Opini
Keharusan Revisi Qanun Baitul Mal, Realita dan Fakta
Dalam rangka penyusunan draft perubahan ketiga atas Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Baitul Mal, menyangkut revisi ketiga Qanun Aceh ini. Yang bi
Oleh: Marzuki Ahmad SHI MH*)
MENUNAIKAN zakat merupakan kewajiban yang diperintahkan Allah Swt sebagaimana firman-Nya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103). Zakat di Indonesia diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2011 menggantikan UU Nomor 38 Tahun 1999 yang sudah tidak relevan sesuai perkembangan dan dinamika masyarakat. Dalam UU tersebut zakat dibagi dalam dua jenis, yaitu Zakat Fitrah dan Zakat Mal. Perkembangan terkait zakat yang dimaksud dapat digunakan sebagai dasar pengurangan pajak, dengan melampirkan bukti pembayaran zakat pada Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan regulasi ini belum tersentuh dalam Qanun Aceh, dan banyak hal yang lain yang harus menjadi titik fokus kita, sehingga kehadiran lembaga Baitul Mal ini betul-betul bisa mensejahterakan masyarakat dan keluarga dari garis kemiskinan.
Hal Urgen dalam revisi regulasi
Dalam rangka penyusunan draft perubahan ketiga atas Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Baitul Mal, menyangkut revisi ketiga Qanun Aceh ini. Yang bicarakan masih menyangkut substansi mana yang harus diubah, poin tentang kewenangan dan hal lain.
Ada beberapa Usulan urgen yang diharapkan bisa masuk dalam draf perubahan terkait kewenangan Badan Baitul Mal, Wakaf, Zakat pengurang Pajak, tata cara pembayaran Pesangon Dewas, Badan dan Tenaga Profesional. Kemudian mengenai kewenangan dan peran 3 organ di Baitul Mal, ini lembaga kekhususan dan keistimewaan Aceh.
Aceh memiliki dua perangkat hukum, UU 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh.
UU tersebut merupakan modal besar bagi Aceh dalam menyusun perangkat hukum kekhususan Aceh wabil khusus Lembaga Badan Baitul Mal.
Di samping memiliki Baitul Mal Aceh juga memiliki lembaga independen dan otonom seperti MAA, MPU, MPD, Lembaga wali nanggroe, dan Mahkamah Syariah. Namun, koordinasi dan konsultasi diantara lembaga tersebut belum terkoordinir dengan baik.
Dalam Raqan Revisi ketiga Qanun Aceh Tentang BM hendaknya dapat dibuat bentuk koordinasi sehingga Badan Baitul Mal di mana di dalamnya terdapat 3 Unsur/organ ini yaitu Dewas, Badan BMK dan Sekretariat bisa melaksanakan tugasnya sesuai kewenangannya. Saat ini kita melihat SOTK Baitul Mal belum sepenuhnya mencerminkan tata kelola yang baik, dimana sekretariat yang notabane ASN seolah sijuek Su’um bila diperintah oleh Badan/ Komisioner. Belum lagi terkait pengelolaan dana rutin APBK oleh sekretariat yang sangat tertutup, dan Badan/ Komisioner tidak dilibatkan baik dalam perencanaan apalagi dalam pelaksanaan, sedangkan dana ZIS yang seharusnya dikelola dengan mengedepankan tata kelola syariat oleh Badan/Amil juga disabotase oleh Sekretariat, ini malapetaka akhirat bagi ASN, siapa pun itu.
Prinsip dan Payung Hukum Pengelolaan ZIS
Kita bisa melihat kilas sejarah awal-awal terbentuknya Lembaga Amil ini, dimana Pengaturan zakat oleh pemerintah tidak terlepas dari pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, di mana satu peran pemerintah pusat adalah terkait agama.
Oleh sebab itu negara mengakomodir kewenangan tersebut dengan membentuk Baznas yang merupakan lembaga pemerintah nonstruktural di bawah kementerian. UU Zakat mendefinisikan pengelolaan zakat sebagai kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
Lembaga yang ditunjuk sebagai pengelola zakat juga terbatas dan terkesan sulit berkembang dengan banyaknya aturan yang mengikat. Kedua lembaga Baznas yang dimiliki pemerintah dan LAZ yang dimiliki swasta namun dengan pengawasan pemerintah menjadikan pengelolaan zakat ibarat pengelolaan birokrasi.
Kejelasan Pengelolaan lembaga zakat di Baitul Mal yang akuntabel merupakan kewajiban bagi organ pengelola. Jika tidak akuntabel, maka lembaga zakat rentan terhadap penyimpangan praktik korupsi, terlebih lagi korupsi dana zakat melanggar dua hukum; hukum yang dibentuk negara dan hukum yang dibentuk Allah Swt. Karena pengelolaan zakat yang sudah terlembaga, tentunya prinsip good government governance (tata kelola pemerintahan yang baik) harus dilaksanakan atau diimplementasikan.
Implementasi good government governance ini meliputi empat prinsip penting, yaitu; keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Keempat prinsip ini merupakan prinsip yang harus dilaksanakan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Meminjam prinsip tersebut, ada baiknya pengelolaan zakat juga menerapkan prinsip-prinsip ini agar pengelolaan zakat memenuhi standar, baik standar hukum maupun standar dalam operasionalnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.