Opini
Kenaikan PPN dan Dampak Strategis bagi Ekonomi Aceh
Pemerintah Indonesia mulai tahun 2025 menerapkan kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% untuk barang mewah.
Ulphi Suhendra MM MH, Fungsional Penyuluh Pajak Kantor Wilayah DJP Aceh
"NO taxation without representation." Slogan yang muncul pada abad ke-18 di Amerika Serikat ini menjadi pengingat pentingnya hubungan antara kewajiban membayar pajak dengan partisipasi dalam pengambilan keputusan publik. Prinsip ini merefleksikan keadilan dalam kebijakan perpajakan, di mana kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan aspirasi rakyat agar tercipta pemerataan dan kepercayaan.Pandangan ini juga sejalan dengan pemikiran Ibnu Khaldun, seorang pemikir besar Islam, yang dalam muqaddimahnya menekankan bahwa pajak yang terlalu berat dapat melemahkan produktivitas ekonomi dan menyebabkan keruntuhan negara. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara tingkat pajak yang wajar dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah Indonesia mulai tahun 2025 menerapkan kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen untuk barang mewah. Kebijakan ini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131 Tahun 2024 dan merupakan implementasi dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) No. 7 Tahun 2021. UU HPP dirancang untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, efisien, dan mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Dalam kebijakan ini, tarif umum PPN sebesar 11 % tetap diberlakukan untuk barang dan jasa non-mewah, sehingga daya beli masyarakat luas tetap terlindungi. Langkah ini juga bertujuan untuk memastikan asas keadilan pajak dengan meminta kontribusi lebih besar dari kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi. Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menegaskan pentingnya langkah ini pada pengujung tahun 2024 sebagai wujud nyata semangat gotong royong dalam pembangunan nasional.
Pendekatan ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga keseimbangan sosial-ekonomi. Dengan nilai PPN terutang yang harus dibayarkan masyarakat tetap sama untuk barang kebutuhan umum, daya beli masyarakat secara luas tetap terlindungi. Sementara kontribusi pajak dari barang mewah dapat mendukung prinsip quality of spending dan innovative and sustainable financing. Hal ini memberikan ruang untuk pembiayaan pembangunan yang tidak hanya inklusif tetapi juga ramah lingkungan, efisien, dan berorientasi jangka panjang, sejalan dengan upaya pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs).
Dampak dari kebijakan ini terhadap daya beli masyarakat dapat dirasakan melalui stabilitas harga mayoritas barang dan jasa. Dengan hanya menaikkan tarif pada barang mewah, harga barang kebutuhan sehari-hari tetap terkendali. Langkah ini juga mengurangi kekhawatiran psikologis masyarakat akan kenaikan harga barang secara umum, sekaligus mendorong konsumsi domestik sebagai penopang pemulihan ekonomi pascapandemi. Mengingat pajak menyumbang lebih 75?ri total pendapatan negara, kebijakan ini menjadi fondasi penting dalam mendanai program pembangunan seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan subsidi kebutuhan dasar.
Untuk menjaga keseimbangan ekonomi di tengah implementasi kebijakan ini, pemerintah juga memberikan berbagai stimulus. Diskon tarif listrik untuk rumah tangga dan pelaku usaha kecil berlaku selama Januari hingga Februari 2025. Perpanjangan Insentif Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5?gi UMKM selama tahun 2025. Selain itu, kemudahan akses jaminan kehilangan pekerjaan, insentif properti untuk pembelian rumah hingga Rp5 miliar, serta insentif bagi kendaraan listrik dan hybrid.
Kenaikan tarif PPN pada barang mewah memberikan potensi signifikan bagi penerimaan negara tanpa membebani masyarakat luas. Penerapan tarif ini meningkatkan kontribusi dari segmen berpenghasilan tinggi, sementara pemerintah juga memanfaatkan kebijakan ini untuk memperluas basis pajak, khususnya di sektor informal dan digital. Dengan efisiensi alokasi belanja negara yang mendukung prinsip quality of spending, fokus dapat diarahkan ke sektor-sektor strategis seperti pendidikan dan infrastruktur.
Implementasi kebijakan ini sejalan dengan peluncuran sistem Coretax oleh Direktorat Jenderal Pajak, yang dirancang untuk mengelola kebijakan perpajakan secara terintegrasi. Sistem ini memungkinkan penghitungan tarif PPN yang berbeda untuk kategori barang tertentu, memperkuat pengawasan terhadap transaksi barang mewah, dan meningkatkan transparansi pajak dengan menyediakan laporan real-time kepada publik. Selain itu, Coretax juga diharapkan mampu mendorong tingkat kepatuhan pajak melalui pengawasan yang lebih canggih.
Aceh, sebagai daerah dengan otonomi khusus, memiliki potensi besar untuk memanfaatkan dampak positif dari kebijakan ini. Jika menilik sejarah pada masa kejayaan Sultan Iskandar Muda, Aceh pernah menjadi pusat perdagangan regional yang makmur berkat pengelolaan sumber daya alam yang strategis dan sistem perdagangan yang terintegrasi dengan kawasan internasional. Komoditas unggulan seperti lada dan rempah-rempah kala itu menjadi tulang punggung ekonomi, mendukung pertumbuhan kerajaan yang kuat dan berpengaruh.
Dalam konteks modern, dana transfer dari pusat yang meningkat berkat kenaikan tarif PPN dapat dimanfaatkan secara optimal untuk sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, sebagaimana Aceh dahulu mengandalkan investasi strategis dalam penguatan ekonomi maritim dan agrikultur. Pengelolaan kebijakan terkait barang mewah di Aceh perlu diselaraskan dengan aturan pusat tanpa melupakan nilai-nilai syariat Islam yang menjadi ciri khas daerah ini. Fokus pada penguatan ekonomi lokal melalui UMKM dan pariwisata halal menjadi langkah penting untuk memitigasi dampak kebijakan terhadap masyarakat setempat, sambil menghidupkan kembali semangat kemandirian ekonomi yang pernah berjaya di masa lalu.
Mendanai sektor prioritas
Potensi ekonomi Aceh juga dapat ditingkatkan melalui pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Aceh yang kaya akan hasil bumi seperti minyak dan gas, perikanan, serta agrikultur memiliki peluang untuk meningkatkan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Peningkatan penerimaan negara dari kebijakan ini dapat dialokasikan untuk membangun infrastruktur yang mendukung sektor-sektor tersebut, seperti pelabuhan, jalan akses, dan pusat logistik. Hal ini akan mendorong efisiensi distribusi hasil produksi Aceh ke pasar domestik dan internasional.
Sementara itu, sektor pariwisata halal di Aceh juga memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Sebagai destinasi yang dikenal dengan penerapan syariat Islam, Aceh dapat menarik wisatawan lokal dan mancanegara yang mencari pengalaman pariwisata yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Investasi pada infrastruktur wisata, promosi pariwisata halal, dan pelatihan pelaku usaha di sektor ini dapat meningkatkan daya saing Aceh sebagai destinasi unggulan di Indonesia.
Di sisi lain, sebagai daerah dengan otonomi khusus, Aceh memiliki potensi besar untuk memanfaatkan dampak positif dari kebijakan ini. APBA 2024, sesuai Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2024, mencatat pendapatan sebesar Rp11,024 triliun dan belanja Rp11,446 triliun. Alokasi prioritas mencakup pendidikan Rp3,103 triliun dan kesehatan Rp1,924 triliun. Dengan peningkatan potensi penerimaan dari kebijakan kenaikan PPN pada barang mewah, Aceh diharapkan dapat lebih optimal dalam mendanai sektor prioritas, seperti pendidikan dan kesehatan, sebagaimana tercermin dari alokasi belanja pendidikan sebesar Rp3,103 triliun dan kesehatan sebesar Rp1,924 triliun. Kombinasi antara kebijakan pusat dan pengelolaan daerah yang efektif akan memperkuat perekonomian Aceh yang inklusif dan berkelanjutan.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 % untuk barang mewah sebagaimana diatur dalam PMK 131/2024 adalah langkah strategis yang mampu menjaga daya beli masyarakat umum melalui nilai PPN terutang tetap sama yang berlaku untuk barang nonmewah. Dengan dukungan sistem Coretax, kebijakan ini diharapkan tidak hanya memaksimalkan penerimaan pajak tetapi juga menjaga momentum pemulihan ekonomi.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang pentingnya pajak yang wajar agar tidak memberatkan masyarakat menjadi refleksi penting dalam pelaksanaan kebijakan ini. Bagi Aceh, kebijakan ini membuka peluang untuk memperkuat ekonomi lokal dengan tetap menjaga sinergi dengan program nasional demi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.