Berita Aceh Utara
Hibah untuk Instansi Vertikal Bebani Anggaran dan Rugikan Rakyat, Dosen Unimal: Lemah Fungsi DPRA
Sejak 2017 hingga 2024, berdasarkan data diungkap oleh MaTA bersama LBH Banda Aceh, Pemerintah Aceh telah mengalokasikan Rp 308,3 miliar untuk instans
Penulis: Jafaruddin | Editor: Mursal Ismail
Sejak 2017 hingga 2024, berdasarkan data diungkap oleh MaTA bersama LBH Banda Aceh, Pemerintah Aceh telah mengalokasikan Rp 308,3 miliar untuk instansi vertikal.
Laporan Jafaruddin I Aceh Utara
SERAMBINEWS.COM, LHOKSUKON - Hibah pemerintah daerah seharusnya menjadi alat untuk mendukung pembangunan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tapi praktik pemberian hibah kepada instansi vertikal yang berlangsung di Aceh telah menimbulkan kegelisahan mendalam.
Sejak 2017 hingga 2024, berdasarkan data diungkap oleh MaTA bersama LBH Banda Aceh, Pemerintah Aceh telah mengalokasikan Rp 308,3 miliar untuk instansi vertikal.
Hal itu disampaikan Nazaruddin MAP, Pemerhati Masalah Kebijakan dan Dosen Kebijakan Publik di Prodi Administrasi Publik, FISIP, Universitas Malikussaleh, dalam siaran pers kepada Serambinews.com, Sabtu (25/1/2025).
“Ironisnya, dana ini digunakan untuk kebutuhan yang tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat, seperti rehabilitasi kantor 53 persen, fasilitas rumah dinas 19 % , fasilitas olahraga 15 % , dan belanja kendaraan serta fasilitas penunjang lainnya,” ujar Nazaruddin.
Padahal Aceh saat ini masih menghadapi tantangan besar dalam bidang pendidikan dan pelestarian sejarah.
Baca juga: Distanpang Pidie Tetapkan Kuota Pupuk Subsidi Per Kecamatan, yang Sudah Terealisasi belum Dilaporkan
Kualitas pendidikan di Aceh, yang menjadi kunci untuk mencetak generasi penerus yang kompetitif, sering kali berada pada posisi yang memprihatinkan.
Minimnya perhatian pemerintah terhadap penyediaan fasilitas pendidikan, pengembangan kualitas guru, dan pemerataan akses pendidikan menunjukkan ketidakadilan alokasi anggaran.
Dana yang semestinya bisa digunakan untuk membangun sekolah, laboratorium, atau perpustakaan malah dialihkan untuk kebutuhan instansi vertikal yang sebenarnya telah mendapat anggaran operasional dari pusat.
Selain itu, penyelamatan warisan sejarah Aceh juga luput dari perhatian pemerintah.
Warisan budaya dan sejarah yang menjadi identitas dan kebanggaan rakyat Aceh kini lebih banyak diselamatkan oleh para pegiat sejarah secara swadaya.
“Mereka sering kali terpaksa bekerja tanpa dukungan memadai dari pemerintah, padahal tanggung jawab pelestarian warisan sejarah adalah amanah bersama,” ungkap mantan Ketua BEM Unimal.
Baca juga: Warga Banda Alam Aceh Timur Demo di Area Perkebunan Sawit PT Bumi Flora, Tuntut Pengembalian Lahan
Sementara itu, pemerintah justru mengalokasikan anggaran yang besar untuk membiayai rehabilitasi rumah dinas dan pembangunan pagar instansi vertikal.
Praktik hibah ini tidak hanya membebani anggaran daerah, tetapi juga membuka celah terjadinya konflik kepentingan antara pemerintah daerah dan instansi vertikal.
Hibah dapat menjadi "alat negosiasi" untuk membungkam atau memengaruhi independensi lembaga penegak hukum.
Fenomena ini tidak hanya merusak profesionalitas lembaga vertikal, tetapi juga memperkuat budaya patronase dan kolusi yang mengorbankan kepentingan rakyat.
Forum komunikasi pimpinan daerah (FORKOPIMDA) yang seharusnya menjadi ruang untuk menyinergikan program demi kepentingan masyarakat, kini berpotensi berubah menjadi forum bagi-bagi anggaran.
Pejabat pemerintah daerah perlu mengingat bahwa dana hibah ini adalah uang rakyat, bukan alat untuk menciptakan hubungan transaksional dengan instansi vertikal.
Baca juga: Sampah Jadi Uang di Lhokseumawe Bakal Jadi Kenyataan, Ini Gebrakan Sayuti Abu Bakar
Pengawasan DPRA lemah
Sebaliknya, instansi vertikal juga seharusnya memiliki keberanian untuk menolak hibah yang berpotensi merusak integritas dan keprofesionalan mereka.
“Yang lebih mencengangkan adalah sikap DPRA yang terkesan diam dan tidak kritis terhadap permasalahan ini.
Padahal, DPRA memiliki peran strategis sebagai lembaga pengawas yang bertanggung jawab untuk memastikan anggaran daerah digunakan sesuai dengan kebutuhan rakyat,” ujar Nazar.
Sikap pasif DPRA kata Dosen Kebijakan Publik, mencerminkan lemahnya fungsi pengawasan dan representasi yang semestinya mereka emban.
DPRA memiliki kewenangan untuk mengevaluasi, menolak, atau bahkan merevisi pengalokasian anggaran yang tidak berpihak pada rakyat.
Namun, dalam kasus ini, mereka tampak lebih memilih "diam seribu bahasa" atau bahkan mungkin menjadi bagian dari persoalan.
Alih-alih berperan sebagai penjaga kepentingan publik, DPRA justru gagal mencegah praktik pemborosan anggaran yang tidak memiliki dampak signifikan bagi masyarakat.
Diamnya DPRA hanya akan memperburuk kondisi dan menciptakan ruang bagi kelanjutan praktik yang tidak adil ini.
Sebagai wakil rakyat, seharusnya mereka menjadi garda terdepan dalam menolak alokasi dana yang tidak mendukung peningkatan kesejahteraan rakyat, khususnya dalam sektor pendidikan dan pelestarian sejarah.
“Langkah konkret harus segera diambil untuk menghentikan praktik yang tidak adil ini dan memastikan anggaran daerah digunakan secara bertanggung jawab,” kata Nazar.
Ia menyampaikan beberapa langkah yang perlu dilakukan adalah: moratorium hibah kepada instansi vertikal.
Pemerintah Aceh perlu menghentikan sementara pemberian hibah kepada instansi vertikal hingga ada regulasi yang jelas dan transparan tentang penggunaan dana hibah.
Terutama yang benar-benar berdampak pada masyarakat.
Peningkatan Kualitas Pendidikan, sebagian besar dana hibah seharusnya dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Aceh.
Pembangunan infrastruktur pendidikan, pengadaan fasilitas belajar-mengajar yang memadai, serta peningkatan kompetensi guru adalah langkah penting yang harus menjadi prioritas utama dalam APBA.
Pendidikan yang berkualitas akan menjadi investasi jangka panjang untuk masa depan Aceh;
Penyelamatan Warisan Sejarah, Pemerintah Aceh harus mengambil tanggung jawab lebih besar dalam pelestarian warisan sejarah.
Situs-situs sejarah, manuskrip kuno, dan budaya lokal yang menjadi identitas Aceh tidak boleh lagi hanya diselamatkan oleh pegiat sejarah dengan cara swadaya.
Pemerintah harus menyediakan anggaran khusus untuk merestorasi, melestarikan, dan mempromosikan warisan sejarah agar dapat menjadi sumber edukasi dan daya tarik wisata yang menguntungkan masyarakat;
Pengawasan dan transparansi anggaran. Setiap alokasi dana hibah harus diawasi secara ketat oleh lembaga independen. Proses ini harus melibatkan masyarakat sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas pemerintah.
Mengembalikan Anggaran untuk kepentingan rakyat . Hibah untuk instansi vertikal yang terus membebani APBA adalah bentuk ketidakadilan anggaran yang tidak dapat dibiarkan.
Pemerintah Aceh memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan setiap rupiah dari APBA digunakan secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan untuk membiayai instansi pusat yang telah memiliki anggaran operasional tersendiri.
Saatnya Pemerintah Aceh dan DPRA lebih kritis dalam menentukan prioritas anggaran.
Pendidikan yang berkualitas dan pelestarian warisan sejarah bukanlah kebutuhan sekunder yang bisa diabaikan, melainkan fondasi penting untuk membangun Aceh yang lebih baik.
“Jika prioritas ini terus diabaikan, maka Pemerintah Aceh dan DPRA tidak hanya mengkhianati amanah rakyat, tetapi juga menghancurkan masa depan generasi penerus Aceh,” pungka Nazaruddin. (*)
Hakim PN Lhoksukon Tetapkan Jadwal Sidang Kasus Senjata Api, Tiga Masih DPO |
![]() |
---|
Dua Calon Keuchik di Aceh Utara Adu Visi-Misi di Depan Panelis Akademisi dan Praktisi Pemilu |
![]() |
---|
Karang Taruna Aceh Utara Latih Remaja dan Pemuda Putus Sekolah Operasikan Komputer |
![]() |
---|
Polisi Terus Kawal Pembagian Makan Gratis pada Siswa di Aceh Utara |
![]() |
---|
Anggota DPRK Aceh Utara Dirawat di Ruang ICU RSU Cut Meutia Setelah Tabrakan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.