilayah pantai Barat Aceh. 

Kebetulan kami bermalam di Meulaboh.

Pertemuan sambil seruput kopi ringan dengan Riki Yulianda, dosen FISIP Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh malam itu menambah semangat saya menyusuri Uteun Adat Gunong Kubu. 

Saat survei Tanah Ulayat, Riki dipercayakan sebagai salah seorang enumerator.   

Baca juga: Harmen Nuriqmar di Masjid Agung Meulaboh, Ini Daftar Khatib & Imam Shalat Jumat di Aceh Barat Besok

"Riki, apa memungkinkan kita ke Uteun Adat di Kampung Suwak Awe,” Tanya saya malam itu. 

“Bisa Pak,” Jawab Riki dengan penuh semangat. “Kita pakai motor saja bisa,” tanya saya lagi. 

“Siap, Pak! Saya ada satu motor, nanti saya ajak mahasiswa UTU juga dua orang,” kata Riki. “Baik,” jawab saya. 

Keesokan harinya, tim riset saya pecah menjadi dua tim.  

Satu tim kembali ke Nagan Raya menyelesaikan indept interview dengan Majelis Adat (MAA) Kabupaten Nagan Raya. 

Saya memutuskan mengunjungi Uteun Adat Gunong Kubu bersama tim lainnya, Riki dan dua orang mahasiswanya ke kecamatan Pante Cermen.

Baca juga: Sijuk, Serule, dan Terujak, 3 Keindahan Air Terjun Tersembunyi di Rimba Aceh Timur

Tepat pukul 08.30 hari itu, Riki Yulianda telah stanby di penginapan kami di Meulaboh. “Berapa lama kita sampai ke lokasi?” tanya saya saat kami sudah bersiap di sepeda motor masing-masing. “Lebih kurang 40 menit Pak”, jawab Riki.

Sepanjang jalan berjumpa mesjid

Sejenak kemudian, kami bergegas memacu sepeda motor menuju lokasi menyusuri arah Meulaboh-Geumpang, Kabupaten Pidie.  

Speedometer bergerak antara 40 Km/Jam sampai dengan 70 Km/Jam. Beberapa lobang kecil di jalan ikut memelankan sepeda motor kami. 

Sepanjang perjalanan, saya terkesan melihat mesjid-mesjid ukuran agak kecil (lebih kurang seluas meunasah di Kota Banda Aceh) dengan jarak satu kilometer dan yang lainnya dengan jarak antara lebih kurang 300 meter sampai dengan 500 meter.

Jam menunjukkan pukul 09.15. Ini berarti 40 menit kami sudah menempuh perjalanan. 

Kami memutuskan berhenti sejenak di salah satu Mesjid di sisi kanan jalan. Rasa penasaran itu terjawab, setelah Riki mengatakan bahwa mesjid di daerah itu dari dulu sudah seperti itu. 

Riki mengaku tidak mengetahui pasti mengapa mesjid cukup berdekatan. 

Hal yang sama diungkapkan oleh Keuchik Suwak Awe, Muhammad Nasir setelah kami sampai di rumahnya Gampong Suwak Awe dengan jarak tempuh kira-kira 20 menit lagi perjalanan dari mesjid tempat kami berhenti tersebut. 

Mesjid-mesjid di daerah mereka berbasis gampong, satu desa satu mesjid, bukan berbasis mukim seperti di wilayah pesisir Aceh.

Konsep Mesjid per gampong ini menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut. 

Konsep ini berbeda dengan yang tertuang dalam Qanun Syarak Kerajaan Aceh, Mesjid didirikan berbasis wilayah kemukiman. Sejak kapan, dan apa filosofinya mesjid per gampong tersebut?

Merujuk Qanun Syarak Kerajaan Aceh, pendirian Mesjid mengikut pada wilayah mukim. 

Sementara, bangunan tempat ibadah di gampong, masa itu dikenal dengan meunasah. Berikut saya tuliskan redaksi dari transkripsi Qanun Syarak Kerajaan Aceh yang ditulis dalam bahasa arab jawi.

Dalam Fasal Bab Kedua Ayat Kedua Nombor Sepuluh

Yaitu bahwa diwajibkan oleh Qanun Syar’a Kerajaan, atas sekalian Keuchik-Keuchik masing-masing Kampung beserta Tuha Peut dan Imam Rawatib dengan Wakil Keuchik. 

Jumlah tujuh orang pada tiap-tiap kampung berhak memilih Imam Mukim, sebab tiap-tiap satu mukim itu satu Mesjid jum’at didirikan dengan Ijm’a mufakat ‘alim ulama ahlulsunnah-waljamaah. 

Maka tiap-tiap satu mukim ada yang lima meunasah dan ada yang tujuh Meunasah, dan ada yang delapan meunasah, dan sekurang-kurangnya tiga Meunasah menurut arif tempat masing-masing.

Barangkali karena pertimbangan tertentu, masyarakat kawasan itu membangun masjid di setiap kampung.

Bahkan, dalam konteks meunasah, mesjid jugalah sebagai pengganti meunasah. 

Konsep ini berbeda dengan wilayah lain di Aceh, terutama Banda Aceh dan pesisir Utara-Timur. Dalam wilayah itu, selain mesjid masih banyak berbasis mukim, setiap kampung dibangun meunasah.

Uteun Adat Gunong Kubu dan Rimueng Teungku

Tidak diketahui pasti kapan uteun (hutan) adat Gunong Kubu dijaga dan dilindungi. 

Meskipun kisah mistis Rimueng Teungku (Harimau Teungku) sering sekali muncul apabila ada masyarakat yang melakukan tindakan merusak hutan adat tersebut.

Setelah melihat langsung pohon-pohon besar, tinggi dan rindang Uteun Adat Gunong Kubu yang terletak di pinggiran Gampong Suwak Awee, kami singgah ke makam seorang ulama yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat. 

Bahkan, di sekitaran makam sering dilakukan kenduri tren u blang (kenduri turun sawah) dan koh padee (jelang panen). 

Ritual tersebut bukan dimaksudkan menyembah makam, namun masyarakat bertawasul dengan keberkahan ulama tersebut, agar hasil tanaman mereka dapat  melimpah.

Juru kunci Makam, Tgk Ilyas, saat di wawancarai oleh Riki Yulianda pada kesempatan lain menuturkan kisah Rimueng Teungku yang berada sekitar makam dan Uteun Gunong Kubu ia dengarkan dari kakeknya, Teungku Puteh. 

"Teungku Puteh pernah juga menjadi juri kunci makam tersebut. Bahkan, yang memberi makan harimau saat itu adalah Teungku Puteh sendiri," kisah Tgk Ilyas.

Pantang Larang

Sama halnya dengan hutan adat tempat lain yang memiliki aturan pantang larang. Uteun Gunong Kubu juga memiliki larangan dan sanksi bagi yang melanggar. 

Menurut cerita Muhammad Nasir, sejak dahulu pohon dalam hutan adat dilarang ditebang, termasuk berburu hewan liar.  

"Penebangan pohon hanya diizinkan atas kesepakatan masyarakat, misalnya untuk membangun rumah duafa, atau diambil sekedarnya kebutuhan keluarga," ujar Tgk Ilyas. 

Pernah juga ada yang mencoba memotong pohon, pelaku kemudian ditangkap dan di sidang adat. 

Salah satu putusannya adalah menanam kembali  pohon lain di kawasan itu. 

Kemudian ditambah dengan sanksi denda berupa uang pengganti. Setelah kejadian tersebut, tidak ada lagi yang berani memotong kayu di hutan.

Pemburu burung (cicem) pernah tersesat di hutan itu, tidak tahu jalan pulang. 

Dan ini dipercayai adanya hubungan magis religius antara hutan dan manusia di sana. Siapa yang mencoba-coba melanggar langsung mendapatkan 'semacam bala' kepada pelaku dan atau keluarganya.

Hutan Adat adalah salah satu warisan berharga Masyarakat Hukum Adat (MHA) Gampong Suwak Awee, Kemukiman Gunong Meuh,Kecamatan Pantee Cermen Kabupaten Aceh  Barat. 

Namun, tantangan perambahan termasuk penguasaan oleh pihak tertentu tetap mengkhawatirkan mereka. 

Ditambah lagi hutan adat seluas 20 Ha tersebut dikelilingi oleh beberapa pemilik HGU perusahaan karet. 

Keuchik dan perangkat adat di sana semakin risau karena hutan adat mereka belum mendapatkan legalitas formal seperti delapan hutan adat mukim di Aceh atau dua SK Tanah Ulayat di Kabupaten Aceh Besar. Wallahuaklam. (*)

*) PENULIS adalah Anggota Tim Survei Pusat Riset Hukum, Islam dan Adat (PRHIA) USK

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Artikel Kupi Beungoh Lainnya 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved