Jurnalisme Warga

Mengungkap Peran Penting Sabang pada Masa Lalu

Sabang di masa silam telah memainkan peran penting bagi perekonomian dan penjaga kedaulatan Nusantara, sejak Kerajaan Lamuri hingga Kesultanan Aceh Da

Editor: mufti
IST
ANTONI ABDUL FATTAH, Tenaga Kependidikan di MIN Sabang, penulis buku, dan Anggota FAMe Chapter Sabang, melaporkan dari Kota Sabang 

ANTONI ABDUL FATTAH, Tenaga Kependidikan di MIN Sabang, penulis buku, dan Anggota FAMe Chapter Sabang, melaporkan dari Kota Sabang

Bila kita membaca sejarah  tentang Sabang, maka sering kali kita dihadapkan pada kiprah Sabang pada masa Hindia Belanda melalui Pelabuhan Bebas dan Stasiun Batu Baranya.

Padahal, Sabang di masa silam telah memainkan peran penting bagi perekonomian dan penjaga kedaulatan Nusantara, sejak Kerajaan Lamuri hingga Kesultanan Aceh Darussalam.

Letak yang strategis telah menjadikannya  basis pertahanan awal bagi Kesultanan Aceh Darussalam, baik dari struktur alamnya maupun karena benteng-benteng yang dibangun di sepanjang garis pantai oleh para uleebalang (hulubalang).

Seorang peneliti bernama NA Baloch mengutip catatan perjalanan pedagang Iran, Hashim Beg, saat berkunjung ke Aceh menceritakan bahwa ada satu gunung yang berjarak satu hari dari Aceh, yang akan menembakkan meriam ke arah kapal asing yang lewat di sekitarnya dan permukaan air lautnya akan ditumpahkan minyak dan disulut api sehingga akan menghancurkan kapal yang melewati daerah tersebut. Itulah Sabang.

Faktanya, Sabang turut menjadi basis pertahanan laut wilayah Aceh saat terjadi serangan dari kapal-kapal musuh. Karena hal inilah orang-orang Frank (Eropa) pada waktu itu tidak dapat menguasai Aceh.

Sejarawan Aceh, Ali Hasjmy juga meyakini bahwa pulau yang dimaksud adalah Pulau Weh (Sabang).

Saat dikelola oleh Penguasa Pulau Weh, Po Miruek Abdul Wahid hingga anaknya Panglima Muda Setia Teuku Muhammad Daud, di pulau ujung Sumatra itu banyak dibangun benteng pertahanan, dilengkapi meriam sebagai persenjataannya. Ia meletakkan kurang lebih 40 pucuk meriam serta senapan-senapan bagi para tentara penjaga Teluk Balohan.  Kemudian putranya, Teuku Muhammad Daud, juga menambah benteng pertahanan di Cot Bak Geutom, dekat Ujong Seukee dan ditempatkan beberapa meriam yang menghadap ke laut yang kemudian dikenal sebagai Kuta Cot Bak Geutom.

Selanjutnya, Panglima Muda Setia Teuku Muhammad  Daud  mengangkat adiknya, Teuku Muhammad Amin sebagai Panglima Besar Perang Negeri Pulau Weh dan adik iparnya, Teuku Raja Bintang (Teuku Keluang), sebagai Panglima Perang di Kuta Cot Bak Geutom. Selain itu, Panglima Muda Setia juga mengangkat tiga orang panglima perang lainnya di tiga wilayah Pulau Weh. Mereka adalah Panglima Gunong Ijo yang berkuasa di wilayah Benteng Kuta Balohan; Panglima Kuta Tuha, Teuku Amat yang berkuasa di wilayah Benteng Kuta Tuha; dan Panglima Kuta  Jaboi,  Teuku Muhammad Yusuf  yang berkuasa di wilayah Benteng Kuta Jaboi.

Kemudian, pada masa Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh Darussalam sudah dapat memproduksi bubuk mesiu sendiri dari belerang. Bahan dasar belerangnya diambil dari Pulau Weh dan Pedir (Pidie). Sejak Kerajaan Lamuri, Pulau Weh telah menjadi penghasil belerang. Hal ini dicatat oleh Tom Pires. Ia menceritakan bahwa belerang berlimpah-limpah di Pulau Weh. Selanjutnya belerang ini dibawa ke Pasai dan Pedir.

Tentang berlimpahnya belerang di Pulau Weh juga diceritakan dalam buku perjalanan Agustin de Beaulieu.

“Enam jam dari Aceh, ke arah Pedir (Pidie), ada gunung tinggi meruncing yang banyak menghasilkan belerang, seperti juga salah satu pulau yang menutupi teluk Aceh, Pulo-vay (Baca: Pulau Weh) namanya, yang memenuhi kebutuhan hampir semua negeri Timur untuk membuat mesiu,” tulisnya, seperti dikutip kembali oleh Denys Lombard dalam bukunya “Kerajaan Aceh.”

Pada abad ke-16, Aceh berhasil mengontrol wilayah-wilayah penghasil lada di pantai barat Sumatra. Lada tidak hanya diambil di wilayah Sumatra, tetapi juga di Sabang. Saat Kesultanan Aceh Darussalam menjadikan Uleebalang Po Miruek Abdul Wahid sebagai Penguasa Pulau Weh karena prestasinya memadamkan pemberontakan dan menghilangkan kekuasaan Belanda di Trumon, ia mengangkat seseorang menjadi 'petua seuneubok' dan membentuk kelompok-kelompok petani lada dan memberikan bantuan modal usaha pertanian. Sedangkan untuk kebutuhan pembukaan lahan, didatangkanlah orang-orang dari Lambada, Gigieng, Miruek Kleng, Lam Cabeung, Lamnga, dan daerah-daerah lainnya.

Dipilihnya masyarakat dari daerah tersebut atas pertimbangan mereka telah menguasai tata cara membuka lahan dan bercocok tanam, terutama dalam hal menanam lada.

Setiap memanen lada, para petani diwajibkan untuk memberikan upeti kepada Sultan Aceh dan Panglima Pulau Weh.

Ada 22 wilayah yang menjadi penghasil lada karena merupakan basis-basis kebun lada yang cukup luas.  Di antaranya adalah Cot Bak Geutom, Wilayah Gunong Anoi Raya, Cot Abeuk, Alue Jaba, Aneuk Laot, Kebun Merica, dan lain-lain. Perkebunan lada ini kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Panglima Muda Teuku Muhammad Daud hingga pemerintah kolonial Hindia Belanda menduduki dan mendirikan Pelabuhan Bebas dan Stasiun Batu Bara di Pulau Weh pada 1886.

Pada tahun 1820 Aceh merupakan produsen lada hitam terbesar di dunia. Tom Pires memperkirakan, Aceh mengekspor lada kira-kira 8.000 sampai 10.000 bahar setiap tahun atau 15.000 bahar jika panen melimpah.

Pada masa Iskandar Muda, hasil panen dari Pulau Weh ini juga diberikan untuk pejabat Kerajaan Aceh dalam bentuk gaji kepada Teuku Imeum Mukim Silang, Teuku Imeum Mukim Cadek, dan Teuku Imeum Lamgugob. Selain itu, hasil dari pajak (cukai) penjualan lada ini dipakai untuk memperkuat benteng pertahanan di Sabang dengan mendatangkan ahli-ahli pembuatan senjata, seperti ahli pembuatan mesiu dari Negeri Syam, di antaranya Muhammad Ali dari Pulau Pinang. Pembelian senjata, seperti senapan dan meriam juga  dari Pulau Pinang.

Menurut Edwards McKinnon (1988), ramainya aktivitas perdagangan pada masa Kerajaan Aceh tidak terlepas dari pengaruh Kerajaan Lamuri dan Fansur pada masa sebelumnya. “Lamuri dan Fansur  adalah dua buah kerajaan kontemporer yang berdekatan satu dengan yang lainnya. Apabila Pancu adalah Fansur, maka lokasi ini, hanya 12 km sebelah barat dari Kota Banda Aceh sekarang dan berada pada pantai yang sama, sangat berdekatan dengan Gampong Pande maupun lokasi pusat Kesultanan Aceh pada abad ke 16/ 17. Berarti, Kesultanan Aceh menjadi pewaris kegiatan perdagangan ramai yang pernah ada di Fansur maupun di Lamri pada masa sebelumnya dan sebenarnya bukan fenomena yang baru untuk wilayah strategis seperti ini,” demikian McKinnon.

Demikianlah peranan Sabang di masa lalu. Perannya yang sama dalam menjaga kedaulatan Nusantara terus berlanjut hingga Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk tahun 1945. Hari ini, sebuah wacana muncul kembali untuk menjadikan Sabang sebagai daerah ekonomi khusus di Aceh yang memungkinkan kemudahan fasilitas dan lebih sedikitnya formalitas bea cukai. Apakah wacana ini akan terealisasi? Kita tunggu saja.

Terakhir, semoga tulisan sederhana ini dapat menjadi bahan bagi para pemandu wisata di Kota Sabang atau masyarakat Sabang pada umumnya saat ada orang yang bertanya ia dapat menceritakan kembali masa kegemilangan Sabang di masa lampau.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved