Berita Aceh Barat

Operasional Perusahaan Tambang Batu Bara Kalori Rendah Semakin Sulit

Dampak dari terus merosotnya harga komoditi batu bara, telah menambah beban biaya bagi perusahaan-perusahaan pertambangan, khususnya untuk industri...

Editor: IKL
For Serambinews
Proses pengisian batubara ke dalam kapal tongkang milik PT Mifa Bersaudara di Peunaga Cut Ujong, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, beberapa waktu lalu. 

Ekses Harga Batu Bara Terus Merosot

Dampak dari terus merosotnya harga komoditi batu bara, telah menambah beban biaya bagi perusahaan-perusahaan pertambangan, khususnya untuk industri batu bara yang berkalori rendah seperti PT Mifa Bersaudara di Provinsi Aceh.

SERAMBINEWS.COM - Harga batu bara dengan kesetaraan nilai kalori 3.400 kcal/Kg GAR hingga Jumat lalu berada di level USD 30,9 per ton atau hampir setara dengan biaya produksi atau operasional yang dibutuhkan oleh beberapa perusahaan di Indonesia, termasuk Aceh. Fenomena ini membuat perusahaan-perusahaan batu bara kalori rendah semakin kesulitan mempertahankan kelangsungan operasional.

Koordinator Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Syiah Kuala (USK), Ir Pocut Nurul Alam MT menjelaskan bahwa kondisi ini merupakan dampak dari penurunan harga global yang cukup tajam. Harga batu bara dunia, khususnya yang kalori rendah, telah mengalami penurunan yang signifikan. Sementara itu, biaya produksi perusahaan di Aceh sudah sangat dekat atau bahkan hampir sama dengan harga jual, seperti yang dialami PT Mifa Bersaudara.

“Ini jelas menjadi tantangan besar, karena margin keuntungan menjadi sangat tipis,” ujarnya.

Perusahaan-perusahaan batu bara kalori rendah di Aceh tidak hanya terhambat oleh penurunan harga batu bara, tetapi juga menghadapi tantangan dari regulasi dan wacana kewajiban sosial yang semakin meningkat, seperti program tanggung jawab sosial dan lingkungan atau Corporate Social Responsibility (CSR) yang kini didorong 3,0 persen dari penjualan.

Di tengah kesulitan tersebut, terang Pocut Nurul Alam, banyak perusahaan pertambangan di Aceh juga menghadapi hambatan tingginya stripping ratio batubara (perbandingan jumlah tanah penutup yang harus dibongkar untuk mendapatkan satu ton batu bara). Kondisi ini tentu berpengaruh pada biaya operasional. Sedangkan untuk mengurangi beban stripping ratio batu bara memerlukan investasi besar pada peralatan dan teknologi, yang sulit dilakukan di tengah situasi harga yang terus menurun.

Sebagai pembanding, jika stripping ratio-nya 4:1, artinya untuk mendapatkan 1 ton batu bara harus mengupas tanah penutup (overburden) sebanyak 4 M3 (kubik). Sedangkan jika stripping ratio meningkat menjadi 5:1, maka untuk dapat 1 ton batu bara harus mengupas overburden 5 M3 yang berakibat naiknya cost produksi.

Kondisi ini, terang Pocut Nurul Alam, tentu semakin memperburuk prospek industri batu bara kalori rendah di Aceh. “Sumber daya batubara kalori rendah umumnya memiliki tantangan lebih besar dalam efisiensi biaya produksi dibandingkan dengan batubara kalori tinggi,” sebutnya.

Melihat kondisi yang terjadi di mana harga komoditi batu bara yang terus merosot, membuat beberapa perusahaan harus mempertimbangkan opsi lain, seperti menutup tambang karena biaya produksi tidak lagi terjangkau.

Meski begitu, Pocut Nurul Alam menekankan pentingnya langkah-langkah strategis yang dapat diambil oleh pemerintah dan pemangku kepentingan untuk menjawab persoalan ini, seperti memperbaiki kebijakan atau dukungan teknologi.

“Namun, dengan stripping ratio yang tinggi dan harga yang terus turun, prospek jangka pendek bagi batubara kalori rendah di Aceh tidak terlalu optimis. Dibutuhkan inovasi dan kebijakan yang lebih mendalam untuk menyelamatkan industri batubara ini,” pungkas Pocut Nurul Alam. (*)

Baca juga: PT MIFA Gelar Gerakan Aksi Tanam Hijaukan Nanggroe Aceh Di Lokasi Tambang

Baca juga: MIFA & BEL Dukung Anugerah Inovasi Aceh Tahun 2024

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved