Barcode BBM
BPH Migas Enggan Cabut Barcode, Aceh akan Kaji Prinsip Akuntabilitas-Transparansi BBM Subsidi
“Tidak boleh semua ini diselesaikan hanya oleh selembar surat Kepala BPH Migas saja, kita ingin mengetahui pola, sistem serta mekanisme distribusi...
Penulis: Rianza Alfandi | Editor: Eddy Fitriadi
Laporan Rianza Alfandi | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) akan mengkaji makna akuntabilitas dan transparansi yang dimaksud Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Erika Retnowati, dalam surat penolakan permintaan penghapusan barcode pengisian BBM di Aceh.
Mualem melalui Juri Bicaranya, Teuku Kamaruzzaman alias Ampon Man mangaku cukup menghargai semua pendapat yang berpedoman pada aspek akuntabilitas dan transparansi. Akan tetapi untuk Aceh keadilan dari mekanisme dan sistem (barcode) yang dibuat menjadi penting untuk diketahui lebih dalam.
“Tidak boleh semua ini diselesaikan hanya oleh selembar surat Kepala BPH Migas saja, kita ingin mengetahui pola, sistem serta mekanisme distribusi dari minyak yang dikuasai negara,” kata Ampon Man, Minggu (2/3/2025).
Menurut Ampon Man, biaya subsidi dan kompensasi BBM yang berasal dari APBN diperoleh dari pajak rakyat dan juga ekploitasi sumber daya alam yang sebahagiannya di dapatkan negara dari rakyat dan SDA Aceh.
“Karenanya kami ingin mendapatkan data dan penjelasan lebih mendalam soal pola distribusi, kompensasi dan jumlah minyak subsidi yang diberikan ke masing-masing daerah dengan komposisinya,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menilai surat Kepala BPH Migas soal penolakan penghapusan barcode BBM di Aceh sama sekali tidak menyebutkan dasar pemikiran, jangka waktu, serta kompensasi dari penetapan sebuah daerah percontohan, seperti dialami oleh Aceh saat ini yang merasa diperlakukan berbeda dengan daerah lainnya.
Kemudian, surat tersebut juga tidak terdapat penjelasan perbandingan antar wilayah terutama untuk konsumen keuntungan dan kerugiannya dari pemberlakuan barcode, kecuali keuntungan buat produsen soal subsidi.
Padahal, kata Ampon Man, konsumen minyak di Aceh juga berhak mendapatkan perlindungan sesuai UU Nomor 8 tahun 1999, yang menyebutkan bahwa perlindungan dan hak konsumen bukan hanya soal keamanan, kenyamanan dan keselamatan, tetapi juga tentang Informasi yang jelas, benar dan jujur terhadap kondisi suatu produk.
“Apalagi minyak adalah produk yang dikuasai Negara. Untuk itu kami mungkin akan membentuk tim khusus untuk memeriksa dan meneliti ini lebih detail, tentu akan bekerjasama dengan kelembagaan pemerintah/negara yang tersedia lainnya untuk memperoleh transparansi dan akuntabilitas serta keadilan buat masyarakat Aceh,” pungkasnya.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.