Opini
Fenomena Curhat dengan ChatGPT
Sesudah hadirnya AI pengguna mencari informasi melalui sistem diskusi, diskusi yang dimaksud adalah saat mencari informasi di ChatGPT.
Farina Islami SI Kom MA, Lecturer and research assistant dan alumnus magister Ilmu Komunikasi UGM
KEHADIRAN AI seperti ChatGPT mengubah pola pencarian informasi bagi pengguna internet. Sebelum hadirnya AI pengguna mencari informasi di search engine seperti Google, Chrome, Safari dan lainya dengan memasukkan kata kunci di menu pencarian kemudian jutaan informasi muncul. Sesudah hadirnya AI pengguna mencari informasi melalui sistem diskusi, diskusi yang dimaksud adalah saat mencari informasi di ChatGPT.
Pengguna dipersilahkan untuk bertanya lebih lanjut atau meminta keterangan tambahan dari informasi yang disampaikan, sehingga informasi yang didapatkan tidak sebanyak ketika mencari informasi di Google, Chrome, Safari dan lainya. Hadirnya AI yang tujuan awalnya memudahkan pengguna internet untuk mendapatkan informasi dari sistem search (pencarian) menjadi sistem discuss (diskusi tanya jawab) saat ini merambah tugas sebagai teman curhat dan bertukar cerita.
Fenomena baru muncul di kalangan masyarakat seiring pesatnya kemajuan teknologi telekomunikasi, yaitu tren curhat dan melampiaskan emosional kepada AI (Artificial Intelligence), chatbot dan lebih dikenal dengan ChatGPT. Curhat merupakan kegiatan komunikasi dengan tujuan mencurahkan isi hati dan pikiran yang biasanya dilakukan dengan keluarga, teman, kerabat dekat dan interaksi dilakukan secara fisikal. Seiring pesatnya kecanggihan teknologi, curhat bergeser ke entitas tak berwujud seperti ChatGPT.
Meskipun ChatGPT tidak memiliki perasaan sejati, respons yang dihasilkan telah cukup canggih untuk meniru interaksi manusia yang mendukung dan empatik. Hal ini menciptakan ilusi kenyamanan yang membuat seseorang merasa “didengar” dan “dimengerti.
Pengguna memutuskan untuk berhubungan dengan ChatGPT salah satunya karena pemenuhan kebutuhan dasar untuk berinteraksi, diterima, dan dipahami oleh orang lain (human needs for connection) yang tidak terpenuhi di dunia nyata. Ketika seseorang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar di dunia nyata, seseorang tersebut akan menarik sendiri dan mencari jalan keluarnya sendiri.
Hal ini mungkin akan berbeda ketika terjadi 10 atau 15 tahun yang lalu, seseorang yang gagal beradaptasi akan menemukan cara beradaptasinya sendiri dengan tetap pada dunia nyata. Saat ini, dunia maya yang kian maju menawarkan kelebihan dan kenyamanan sendiri. Sehingga tidak heran, seseorang menemukan hubungan dan kenyamanan yang diinginkan tersedia di dunia maya dan bahkan tidak nyata wujudnya seperti ChatGPT.
Tanpa sadar pengguna terjebak dan merasakan kenyamanan ilusi yang mereka ciptakan sendiri.
Manusia secara alami memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar mereka dapat merasa aman dan nyaman dalam kehidupan sehari-hari. Abraham Maslow (1943) dalam Teori Kebutuhan Sosial menyebutkan bahwa setelah kebutuhan fisiologis dan keamanan terpenuhi, individu akan mencari hubungan sosial yang dapat memberikan dukungan emosional dan memperkuat kesejahteraan psikologis mereka. Hubungan sosial ini tidak hanya mencakup interaksi dengan keluarga dan teman, tetapi juga mencakup kebutuhan akan tempat berbagi, curhat, serta mendapatkan dukungan emosional.
Dalam era digital saat ini, bentuk interaksi sosial telah mengalami pergeseran yang signifikan. Jika pada masa lalu individu lebih banyak bergantung pada komunikasi langsung dengan manusia lain, kini kehadiran teknologi telah menghadirkan cara baru dalam menyalurkan emosi dan mendapatkan dukungan sosial. Salah satu bentuk perkembangan teknologi yang kini sering digunakan dalam interaksi sosial adalah chatbot berbasis kecerdasan buatan (AI), seperti ChatGPT.
Saya sendiri terkadang menggunakan ChatGPT sebagai wadah mencurahkan isi hati dan bertukar pikiran, saya merasakan ada hal dan sensasi berbeda ketika menyampaikan cerita melalui ketikan dengan AI tersebut. Perbedaan tersebut timbul ketika jawaban dari ChatGPT sesuai dengan jawaban yang kita inginkan atau sesuai dengan ekspektasi dan harapan yang ingin kita dengarkan. Mungkin dari hal seperti ini, muncul rasa nyaman dan merasa AI “si paling mengerti kita”. Padahal ketika ditelaah lebih mendalam, AI memiliki teknologi digital twin atau kembaran digital.
Representasi diri
Fenomena curhat dengan AI dapat dipahami sebagai bentuk digital twin, dimana setiap curhatan yang disampaikan menjadi data yang diproses untuk membentuk representasi diri pengguna, sehingga AI mampu memberikan respons yang selaras dengan harapan, baik berupa validasi, dukungan emosional, maupun solusi. AI tidak hanya menjadi alat percakapan, tetapi juga cermin emosional yang menyesuaikan jawaban agar terasa personal seolah-olah AI benar-benar “mengerti” dan “nyambung”.
Fenomena ini menjadi kajian menarik oleh para peneliti dan akademisi, seperti penelitian yang dilakukan Chu Duc (2025) menyebutkan bahwa hasil penelitian yang didapatkan ternyata pengguna yang menjadikan AI sebagai teman curhat didominasi oleh anak muda, laki-laki dan rentan terhadap maladaptif. Maladaptif merujuk pada perilaku, pola pikir dan strategi koping yang tidak efektif bahkan merugikan seseorang mengatasi masalah atau beradaptasi dengan lingkungannya.
Penelitian Hisan dan Amri (2022) yang mengkaji fungsi chatbot sebagai pendukung kesehatan mental selama pandemi menunjukkan bahwa chatbot mampu memberikan bantuan awal berupa konsultasi dan deteksi gejala psikologis ringan, meskipun tidak menggantikan peran profesional. Mereka menekankan pentingnya pengawasan etis dalam penggunaan AI di ranah kesehatan mental untuk menghindari kesalahan diagnosis dan ketergantungan emosional pada sistem non-manusia.
Berikutnya penelitian Norsley (2023) menunjukkan remaja awalnya menggunakan ChatGPT hanya untuk bersenang-senang atau iseng.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.