Jurnalisme Warga

Budaya Toet Leumang Menyambut Puasa Masih Lestari di Barsela

Menurutnya, Bakongan, Aceh Selatan, boleh dikatakan sebagai “benteng terkuat” dalam melestarikan budaya toet leumang itu.

Editor: mufti
SERAMBINEWS/tambeh.wordpress.com
T.A. SAKTI, peminat budaya Aceh, melaporkan dari Gampong  Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie 

T.A. SAKTI, peminat budaya Aceh, melaporkan dari Gampong  Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie

KETIKA  sedang berada  di sumur beberapa malam  lalu, saya terkenang dengan tradisi toet leumang (panggang lemang) menyambut  bulan Ramadhan di Aceh. Sekitar tahun 1960-an, di wilayah Kabupaten Pidie tradisi itu masih amat lumrah. Boleh dikatakan banyak warga Pidie yang melaksanakannya.

Esoknya, di saat  saya berada di sebuah warung kopi di Lamnyong dekat Kampus Darussalam, Banda Aceh, saya menelepon sejumlah kenalan  yang berasal dari beberapa kabupaten di Aceh, menanyakan perihal tradisi tersebut.

Toet leumang di Pidie

Muhammad Nur Hasballah alias Tgk Sabi yang saya hubungi amat lancar menjelaskan tentang tradisi toet leumang di Kabupaten Pidie. Soalnya, beliau yang pernah sekamar dengan saya di Asrama Mahasiswa Meurapi Dua di Yogyakarta, memang amat doyan makan lemang.

Sewaktu kecil, ayahnya Bapak Hasballah yang berprofesi sebagai guru SD di Lueng Putu, Pidie,  sering mengajaknya menikmati lemang di Keude Kembang Tanjung pada sore hari. Di Pasar (Keude) Kembang Tanjung yang ramai pada waktu sore itu, lemang selalu dijual setiap hari.

Hal ini dibenarkan oleh Fauzi Adam SH, asal Gampong Blang, Kembang Tanjung, bahwa di Keude Kembang Tanjung memang tersedia lemang setiap sore hari tempo dulu.

Lika-liku toet leumang

Jauh sebeum bulan puasa tiba, anak laki-laki berkeliling di kebun kelapa untuk  mengumpulkan bahan  bakar, berupa 'boh lupieng' (buah kelapa kering), pelepah daun kelapa, seludang, dan 'bruek geulupak' (batok kelapa yang terbelah).

Setelah dikumpulkan, semua bahan untuk memasak lemang itu ditumpuk di suatu tempat agar lebih kering.

Pas hari  “H” barulah diangkut ke tempat lemang dipanggang. Cukup gembira anak-anak ketika memanggul bahan bakar itu untuk dibawa ke tempat memasak lemang. Rasa-rasanya, bau enaknya lemang sudah tercium.

Lemang biasanya dimasak di samping atau di halaman rumah (rumoh Aceh). Bambu arau buluh (Aceh: buloh) sudah dipotong masing-masing per ruas. Jika satu ruas (saboh otot) amat panjang, maka dipangkas lagi. Sebatang pelepah aren muda (bak jok)  yang panjang diikat kedua ujungnya pada dua tiang.

Ke dalam lubang  buluh dimasukkan bahan lemang, berupa beras ketan yang sudah diaduk dengan santan kelapa, bumbu bawang merah, bumbu lain,  dan garam secukupnya. Ujung buluh ditutup (disumpai) dengan daun pisang muda yang sudah dilipat rapi.

Bakda shalat Asar, potongan  buluh lemang disandarkan pada pajangan pelepah aren hingga penuh dari ujung ke ujung.

Pada jam-jam pertama buluh lemang dipanggang kerumunan anak-anak di sekeliling “dapur lemang” riuh rendah. Mereka gembira karena ‘sebentar’ lagi akan menyantap lemang yang enak sekali.

Kini, tradisi berlemang di rumah tangga tidak terdengar lagi di Pidie. Namun, pedagang kue lemang banyak yang menjajakan dagangan itu pada hari 'mak meugang' di pasar-pasar di seluruh Kabupaten Pidie.

M Yusrizal SPd yang berasal dari Simpang Mulieng, Aceh Utara, mengatakan bahwa tradisi toet leumang menyambut  bulan Ramadhan  tidak dipraktikkan di daerahnya. Yusrizal berkali-kali menyebut budaya Aceh itu banyak dilakoni oleh masyarakat  barat dan selatan Aceh (Barsela). Siti Hajar SHum, MAg  yang tinggal di Peureulak, Aceh Timur, juga menyebut tidak mengenal tradisi berlemang di daerahnya menjelang bulan Ramadhan.

Budaya lemang di Barsela

Kamis pagi, 7 Maret 2024, saya berbincang dengan Tgk Safaini MA mengenai budaya toet leumang menyambut puasa  di Aceh Selatan. Tgk Safaini berasal dari Bukit Gadeng, Kota Bahagia (dulu Bakongan), Aceh Selatan.
Saya bertemu dengannya di salah satu warung kopi Keude Tungkop, Aceh Besar.

Menurutnya, Bakongan, Aceh Selatan, boleh dikatakan sebagai “benteng terkuat” dalam melestarikan budaya toet leumang itu.

Persiapan toet leumang mak meugang sudah mulai dipersiapkan sekitar enam bulan sebelum hari “H”.
Kemudian saya menelepon Dra Mardiati T. Djafar yang berasal dari Gampong Guhang, Kecamatan Blangpidie, Aceh Barat Daya (Abdya). Ternyata di sanalah “sarang lemang” yang paling besar di Aceh.

Tempo dulu sampai tahun 1980-an, hampir setiap rumah tangga memasak lemang untuk hari mak meugang. Persiapan untuk membuat “kenduri lemang” sudah dilakukan lebih sebulan sebelum hari “H”.

Para lelaki  Blangpidie beramai-ramai geuek u gle (naik ke gunung) mencari kayu bakar untuk memasak lemang. Bahan penghidup bara api itu boleh jadi kayu-kayu kering yang besar-besar maupun 'uram trieng' (pangkal bambu kering).

Setelah terkumpul, kayu pemanggang lemang itu dibawa turun gunung secara bertahap sedikit demi sedikit. Ketika sudah mendekati rumah, barulah semua anggota keluarga ikut mengangkutnya dan disimpan di dekat rumah.

Pada saat memasak lemang, terlihatlah  riang gembira masyarakat Blangpidie, terutama pada wajah anak-anak. Reuoh-reuah, capek lelah, peluh membasahi seluruh tubuh, semuanya sirna diempaskan oleh kegembiraan yang menyejukkan hati.

Menurut Dra Mardiati yang merupakan istri Drs Mohd Kalam MAg almarhum (sahabat saya dalam menulis  buku berhuruf ganda: Arab Jawi dan huruf Latin), tradisi roet leumang menjelang puasa masih tetap lestari di Blangpidie, walaupun dalam skala yang sudah mengerucut. Kalau dulu, hampir semua rumah tangga memasak lemang, sekarang masih tetap ada rumah-rumah yang melaksanakannya.

“Kini, posisi lemang sudah tergantikan oleh ketupat,” kata Bunda Mardiati saat mengakhiri “ngobrol budaya” lewat telepon dengan saya. Guru Nur Habibi SPd menjelaskan pula soal tradisi berlemang di Kabupaten Nagan Raya.

Dulu, katanya, budaya toet leumang amat merakyat di Nagan Raya. Nyaris setiap rumah tangga melaksanakannya. Segala persiapan memang sudah disediakan beberapa bulan sebelumnya, terutama terkait persiapan kayu bakar.

Ibu Nur Habibi yang bertugas di MTSN 3  Meulaboh, Aceh Barat, juga mendedah tradisi unik hari meugang di  tempat kelahirannya, Ulee Jalan, ibu kota Kecamatan Beutong, Nagan Raya.

Di sana, katanya, hampir setiap rumah tangga mengadakan kenduri pada hari meugang.  Undangan paling utama adalah Teungku Imum atau Teungku Sagoe alias Teungku Peutua sebutannya di Pidie. Beliau adalah kepala urusan agama di setiap kampung di Aceh.

Hal yang menarik, bagaimana sang tokoh agama  gampong ini sanggup memenuhi semua undangan warga desanya yang dihadiri sambung-menyambung. Apakah perut beliau mampu menampung semua santapan mak meugang itu?

Ketika saya berobat patah di Rumoh Teungoh, Gampong Ujong Blang, kecamatan Beutong, Nagan Raya, tahun 1986, perihal unik ini pernah saya tanyakan kepada dua orang teungku sagoe di sana. Kedua beliau sama jawabannya. Para Teungku Imum memiliki “ilmu khusus” untuk mengatasi persoalan rezeki mendadak  yang tak boleh ditolak itu.

Menurut Bu Guru Nur Habibi, walaupun tidak sesemarak tempo dulu, tradisi toet leumang dan “hidangan serempak”  itu masih berlangsung sampai sekarang di Nagan Raya.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved