Kupi Beungoh

Rindu Gubernur Rasa Sultan Aceh 

Dari paket cagub – cawagub Aceh yang ada, sesuai nomor urut; Bustami Hamzah – Fadhil Rahmi dan Muzakir Manaf – Fadhlullah, kedua pasangan ini dirinduk

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/FOR SERAMBINEWS
Tarmizi A. Hamid adalah owner Museum  Rumoh Manuskrip Aceh, dan Hasan Basri M Nur adalah dosen UIN Ar-Raniry. 

Kompleks Keistimewaan Aceh yang dibangun di samping Kantor Gubernur seakan menjadi bangunan-bangunan mati yang tak memberi kontribusi nyata, terutama bagi pengembangan dan pemajuan pendidikan Aceh, adat dan peran ulama.

Walau menyandang daerah istimewa di bidang pendidikan, namun kondisi pendidikan Aceh masih sangat rendah, bahkan pernah di bawah Papua Barat yang merupakan provinsi baru (Lihat: Mutu Pendidikan Aceh Rendah, di Bawah Papua, Siapa yang Harus Mengundurkan Diri?, Serambinews.com, 21/09/2021).

Sementara keistimewaan bidang penyelenggaraan kehidupan beragama agak sedikit berdenyut dengan adanya Dinas Syariat Islam (DSI). 

Namun, DSI tampak belum mampu melahirkan regulasi terkait kepentingan publik seperti tertuang dalam 5 tujuan Maqashid Syariah.

Sebagai contoh, aspek Hifzul Mal dalam Maqashid Syariah, belum ada regulasi terkait memelihara harta bersama yang ada dalam APBK, APBA, dan APBN.

“Pencuri” dan pemboros uang harta rakyat dalam APBK/APBA/APBN belum diatur bentuk hukuman sesuai syariat Islam, sehingga para pejabat tampak seperti berfoya-foya dengan harta rakyat melalui pengadaan mobil-mobil mewah, rehab rumah dinas, rehab kantor, SPPD luar negeri, dugaan main fee dalam proyek-proyek tertentu, bahkan proyek fiktif dan lain-lain.

Kepemimpinan Kembar

Selanjutnya, merujuk pada UUPA Nomor 11/2006, Aceh memiliki beberapa kekhususan, termasuk memiliki Lembaga Wali Nanggroe (LWN). 

Akan tetapi, lembaga yang merupakan bagian dari amanah MoU Helsinki tampak mati suri.

Seharusnya LWN diberi kewenangan mengatur semua lembaga keistimewaan dan khusus yang diakui Undang-undang. Artinya, Aceh berhak memiliki kepemimpinan kembar seperti era Kesultanan Aceh Darussalam, yaitu Sultan dan Qadhi Malikul Adil (Baca: Kepemimpinan Kembar, dalam Ensiklopedia Kebudayaan Aceh, Disbudpar Aceh, 2018).

Merujuk pada kajian historis ditambah beberapa regulasi di Indonesia, Aceh berhak menampilkan diri dalam bentuk yang berbeda dari provinsi lain di Indonesia.

Harus dipahami bahwa Aceh adalah daerah istimewa dan khusus, melebihi DIY. Jika DIY memiliki anggaran untuk merawat keistimewaan, maka kepada Aceh juga mesti diberi anggaran yang sama dari APBN.

“Payung hukum status keistimewaan Aceh telah ada sejak 25 tahun lalu. Akan tetapi alokasi anggaran sektor keistimewaan hingga saat ini tidak disediakan dari APBN. Berbeda dengan Yogyakarta yang rutin mendapatkan dana ini,” ujar Safaruddin SH MH, mahasiswa S3 Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala dalam sebuah pertemuan dengan penulis di Banda Aceh 26 November 2024.

“Kami akan berjuang agar kepada Aceh juga diberikan dana keistimewaan seperti yang diberikan kepada DIY,” lanjut Safar yang mengambil kajian disertasi tentang daerah otonomi dan istimewa di Indonesia.

Untuk itu, Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2025-2030 wajib memiliki wawasan ke-Aceh-an, baik historis maupun regulatif. Lembaga-lembaga keistimewaan dan kekhususan Aceh sejatinya berada di bawah asistensi dan pengawasan Lembaga Wali Nanggroe Aceh.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved