Jurnalisme Warga
Memperingati Hari Damai Aceh dengan Momen Fundamental di Bawah Kubah Islamic Centre
Aroma karpet yang baru dibersihkan bercampur dengan wewangian raudhah nabawi, menambah ketenangan suasana
Oleh: Muhammad Zulfadhli Alfasiy M.Pd, Praktisi Pendidikan
PAGI itu, udara Lhokseumawe terasa sejuk. Di ufuk timur, mentari muncul perlahan, sinarnya jendela bangunan megah Masjid Agung Islamic Centre yang berdiri anggun di tengah kota. Dari kejauhan, untaian selawat merdu menyambut jama’ah berpadu dengan langkah-langkah kaki yang mulai memenuhi halaman.
Di bawah kemegahan kubahnya, saya berada diantara sebuah momen yang menggetarkan hati. Tepat pukul sembilan pagi, menjejakkan kaki di lantai shalat utama. Aroma karpet yang baru dibersihkan bercampur dengan wewangian raudhah nabawi, menambah ketenangan suasana. Pandangan saya menyingkap ruang terbuka, ribuan pelajar dari SMA sederajat se-Kota Lhokseumawe duduk rapi, berseragam lengkap, membentuk saf sholat. Tanpa kegaduhan, hanya bisik ringan di antara mereka, seakan memahami bahwa hari itu adalah hari yang berbeda.
Peringatan Hari Damai Aceh kala itu diperingati dengan cara yang sederhana namun sarat makna: zikir bersama. Tidak ada panggung megah atau lampu gemerlap, hanya gema lantunan doa di bawah kubah besar Islamic Centre. Remaja Masjid menjadi penggerak acara ini, menghadirkan sosok ulama yang dihormati di Aceh, Abi Jamaluddin sp. Cibrek, memimpin zikir. Suara beliau yang khas, tegas namun penuh kelembutan menjadi pengantar bagi setiap hati yang hadir untuk membuka pintu rasa syukur atas nikmat perdamaian yang kini kita rasakan. Penuh sigap dan siap, rentetan acara yang disuguhkan sedari penyambutan dikelola secara terstruktur.
Acara dimulai dengan tilawah Al-Qur’an. Suara qari muda mengalun jernih, memantul dinding megah masjid. Lalu, sambutan singkat mengingatkan kami semua bahwa perdamaian adalah nikmat yang harus dijaga, bukan hanya dikenang. Zikirpun dimulai, suasana pun berubah. Getaran suaranya terasa meresap, membuat setiap orang ingin menunduk khusyuk.
Saya duduk di antara mereka, menyaksikan bagaimana zikir yang dilantunkan bersama-sama mampu meresap hingga ke sumsum kesadaran. Dalam segmen kontemplasi, suara zikir yang bergema dari pengeras suara memecah keheningan. Tidak sedikit di antara jamaah muda yang menundukkan kepala sambil menyeka air mata. Sebuah pemandangan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Mereka bukan sekadar hadir, tetapi larut dalam rasa syukur, seakan setiap lafaz yang terucap adalah doa agar sejarah kelam tidak lagi berulang.
Sebagai seseorang yang pernah menjadi bagian dari sejarah kebangkitan Remaja Masjid Islamic Centre Lhokseumawe selama sepuluh tahun, momen ini mengembalikan banyak kenangan. Saya mengingat masa-masa saat kegiatan remaja masjid dibangun, dari diskusi sederhana di serambi hingga menyelenggarakan acara besar yang melibatkan ribuan orang. Kini, meski saya memilih hijrah meninggalkan hiruk pikuk kota, hati saya tetap terikat pada masjid ini.
Islamic Centre bukan sekadar bangunan megah yang menjadi ikon kota. Ia adalah rumah spiritual bagi warga Lhokseumawe. Setiap tiang dan lantainya menyimpan cerita perjuangan, setiap gema azannya menjadi penanda waktu yang mengikat batin umat. Maka, sudah seharusnya seluruh warga kota menjaganya dengan ketulusan. Menjaga bukan berarti sekadar hadir saat shalat berjamaah, melainkan juga memastikan fasilitasnya memadai, kebersihannya terjaga, dan program-programnya terus hidup. Jangan sampai kita mencemari kehormatan masjid ini dengan keluhan tentang kekurangan sarana tanpa diiringi langkah nyata untuk memperbaikinya.
Peringatan Hari Damai Aceh memang bisa dilaksanakan dengan berbagai cara. Terkadang, acaranya diwarnai dengan pelepasan balon ke udara, atau sosialisasi sejarah damai yang mengulas perjalanan panjang perundingan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia, namun esensi yang tak pernah hilang adalah zikir bersama. Inilah yang menjadi jiwa dari perayaan tersebut. Zikir adalah simpul yang mengikat makna untuk mengajak semua hati kembali kepada Rabb, Sang Pemilik perdamaian sejati. Tidak peduli seberapa meriah perayaan di luar sana, zikir bersama di bawah kubah Islamic Centre memiliki getar yang berbeda: sederhana namun menyentuh, khidmat namun penuh kekuatan.
Di mata saya, para siswa yang hadir hari itu adalah generasi penerus yang memikul dua amanah besar: menjaga ilmu dan menjaga damai. Mereka belajar di sekolah untuk mengasah kecerdasan, tetapi di momen seperti ini, mereka belajar untuk mengasah nurani. Perang telah merenggut masa kecil sebagian generasi Aceh terdahulu; perdamaian memberi ruang bagi generasi sekarang untuk tumbuh tanpa dentuman senjata. Maka, setiap tetes air mata yang jatuh saat zikir bukanlah kelemahan, melainkan bukti bahwa hati mereka masih peka terhadap nikmat besar ini.
Damai adalah anugerah yang memerlukan penjagaan terus-menerus. Ia bukan hadiah sekali jadi, melainkan proses yang harus dihidupi dalam sikap sehari-hari. damai harus dipelihara dalam setiap interaksi, dalam setiap keputusan yang kita buat sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Saat acara hampir usai, saya melihat satu pemandangan yang menenangkan hati: para siswa berdiri dalam barisan rapi, saling menyalami, sebagian bahkan memeluk guru pendamping mereka. Tidak ada teriakan, tidak ada wajah lelah yang terpaksa, yang ada hanyalah tatapan teduh dan senyum ringan. Ini bukan sekadar acara formal sekolah; ini adalah ruang pembelajaran kehidupan yang nyata.
Bagi saya pribadi, kembali ke Islamic Centre dalam momen yang berbeda adalah pengingat bahwa hijrah bukan berarti memutus ikatan. Meski beraktivitas di luar kota, masjid ini tetap menjadi bagian dari identitas saya. Ia telah membentuk cara saya melihat dunia, mengajarkan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari ruang kecil yang diisi dengan niat tulus.
Saya berharap, siapapun yang pernah atau sedang menjadi bagian dari Islamic Centre, baik pengurus, jamaah, maupun simpatisan, akan terus menjaga marwahnya. Jangan biarkan ia hanya menjadi simbol tanpa ruh. Jadikan ia pusat peradaban kecil yang memberi cahaya, bukan hanya pada warga Lhokseumawe, tetapi juga pada dunia. Dan kepada generasi muda yang kemarin duduk bersaf-saf di lantai masjid, saya berpesan: perdamaian yang kita nikmati hari ini adalah hasil dari perjalanan panjang dan penuh pengorbanan. Hormatilah ia dengan menjaga ucapan, tindakan, dan hati. Jika suatu saat kalian memimpin, pastikan keputusan yang diambil adalah keputusan yang merawat damai, bukan yang mengoyaknya.
Di akhir tulisan ini, izinkan saya menegaskan kembali: perdamaian Aceh adalah amanah dari Allah yang telah diikrarkan di bumi ini melalui perjanjian bersejarah antara GAM dan RI. Setiap warga, tanpa terkecuali, memiliki peran dalam menjaganya. Sebagaimana kita merawat masjid dengan sapu dan pel, mari kita rawat perdamaian dengan doa dan amal. Jangan biarkan hiruk pikuk politik atau perbedaan pendapat meretakkan harmoni yang telah dibangun dengan air mata dan darah.
Islamic Centre Lhokseumawe akan selalu menjadi saksi bahwa damai itu indah, dan zikir adalah nadinya. Selama gema zikir terus bergema dari kubah megah ini, selama itu pula semangat menjaga perdamaian akan tetap hidup di hati kita. Mari bersama memastikan, warisan ini tidak berhenti di sini, ia harus mengalir terus dan selamanya.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.