Breaking News

Opini

Tukin Dosen PNS Kemendikti Saintek: Mungkinkah Terealisasi?

Sebagai sektor yang berperan besar dalam membentuk masa depan bangsa, dosen seharusnya mendapat pengakuan yang layak. Batalnya pencairan Tukin menjadi

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/FOR SERAMBINEWS
Muhammad Zulfajri, SPd MSc PhD adalah dosen PNS Dpk Universitas Serambi Mekkah dan Bendum Ikatan Sarjana dan Alumni Dayah (ISAD) Aceh. 

Oleh: Muhammad Zulfajri SPd MSc PhD*)

TUNJANGAN Kinerja (Tukin) bagi dosen PNS telah lama menjadi topik perbincangan di kalangan akademisi Indonesia. 

Harapan akan peningkatan kesejahteraan melalui Tukin sempat menguat ketika pemerintah berencana mencairkannya pada awal tahun 2025. 

Namun, kenyataan berkata lain; pencairan Tukin tersebut batal terlaksana. Kabar ini tentu menimbulkan kekecewaan mendalam bagi para dosen yang telah menantikan apresiasi atas dedikasi mereka dalam dunia pendidikan tinggi. 

Sebagai sektor yang berperan besar dalam membentuk masa depan bangsa, dosen seharusnya mendapat pengakuan yang layak. Batalnya pencairan Tukin menjadi sebuah cerminan ketidakpastian yang mengganggu harapan mereka akan kesejahteraan yang lebih baik.

Pada pertengahan tahun 2024, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengumumkan rencana pencairan Tukin bagi dosen PNS mulai Januari 2025. Pengumuman ini disambut dengan optimisme oleh banyak dosen, terutama mereka yang bekerja di PTN Satker dan yang bernaung di bawah LLDIKTI yang dipekerjakan (Dpk) di perguruan tinggi swasta. 

Tukin diharapkan dapat menjadi langkah positif dalam mengatasi ketimpangan kesejahteraan antara dosen PTN Satker dan LLDIKTI dengan kolega mereka di PTN BLU dan PTN-BH, yang memiliki sistem remunerasi yang tersendiri. 

Langkah ini mencerminkan upaya pemerintah untuk memberikan perhatian lebih kepada kesejahteraan tenaga pendidik di berbagai lembaga pendidikan tinggi.

Nominal Tukin yang dijanjikan bervariasi sesuai dengan golongan dan jabatan, dengan tujuan untuk meningkatkan motivasi dan kinerja dosen dalam melaksanakan tugas tridharma perguruan tinggi. 

Harapan ini sempat menguat, namun menjadi kabar yang mengecewakan ketika Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) mengumumkan batalnya pencairan Tukin pada awal Januari 2025. 

Keputusan ini didasarkan pada perubahan nomenklatur kementerian yang menyebabkan ketidakjelasan dalam penganggaran. Meskipun demikian, diharapkan permasalahan ini dapat segera diselesaikan dengan langkah yang bijaksana, sehingga tujuan peningkatan kesejahteraan dosen tetap dapat tercapai dan memberikan dampak positif bagi dunia pendidikan tinggi.

Pembatalan Mendadak dan Kekecewaan Mendalam

Pernyataan dari Plt Sekretaris Jenderal Kemendikti Saintek, Togar Mangihut Simatupang, pada acara Arah dan Kebijakan Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi tanggal 3 Januari 2025, yang menyebutkan tidak ada anggaran untuk Tukin dosen pada tahun 2025, menimbulkan rasa kekecewaan yang cukup luas. 

Alasan terkait perubahan struktur organisasi dan ketidaksiapan administrasi dirasa kurang memadai, mengingat regulasi mengenai Tukin Dosen PNS sudah tersedia pada akhir periode Menteri Nadiem Makarim. 

Bagi banyak dosen, situasi ini mencerminkan perlunya perencanaan yang lebih matang serta komitmen yang lebih kuat dari pemerintah untuk mendukung kesejahteraan tenaga pendidik, khususnya dosen, yang merupakan pilar utama dalam kemajuan dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

Kekecewaan ini semakin mendalam mengingat dosen PTN Satker dan Dpk selama ini hanya mengandalkan gaji pokok dan tunjangan profesi, yang sering kali dianggap tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. 

Ketidakpastian mengenai pencairan Tukin membuat mereka semakin tertinggal, baik dibandingkan dengan dosen PNS di PTN-BH dan PTN BLU, maupun dengan kelompok PNS lainnya di pemerintahan, termasuk dosen PNS yang bekerja di kementerian lain. 

Batalnya pencairan Tukin ini dirasakan sebagai pengingkaran terhadap upaya keras dan dedikasi mereka dalam menjalankan tugas akademik yang semakin kompleks, yang seharusnya dihargai dengan lebih baik.

Alasan yang Dipertanyakan

Kemendikti Saintek menyebut perubahan nomenklatur kementerian sebagai alasan utama gagalnya penganggaran Tukin. Namun, alasan ini menuai pertanyaan dari berbagai pihak. Apakah restrukturisasi kementerian benar-benar menjadi kendala yang tidak dapat diatasi? 

Mengingat Tukin telah diputuskan sejak 2024 oleh Menteri Nadiem Makarim dan telah tertunda sejak 2020, mengapa hal ini tidak dapat mengantisipasi perubahan yang terjadi? Isu terkait transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pun semakin mendapat sorotan dimana tahun 2025 Kemendikti Saintek memperoleh anggaran 57 T dan kebutuhan tukin hanya secuil dari anggaran tersebut yaitu 2,8 T, yang mengarah pada kebutuhan untuk meningkatkan kejelasan dan keterbukaan dalam setiap langkah pengelolaan anggaran pemerintah, demi menjaga kepercayaan dan memenuhi harapan masyarakat, terutama para dosen. 

Selain itu, pembatalan pencairan Tukin ini menimbulkan kekhawatiran bahwa sektor pendidikan tinggi kurang mendapatkan perhatian yang cukup dibandingkan dengan sektor lainnya. 

Pemerintah tampaknya belum sepenuhnya menyadari bahwa kesejahteraan dosen adalah elemen penting dalam menciptakan pendidikan yang berkualitas. Ketidakpastian ini berpotensi merusak citra pemerintah di mata akademisi, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi hubungan dan kolaborasi antara pemerintah dan dunia pendidikan tinggi. 

Dampak pada Kesejahteraan dan Kinerja Dosen

Batalnya pencairan Tukin bukan sekadar persoalan finansial, tetapi juga berimplikasi luas pada kualitas pendidikan tinggi. Dosen yang merasa kurang dihargai secara finansial cenderung kehilangan motivasi untuk berinovasi dan meningkatkan kinerja. Kondisi ini dapat memengaruhi semangat mereka dalam menjalankan tridharma perguruan tinggi, yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 

Lebih jauh, ketidakpastian ini juga memengaruhi persepsi generasi muda terhadap profesi dosen. Banyak yang mulai ragu untuk memilih karier di bidang akademik karena melihat profesi ini tidak memberikan penghargaan yang memadai. 

Jika situasi ini terus berlanjut, Indonesia berisiko kehilangan talenta-talenta potensial yang seharusnya dapat berkontribusi dalam pembangunan bangsa melalui pendidikan tinggi.
Sebagai perbandingan, dosen di negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia menerima remunerasi dan tunjangan yang jauh lebih kompetitif. 

Selain gaji pokok yang signifikan, mereka menikmati fasilitas seperti dana penelitian, asuransi kesehatan, dan pensiun yang memadai. Di Amerika Serikat, gaji minimal dosen universitas mencapai USD 4.000 per bulan (sekitar Rp 60 juta). Di Inggris, minimal GBP 2.500 per bulan (sekitar Rp 48 juta), dan di Australia AUD 4.500 per bulan (sekitar Rp 45 juta). 

Di Asia, situasi remunerasi dosen juga relatif lebih baik dibandingkan Indonesia. Di Jepang, dosen universitas memperoleh minimal JPY 300.000 per bulan (sekitar Rp 34 juta). Di Taiwan TWD 60.000 per bulan (sekitar Rp 30 juta), dan di Brunei Darussalam BND 3.000 per bulan (sekitar Rp 34 juta). Perbedaan ini mencerminkan penghargaan yang lebih besar, baik secara finansial maupun profesional, terhadap dosen di negara-negara tersebut. 

Selain memberikan stabilitas finansial, remunerasi atau Tukin yang memadai juga meningkatkan motivasi dosen untuk berinovasi dan berkontribusi maksimal dalam pendidikan tinggi. Perbedaan mencolok ini semakin memperkuat kekecewaan dosen di Indonesia atas batalnya pencairan Tukin pada tahun 2025.

Harapan dan Langkah ke Depan

Meski pencairan Tukin bagi dosen PNS batal pada tahun 2025, harapan untuk perbaikan kesejahteraan tetap ada. Pemerintah perlu segera menyelesaikan permasalahan administratif dan struktural yang menghambat pencairan Tukin dengan langkah-langkah konkret. Pertama, alokasi anggaran untuk kesejahteraan dosen harus menjadi prioritas dalam perencanaan keuangan negara, untuk memastikan sektor pendidikan tidak lagi dianggap sebagai sektor sekunder. 

Kedua, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran perlu ditingkatkan dengan menyampaikan informasi secara terbuka kepada publik, sehingga mengurangi kecurigaan atau ketidakpastian. Selanjutnya, Kemendikti Saintek perlu memperkuat dialog dengan akademisi untuk membangun komunikasi yang lebih baik dengan dosen dan organisasi profesi guna memahami kebutuhan mereka secara langsung dan mencari solusi bersama. 

Terakhir, perencanaan yang matang dan fleksibel diperlukan untuk mengantisipasi dinamika perubahan struktural, seperti perubahan nomenklatur kementerian, demi memastikan keberlanjutan program kesejahteraan dosen.

Tukin bagi dosen PNS yang semula dianggap sebagai bentuk penghargaan kini masih menjadi simbol harapan. Pembatalan ini bukan hanya mengecewakan, tetapi juga mencerminkan kurangnya komitmen pemerintah terhadap sektor pendidikan tinggi. 

Pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret untuk mengembalikan kepercayaan dosen, bukan hanya dengan merealisasikan Tukin tetapi juga dengan menunjukkan komitmen nyata terhadap masa depan pendidikan tinggi. Tanpa itu, janji yang semula indah ini hanya akan menjadi kenangan pahit di ingatan para pendidik bangsa. 

Kesejahteraan dosen bukanlah sekadar masalah teknis, melainkan investasi jangka panjang bagi masa depan Indonesia yang lebih cerah. Kini saatnya pemerintah menunjukkan bahwa pendidikan memang menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional.

*) Penulis adalah dosen PNS Dpk Universitas Serambi Mekkah dan Bendum Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh. email: m.zulfajri@gmail.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved