Kupi Beungoh
Selamat Datang Qanun Penyiaran, Saatnya Mengawasi Penyiaran TikTok
Qanun ini merupakan buah penantian panjang yang selama ini kerap dibahas namun belum mencapai tahap final.
Saat ini, Qanun Penyiaran ini juga sudah sah dan mendapatkan nomor register di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Di Harian Serambi Indonesia, saya memberikan apresiasi yang tinggi kepada Komisi 1 DPR Aceh atas kesediaan dan niat mulianya memperjuangkan masuknya Raqan Aceh tentang Penyiaran dalam Prolega Prioritas tahun 2023 lalu.
Sebab, qanun ini sangat penting dan mendesak bagi KPI Aceh sebagai wakil masyarakat Aceh dalam bidang penyiaran untuk menjalankan fungsi pengawasan penyiaran di Aceh.
Dengan status otonomi khusus, Aceh hari ini memiliki banyak keistimewaan, termasuk dalam hal penyiaran ini.
Maka, sudah selayaknya Aceh memiliki aturan sendiri yang mengatur tentang penyiaran sehingga penyiaran di Aceh dapat berjalan sesuai dengan kepentingan atau kebutuhan masyarakat Aceh.
Di sisi lainnya, undang-undang tentang penyiaran yang berlaku secara nasional pun dirasa semakin usang karena dibuat hampir 20 tahun lalu.
Saat ini, dunia penyiaran menghadapi berbagai isu-isu krusial yang harus direspon secara pasti, termasuk kehadiran “Penyiaran Internet” dan migrasinya Televisi analog ke digital yang menghadirkan peluang dan tantangan serius dalam upaya mewujudkan penyiaran yang sehat dan Islami di Aceh.
Memang saat ini di pusat sedang dibahas revisi atas undang-undang penyiaran.
Namun, untuk konteks lokal Aceh kita tetap membutuhkan qanun penyiaran sendiri sehingga penyiaran di Aceh dapat berjalan sesuai dengan kearifan lokal masyarakat Aceh dan nilai-nilai Islam yang dibangun.
Maka, kehadiran Qanun Penyiaran ini untuk Aceh adalah sebuah keharusan. Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) juga telah mengamanatkan agar penyiaran di Aceh ini dapat dilakukan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Sebagaimana dipahami, bahwa Undang-Undang (UU) nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada pasal 153 ayat 1 menegaskan bahwa “Pemerintah Aceh mempunyai kewenangan menetapkan ketentuan di bidang pers dan penyiaran berdasarkan nilai Islam.”
Selain itu, Qanun Aceh tentang Pokok-Pokok Syari’at Islam Nomor 8 Tahun 2014, pada pasal 35 tentang pers dan penyiaran, menyebutkan bahwa “pers dan penyiaran di Aceh harus menjaga isi atau sirkulasi produk pers dan penyiaran yang tidak bertentangan dengan nilai Islam.”
Secara regulasi, mewujudkan penyiaran Islami adalah hal yang esensial dalam konteks Aceh.
Sebagaimana pernah saya sampaikan di rubrik opini Harian Serambi Indonesia berjudul “Membangun Peradaban Aceh Melalui Lembaga Penyiaran” edisi 3 November 2021, bahwa “Nilai-nilai Islam” di sini bukanlah sesuatu yang menakutkan karena sifatnya universal.
Artinya, penyajian siaran yang sesuai dengan nilai-nilai Islam itu adalah kebutuhan manusiawi penduduk bumi.
Lebih dari Sekadar Angka: Mengapa Kualitas Persalinan Ibu di Daerah Terpencil Masih Menjadi Taruhan? |
![]() |
---|
Potret Toleransi Agama di Aceh: Imelda Purba Nyaman Berbisnis Buah-buahan di Pasar Lambaro |
![]() |
---|
Untuk Tiga Perempuan Seniman Aceh: Benarkah Aturan Jilbab Syariat Islam Merendahkan Perempuan? |
![]() |
---|
Mengapa Mendirikan Fakultas Kedokteran di UTU? |
![]() |
---|
Prof Jarjani Usman: Representasi Gen X yang Optimistis dan Anti FOMO |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.