Opini
Kut, Ujung Beras yang Dapat Mencegah Stunting
Kut ujung beras adalah praktik memanfaatkan bagian butiran kecil yang tersisa dari proses penggilingan beras. Dalam budaya masyarakat, bagian ini seri
Oleh: Elida Fitri S ST Bd dan Dr H Said Usman SPd M Kes
STUNTING masih menjadi permasalahan serius di Indonesia, terutama di Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Berbagai Strategi Promosi Kesehatan telah digalakkan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini, mulai dari edukasi tentang gizi, program intervensi gizi spesifik, hingga pemberdayaan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan gizi anak. Namun, sering kali kita lupa bahwa solusi atas masalah ini bisa berasal dari kebiasaan-kebiasaan sederhana yang telah lama dikenal dalam budaya masyarakat. Salah satu contohnya adalah konsep "Kut ujung beras", sebuah kebiasaan lama yang sebenarnya memiliki potensi besar dalam pencegahan stunting.
Kut ujung beras adalah praktik memanfaatkan bagian butiran kecil yang tersisa dari proses penggilingan beras. Dalam budaya masyarakat, bagian ini sering dianggap tidak bernilai dan cenderung dibuang. Padahal, bagian ujung beras ini memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tengahnya yang sering dikonsumsi sehari-hari. Dalam dunia kesehatan, ujung beras mengandung lebih banyak serat, mineral, dan vitamin yang penting bagi pertumbuhan anak. Sayangnya, modernisasi dan perubahan pola konsumsi masyarakat telah membuat kebiasaan ini semakin ditinggalkan.
Ketika kita berbicara tentang strategi promosi kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pendekatan berbasis kearifan lokal seperti “kut” ujung beras seharusnya mendapatkan perhatian lebih. Selama ini, promosi kesehatan cenderung berfokus pada intervensi medis dan suplementasi gizi tambahan, yang meskipun efektif, sering kali menuntut biaya yang tidak sedikit. Padahal, jika masyarakat diedukasi tentang pentingnya konsumsi bagian-bagian beras yang lebih bernutrisi, mereka dapat memperoleh manfaat kesehatan dengan cara yang lebih murah dan berkelanjutan. Inilah yang seharusnya menjadi strategi utama dlam promosi kesehatan: mengoptimalkan potensi lokal untuk kesejahteraan masyarakat.
Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu momen penting dalam Islam yang mengandung banyak pelajaran berharga, termasuk dalam konteks kesehatan dan kesejahteraan sosial. Dalam peristiwa tersebut, Nabi Muhammad SAW mendapat perintah shalat lima waktu yang bukan hanya sebagai ibadah, tetapi juga memiliki dampak kesehatan yang signifikan. Shalat mengajarkan disiplin, keseimbangan, dan pengendalian diri—nilai-nilai yang juga sangat relevan dalam membangun pola hidup sehat. Jika nilai-nilai kedisiplinan ini diterapkan dalam pola konsumsi maakanan, masyarakat akan lebih sadar dalam memilih makanan yang bergizi bagi keluarga mereka.
Sejalan dengan semangat Isra Mi’raj, promosi kesehatan tidak hanya sekadar tentang menyediakan informasi, tetapi juga bagaimana membangun kesadaran dan kebiasaan baik yang berkelanjutan. Jika masyarakat diberikan pemahaman bahwa mengonsumsi “kut” ujung beras dapat memberikan manfaat besar bagi kesehatan anak-anak mereka, terutama dalam mencegah stunting, maka kesadaran ini dapat menjadi gerakan sosial yang berdampak luas. Dalam Islam, setiap tindakan kecil yang membawa manfaat bagi orang lain memiliki nilai ibadah. Dengan demikian, memanfaatkan “kut” ujung beras bukan hanya menjadi langkah praktis dalam mencegah stunting, tetapi juga merupakan bentuk kepedulian sosial yang selaras dengan ajaran Islam.
Pemerintah daerah, baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota, perlu mengintegrasikan pendekatan berbasis kearifan lokal ini ke dalam program promosi kesehatan mereka. Selain mengampanyekan pentingnya konsumsi makanan bergizi secara umum, edukasi tentang pemanfaatan “kut” ujung beras bisa dimasukkan dalam berbagai kegiatan masyarakat seperti pengajian, pelatihan ibu-ibu PKK, dan program pemberdayaan ekonomi keluarga. Dengan memanfaatkan momentum Isra Mi’raj, pemerintah juga bisa menggandeng tokoh agama untuk menyebarkan pesan ini kepada masyarakat luas. Hal ini penting karena tokoh agama memiliki peran besar dalam membentuk kebiasaan dan pola pikir masyarakat, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan dan kesehatan.
Strategi promosi kesehatan yanga efektif haruslah berbasis pada realitas sosial dan budaya masyarakat setempat. Jika pemerintah hanya mengandalkan pendekatan berbasis medis tanpa mempertimbangkan kebiasaan lokal, maka pesana kesehatan yang disampaikan akan sulit diterima dan diterapkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, menggali kembali praktik-praktik lama yang memiliki nilai gizi tinggi, seperti “kut” ujung beras, dapat menjadi salah satu solusi strategis dalam menanggulangi stunting secara berkelanjutan. Langkah ini tidak hanya memperkuat ketahanan pangan lokal, tetapi juga membangun kemandirian masyarakat dalam menjaga kesehatan anak-anak mereka.
Dalam konteks yang lebih luas, pendekatan berbasis kearifan lokal juga dapat menjadi solusi bagi berbagai permasalahan kesehatan lainnya. Banyak tradisi dan kebiasaan nenek moyang kita yang sebenarnya memiliki dasar ilmiah yang kuat, hanya saja sering kali terlupakan akibat perubahan gaya hidup modern. Oleh karena itu, mengintegrasikan kembali kebiasaan-kebiasaan ini ke dalam strategi promosi kesehatan dapat menjadi langkah inovatif yang tidak hanya efektif tetapi juga lebih mudah diterima oleh masyarakat. Pendekatan ini juga sejalan dengan konsep Islam yang menekankan pentingnya menjaga kesehatan sebagai bagian dari ibadah.
Di berbagai daerah di Indonesia, berbagai program telah dikembangkan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya konsumsi gizi seimbang, terutama bagi anak-anak. Namun, tanpa dukungan penuh dari masyarakat, program-program tersebut sering kali tidak berjalan optimal. Oleh karena itu, keterlibatan lanasung dari masyarakat, terutama ibu-ibu rumah tangga, dalam menerapkan kebiasaan konsumsi makanan bergizi perlu lebih didorong. Pemerintah dapat bekerja sama dengan komunitas lokal untuk menyebarluaskan informasi mengenai manfaat “kut” ujung beras dan bagaimana cara mengolahnya menjadi makanan yang lezat dan bernutrisi tinggi.
Selain itu, perlu adanya dukungan dari dunia akademik dan penelitian untuk memperkuat bukti ilmiah mengenai manfaat “kut” ujung beras dalam mencegah stunting. Dengan adanya penelitian yang lebih mendalam, promosi kesehatan yang berbasis kearifan lokal ini dapat memiliki dasar ilmiah yang lebih kuat dan lebih mudah diterima oleh masyarakat luas. Perguruan tinggi daan lembaga penelitian dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengembangkan strategi edukasi yang lebih efektif dan berbasis bukti.
Pada akhirnya, stunting bukan hanya persoalan gizi, tetapi juga merupakan refleksi dari pola pikir dan kebiasaan masyarakat. Jika kita ingin benar-benar mengatasi permasalahan ini, kita harus melihatnya dari berbagai aspek, termasuk sosial, budaya, dan agama. “Kut” ujung beras hanyalah salah satu contoh kecil dari bagaimana kearifan lokal dapat menjadi solusi atas permasalahan kesehatan. Namun, jika kebiasaan sederhana ini dapat dihidupkan kembali dan dijadikan bagian dari strategi promosi kesehatan, maka dampaknya bisa sangat besar bagi generasi mendatang.
Sebagai bagian dari masyarakat, kita semua memiliki tanggung jawab dalam mendukung program-program kesehatan yang berkelanjutan. Pemerintah harus terus menggencarkan promosi kesehatan berbasis lokal, sementara masyarakat juga harus terbuka terhadap kebiasaan lama yang memiliki nilai kesehatan tinggi. Dengan kombinasi antara kebijakan yang tepat, dukungan masyarakat, serta semangat pembelajaran dari Isra Mi’raj, kita dapat membangun generasi yang lebih sehat dan bebas dari stunting. “Kut” ujung beras, yang selama ini dianggap sepele, ternyata bisaa menjadi salah satu solusi sederhana namun ampuh dalam melawan permasalahan gizi di Indonesia. Sudah saatnya kita menghargai kembali kebiasaan lama ini dan menjadikannya bagian dari upaya menciptakan masa depan yang lebih baik.
*) Penulis adalah mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.