Opini
Nasihatul Muluk untuk Pemimpin Aceh
Tidak lain yang menjadi harapan kita, kecuali terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Swt.
Oleh: Syukur Hasbi*)
ACEH dalam beberapa hari terakhir ini disibukkan dengan pelantikan para pemimpin, dari provinsi maupun kabupaten/kota. Sejumlah visi misi telah disampaikan oleh para pemimpin ini untuk memajukan daerah.
Tidak lain yang menjadi harapan kita, kecuali terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Swt.
Berkaitan dengan ini, ada baiknya mengingatkan para pemimpin untuk mendengarkan nasehat-nasehat politik dari Imam Ghazali.
Hujjatul Islam ini disatu sisi dinilai sebagai sosok yang mengedepankan penyucian diri dari pengaruh dunia, termasuk politik. Dalam kitabnya Ayyuhal Walad, Ghazali dalam nasehat-nasehatnya meminta kita agar menghindari diri dari duduk dan bercampur dengan penguasa. Bergaul dengan para penguasa dinilainya bisa merusak agama seseorang.
Namun disisi lain, Ghazali menaruh perhatian besar pada politik. Hal ini dapat ditemukan dalam kitab-kitabnya seperti Ihya Ulumuddin, Mizanul Amal, Fadhaihul Bathiniyyah, Mustadhari, Aliqtisad fil I'tikad, dan Nasihatul Muluk.
Di antara kitab-kitab tersebut, kitab Nasihatul Muluk (nasehat untuk para pemimpin) merupakan buku utama yang bisa dijadikan rujukan saat ingin mengetahui pemikiran politik Ghazali. Kitab Nasihatul Muluk ini mengandung pelajaran hikmah yang berpedoman pada agama sebagai hidayah dan bimbingan untuk para raja, para menteri serta penguasa lainnya.
Dari segi isi, kitab ini juga menukil banyak ayat, riwayat serta kisah-kisah penguasa hingga pembesar agama maupun politik pada masa lalu. Pembahasan dalam kitab ini banyak menjelaskan hubungan para pemimpin dengan Allah serta hubungan pemimpin dengan rakyatnya.
Pada permulaan kitabnya ini, Ghazali menenkankan pentingnya akidah yang benar bagi para penguasa. “Ketahuilah wahai penguasa, sesungguhnya kamu itu makhluk dan kamu mempunyai Khaliq (pencipta)”.
Sebab, diatas kekuasaanya masih ada penguasa yang Maha Adil. Disini, penekanan Ghazali terhadap keesaan Allah, Maha Kuasa, Beriradah, Berilmu, Maha Melihat, Maha Mendengar, serta sejumlah sifat-sifat lainNya. Termasuk pentingnya mengingat Rasulullah saw serta mengingat akhirat.
Tugas-tugas para pemimpin nantinya ini pun dibagi dua. Pertama yang berhubungan antara pemimpin sendiri dengan Allah seperti puasa, shalat, haji, zakat, menghindari meminum yang memabukkan serta menghindar dari yang diharamkan. Kedua yang berhubungan antara pemimpin dengan makhluk. Itulah keadilan kepada rakyat dan tidak melakukan kezaliman.
Ghazali lebih lanjut menjelaskan bahwa pohon keimanan itu memiliki cabang-cabang. Diantara cabang-cabangnya itu, agar pemimpin mengetahui nilai dan harga sebuah kepemimpinan dan bahayanya. Kepemimpinan adalah nikmat dari nikmat-nikmat Allah Swt.
Siapa yang berhasil menjalankannya, dia akan mendapatkan kebahagiaan tanpa akhir, dimana tidak ada kebahagiaan setelahnya. Dan siapa yang lalai dan gagal akan mendapatkan kesengsaraan dan penderitaan tanpa akhir, dimana tidak ada penderitaan setelahnya kecuali kekufuran.
Para pemimpin juga diminta agar memiliki kerinduan untuk melihat para ulama serta berhasrat untuk mendengar nasehat mereka. Pun begitu, Ghazali meminta agar pemimpin ini hendaklah waspada dan menghindar dari ulama buruk yang mendambakan dunia.
Karena ulama buruk ini akan memuji serta meminta ridha pemimpin karena tamak dengan apa yang penguasa miliki.
Dalam nasehat-nasehatnya ini, Ghazali meminta para pemimpin agar tidak merasa puas dengan berlepas tangan dari ketidakadilan. Hendaknya memperbaiki sikap dan tidak ridha dengan ketidakadilan para bawahannya. Sebab, pemimpin akan ditanya tentang ketidakadilan mereka.
Setiap kezaliman yang dilakukan oleh bawahan dan penguasa mengetahuinya, tapi dia diam tidak bertindak apa-apa. Maka kezaliman itu berada di pundak penguasa.
Dalam setiap masalah yang datang kepadamu, tambah Ghazali, anggap bahwa posisimu adalah salah satu dari rakyat. Dan jika penguasanya selain kamu, apa yang tidak kamu rela untuk dirimu sendiri, begitu juga seluruh muslim. Jika kamu terima apa yang tidak kamu sendiri tidak terima, maka kamu telah mengkhianati rakyatmu dan menipu yang kami wakili.
Para pemimpin juga diminta untuk tidak menghina dan meremehkan siapa saja yang membutuhkannya. “Waspadalah terhadap bahaya ini, dan bilamana seorang muslim mempunyai kebutuhan datang ke terhadapmu, jangan alihkan perhatianmu untuk memenuhi kebutuhannya dengan ibadah sunnah. Karena memenuhi kebutuhan umat Islam lebih baik daripada ibadah sunnah”.
Kepada pemimpin ini juga diharapkan agar tidak menyibukkan diri dengan aneka syahwat, seperti mengenakan pakaian mewah dan makan makanan enak.
Gunakanlah qana'ah (puas menerima apa adanya). Keadilan itu tidak terwujud bila tidak dibarengi dengan qana'ah. Kapanpun memungkinkan melakukan sesuatu, lakukanlah dengan penuh kebaikan dan kelembutan. Jangan melakukannya dengan kekerasan atau paksaan.
Dari Rasulullah diriwayatkan bawah setiap penguasa yang tidak berbuat baik kepada rakyatnya, maka Allah tidak akan berbuat baik kepadanya di hari kiamat.
Selama kepemimpinannya, tambah Ghazali, hendaknya para pemimpin berusaha keras untuk membuat rakyat puas sesuai dengan syariat Islam. Dari Rasulullah diriwayatkan bahwa sebaik-baik ummatnya adalah mereka yang mencintaimu dan kamu mencintai mereka.
Seburuk-buruknya ummatnya adalah mereka yang membencimu dan kamu membenci mereka. Mereka mengutukmu dan kamu mengutuk mereka.
Kepada penguasa juga diminta agar tidak tertipu oleh siapa pun yang mendatanginya dan memujinya. Hendaknya memilih orang-orang yang dipercaya agar menanyakan langsung keadaan penguasa dari rakyat guna mengetahui aib-aibnya melalui lidah manusia.
Para pemimpin juga tidak dibenarkan meminta meminta keredhaan dan persetujuan siapapun dari manusia dengan sesuatu yang melanggar syariat. Sesungguhnya siapa yang marah karena sesuatu bertolak belakang dengan syariat, maka kemarahannya itu tidak mudharat dan merugikan.
Setelah mengetahui pohon iman dan cabangnya, Hujjatul Islam ini juga menjelaskan dua sumber mata air dari pohon keimanan tersebut. Mata air pertama mengetahui hakekat dunia dan sebab adanya manusia di dalamnya. Kepada para penguasa diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat persinggahan, bukan tempat menetap. Manusia itu musafir.
Perut ibu adalah awal tempat persinggahan, sedang liang kubur akhir persinggahan. Negeri tempat menetap dan tinggal ada setelahnya. Mata air kedua mengetahui hakikat alam akhirat sebagai tempat kembali semua manusia nanti.
Dari sejumlah nasehat diatas, terlihat Ghazali menitikberatkan pada keadilan pemimpin terhadap rakyatnya.
Dalam hal ini, Ghazali mengutip beberapa riwayat dari Rasulullah Saw. Diantaranya disebutkan bahwa keadilan pemimpin sehari lebih dicintai Allah dari ibadah tujuh puluh tahun.
Karena itu, pemimpin yang adil merupakan salah satu nikmat Allah kepada hambanya yang tidak ada kenikmatan yang lebih mulia darinya. Sebaliknya, Rasullullah juga bersabda bahwa seberat-berat azab pada hari kiamat nanti adalah pemimpin yang tidak adil (dhalim).
*) Penulis adalah Dosen Luar Biasa Pascasarjana UIN Ar Raniry
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.