Jurnalisme Warga
Kisah Candi yang Diubah Jadi Masjid di Indrapuri
Liburan kali ini saya dan keluarga berkunjung ke salah satu dari sekian banyak cagar budaya itu, yakni Masjid Tuha Indrapuri.
CHAIRUL BARIAH, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Bireuen, melaporkan dari Indrapuri, Aceh Besar
Menikmati libur akhir tahun tidak harus ke luar provinsi, mengingat masih banyak destinasi wisata yang tersebar di seluruh Aceh yang belum kita kunjungi.
Bagi yang menyukai laut dengan suasana pantai yang asri dan indah silakan berkunjung ke Pulau Weh, Sabang. Yang menyukai udara dingin pegunungan, melawatlah ke Bener Meriah atau Aceh Tengah.
Aceh juga kaya akan situs sejarah dan cagar budaya. Tercatat pula sebagai tempat penyebaran Islam pertama di Nusantara. Kedatangan saudagar-saudagar dari Gujarat, India, melalui Selat Malaka pada abad ke-13 Masehi membawa Islam ke Nusantara dan lahirlah Kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Islam pertama di Indonesia.
Seingat saya, sedikitnya ada 60 titik destinasi wisata menarik di seluruh Aceh yang sudah dibukukan DInas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh tahun 2022 karya puluhan penulis dari FAMe sebagai rekomendasi bagi siapa pun yang ingin berkunjung.
Liburan kali ini saya dan keluarga berkunjung ke salah satu dari sekian banyak cagar budaya itu, yakni Masjid Tuha Indrapuri.
Sebenarnya sudah lama keponakan saya, Gustia, menawarkan kunjungan ke masjid ini, tetapi selalu ada saja halangan. Baru kali inilah, menjelang 2024 berakhir, terpenuhi apa yang kami rencanakan.
Persiapan menuju lokasi sudah kami mulai sejak pukul 15.00 WIB. Gustia yang bertindak sebagai pengemudi didampingi suaminya perlahan mulai melaju meninggalkan Kompleks Cadek Permai, Aceh Besar, menuju Indrapuri.
Jarak tempuh ± 25 km dari Banda Aceh ke Indrapuri dengan waktu tempuh ± 35 menit.
Selama dalam perjalanan kami leluasa melihat di sisi kanan dan kiri jalan sawah warga yang hijau bagaikan hamparan permadani. Terlihat dari kejauhan beberapa petani perempuan dan laki-laki memakai pakaian warna-warni dan topi lebar berjalan di atas pematang baru saja meninggalkan sawahnya.
Sambil menyetir, Gustia bercerita bahwa dia dan keluarganya sering berkunjung ke masjid tua (tuha) ini. Meski agak jauh dari kediamannya, tetapi ada rasa rindu setelah meninggalkannya.
“Masjid Tuha Indrapuri ini unik, sejuk, dan nyaman,” katanya.
Tanpa terasa akhirnya kami sampai di jembatan yang struktur betonnya terlihat kokoh menuju Masjid Tuha Indrapuri. Begitu turun dari kendaraan kami dapat melihat langsung media informasi yang tersedia tentang lokasi masjid ini di Desa Keude, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, berada di tepi aliran Sungai Indraputri, di bawah jembatan yang kami lewati tadi.
Sebelum menuju masjid tersedia toilet dan tempat wudu bagi perempuan dan laki-laki. Di depan gerbang kami jumpai prasasti dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang berisi informasi “Masjid ini dibangun pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) di atas bangunan pra-Islam. Dari segi arsitektur, Masjid Indrapuri masih terpengaruh oleh budaya Hindu yang terlihat dari bentuk atapnya yang bertingkat-tingkat. Masjid Indrapuri pernah dipakai sebagai tempat penobatan Sultan Muhammad Daudsyah pada tahun 1878 M sebagai sultan Aceh yang terakhir.”
Karena tujuan kami yang utama adalah melaksanakan shalat Asar, kami abaikan beberapa petunjuk tentang masjid ini. Kami bergegas menuju masjid dengan naik tangga yang jumlahnya tiga undakan. Dari bentuk tangganya sepertinya merupakan hasil timbunan dari empat undak candi yang tersisa hanya satu tingkat sebagai tempat ibadah atau masjid.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.