Jurnalisme Warga

Replika Meuligoe Bupati Bireuen, Bangunanyang Menghidupkan Ingatan Bangsa

Replika tersebut dibangun bukan oleh proyek besar pemerintah, melainkan oleh inisiatif pribadi Hj Noor Balqis SPs.

Editor: mufti
IST
ICHSAN, M.Sn., Dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh dan pemerhati warisan sejarah Aceh, melaporkan dari Jantho, Aceh Besar 

ICHSAN, M.Sn., Dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh dan pemerhati warisan sejarah Aceh, melaporkan dari Jantho, Aceh Besar

11 Oktober 2025, Kabupaten Bireuen genap berusia 26 tahun. Dalam usia yang masih muda itu, Bireuen berdiri bukan sekadar sebagai wilayah administratif, melainkan sebagai tapak sejarah yang meneguhkan ingatan bangsa.

Di tengah hiruk pikuk persiapan perayaan hari jadi, panggung musik rakyat, barisan spanduk, dan papan bunga ucapan selamat, sejatinya ada satu simbol yang lebih pantas menjadi pusat perhatian dan refleksi. Ia adalah Replika Meuligoe Bupati Bireuen, sebuah bangunan yang tidak sekadar berdiri, tetapi juga berbicara tentang kesetiaan terhadap sejarah, kebersahajaan, dan cinta yang tak lekang terhadap tanah air.

Replika tersebut dibangun bukan oleh proyek besar pemerintah, melainkan oleh inisiatif pribadi Hj Noor Balqis SPs. Dia cucu pejuang yang memilih  untuk menghidupkan sejarah dengan tangan dan hartanya sendiri. Ia tidak menunggu anggaran pemerintah, tidak menunggu seremoni peresmian, melainkan bekerja dalam sunyi dengan semangat patriotik yang lahir dari cinta.

“Kalau kita tidak mulai sekarang, siapa lagi yang akan menjaga ingatan bangsa ini?” begitu kata beliau dalam sebuah wawancara (Juni, 2025).

Dari tangan sederhana itu, berdirilah replika yang kini menjadi magnet edukasi, ruang belajar sejarah, dan jantung baru kesadaran kolektif Bireuen.

Secara fisik, Replika Meuligoe menampilkan perpaduan yang harmonis antara estetika kolonial dan keanggunan arsitektur Aceh, serta berada di lingkungan Museum Kota Juang.

Bubungan atapnya menjulang tinggi, jendelanya lebar, ventilasinya yang luas menandakan perpaduan antara kekokohan dan kehangatan budaya tropis.

Sejarah mencatat bahwa Meuligoe Bupati Bireuen yang asli pernah menjadi tempat Ir Soekarno—sang Proklamator dan Presiden pertama Republik Indoesia—beristirahat dan memimpin koordinasi pemerintahan darurat kala revolusi kemerdekaan.

Dari ruang sederhana di jantung kota itu, arah perjuangan bangsa diteguhkan. Di situlah “Kota Juang” lahir, bukan sebagai slogan politik, melainkan simbol moral dari sebuah keberanian kolektif.

Bangunan asli itu masih berdiri hingga kini, menjadi situs sejarah yang sunyi, tetapi sakral, tempat perenungan dan penghormatan terhadap masa lalu.

Namun, sejarah tidak selalu hidup dalam keheningan. Terkadang, ia perlu dihadirkan kembali dalam bentuk baru agar tetap dapat berbicara kepada generasi muda. Dari kesadaran inilah, lahir Replika Meuligoe Bupati Bireuen, bukan sebagai pengganti, tetapi sebagai penyambung napas sejarah.

Bukan sekadar tiruan

Amos Rapoport (1979) menjelaskaan bahwa arsitektur tradisional selalu merupakan hasil dialog antara manusia, budaya, dan iklim. Maka, Replika Meuligoe ini bukan sekadar tiruan, melainkan tafsir baru atas bangunan sejarah yang menyatukan masa lalu dan masa kini.

Dalam kajian Roland Barthes, simbol arsitektur bukan hanya benda fisik, melainkan juga teks sosial yang memproduksi makna. Setiap ukiran dan ornamen dalam Replika Meuligoe berbicara, tentang keteguhan, kesetiaan, dan daya hidup masyarakat Aceh. Jika bangunan aslinya menghadirkan aura perenungan sejarah, maka replikanya menghadirkan energi partisipatif, membuka ruang bagi masyarakat untuk belajar, menafsir, dan menghidupkan sejarah secara bersama.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved