Berita Banda Aceh

Meugang Idulfitri Tanggal 29-30 Maret, Prediksi Sapi dan Kerbau yang Dipotong Se-Aceh 25.825 Ekor

Dengan demikian,'uroe makmeugang' (hari meugang) di Aceh berlangsung pada tanggal 29 dan 30 Maret 2025. 

Penulis: Yarmen Dinamika | Editor: Amirullah
Istimewa
KADIS PETERNAKAN - Kepala Dinas Peternakan Aceh, Zalsufran ST, MSi. 

Laporan Yarmen Dinamika l Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM  -  Lebaran sebentar lagi. Menjelang Lebaran Idulfitri 1446 Hijriah, masyarakat Aceh biasanya melaksanakan tradisi 'meugang' minimal dua hari sebelum 1 Syawal yang diperkirakan bertepatan dengan tanggal 31 Maret 2025.

Dengan demikian,'uroe makmeugang' (hari meugang) di Aceh berlangsung pada tanggal 29 dan 30 Maret 2025. 

Kepala Dinas Peternakan (Disnak) Aceh,  Zalsufran ST DEA pun membenarkan bahwa hari 'meugang' Idulfitri di Aceh kali ini jatuh pada tanggal 29-30 Maret.  Atau dua dan satu hari menjelang Idulfitri 1446 Hijriah.

Meugang sendiri adalah tradisi yang sudah berlangsung berabad-abad di Aceh.

Tradisi ini ditandai dengan prosesi penyembelihan hewan ternak, terutama sapi atau kerbau, dalam partai besar.

Pada hari 'meugang' biasanya semua keluarga di Aceh  memasak daging dalam porsi besar untuk dinikmati bersama keluarga, tak peduli kaya ataupun miskin

Karena tradisi 'meugang' ini dirayakan di seluruh Aceh, maka dinas-dinas peternakan di seluruh Aceh sudah mendapat laporan dari peternak atau pedagang daging tentang berapa banyak ternak yang akan mereka sembelih dalam rangka 'meugang' Idulfitri

Data itulah yang kemudian diakumulasi oleh Disnak Aceh sehingga seminggu menjelang 'uroe meugang' sudah didapat gambaran berapa jumlah ternak yang akan disembelih. 

"Angka prediksi kita pada meugang kali ini adalah 25.825 ekor ternak yang akan dipotong. Terdiri atas 18.149 ekor sapi, 7.676 ekor kerbau," kata Zalsufran menjawab Serambinews.com di Bandara Aceh, Sabtu (22/3/2025) pagi.

Baca juga: Bagaimana Hukum Menunaikan Zakat Fitrah Bagi Orang yang Tidak Mampu?ini Penjelasan Menurut 4 Mazhab

Angka ini, menurut Zalsufran, berkurang sekitar 10 persen dari tahun lalu.

Perbandingannya dengan tahun lalu adalah sapi yang dipotong 20.202 ekor, kerbau 8.527ekor.

Faktor lemahnya daya beli masyarakat tahun ini sebagai dampak efisiensi anggaran pemerintah di berbagai aspek ikut memengaruhi keadaan.

Jumlah tersebut pun juga jauh berkurang jika dibandingkan dengan jumlah sapi dan kerbau yang disembelih di seluruh Aceh pada 'meugang' Ramadhan pada 27-28 Februari lalu, yang jumlahnya mencapai  33.992 ekor.  Terdiri atas 22.387 sapi dan 11.605 ekor kerbau. 

Hal itu terjadi karena durasi waktu 'meugang' puasa lebih panjang dibandingkan 'meugang' Idulfitri. Lebih dari tiga hari, sehingga tersedia waktu lebih leluasa bagi pedagang untuk menjual daging ternak. Dengan demikian, jumlah ternak yang disembelih pun bisa lebih banyak.

Sebetulnya, lanjut Zalsufran, selain sapi dan kerbau, sebagian masyarakat Aceh ada juga yang menyembelih kambing atau domba, bahkan ayam, saat 'meugang'. 

Tahun ini, kata Zalsufran, jika ditotal seluruh jumlah ternak yang akan disembelih pada 'meugang' Idulfitri mencapai 1.788.606 ekor.  Terdiri atas 18.149 ekor sapi, 7.676 ekor kerbau, 18.635 kambing/domba, dan 1.774.246 ayam. Namun, dalam tradisi 'meugang', daging yang paling digandrungi pembeli di Aceh adalah sapi, kemudian kerbau, menyusul kambing dan ayam.

Baca juga: Pemkab Aceh Timur Siapkan Rp43 Miliar untuk THR ASN dan DPRK

Utamakan potong di RPH

Zalsufran kembali mengingatkan bahwa hewan ternak, terutama sapi dan kerbau, haruslah disembelih di rumah potong hewan (RPH) untuk memastikan aspek kesehatan dan syariatnya. Sebab, semua ternak yang akan disembelih di RPH pastilah diperiksa kesehatannya guna mencegah zoonosis (penyakit hewan yang menular ke manusia) dan disembelih oleh tukang jagal profesional yang bersertifikat dari Majelis Permusyawaran Ulama (MPU)  Aceh dan Disnak.

Namun, jika di kabupaten/kota tertentu belum punya RPH, maka potonglah ternak di tempat yang telah ditentukan oleh pemerintah setempat,  sehingga kesehatannya tetap telah diperiksa oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk oleh disnak setempat.

"Pokoknya, kita tetap ingin memastikan bahwa setiap ternak yang disembelih pada saat meugang nanti adalah ternak yang sehat dan penyembelihannya memenuhi syarat syar'i," demikian Zalsufran. 

Ihwal tradisi meugang

Sementara itu, peneliti tradisi meugang di Aceh, Chairul Bariah SE, SH, MM dari Bireuen mengatakan, di wilayah Bireuen, khususnya di tempat kelahirannya,  Matangglumpang Dua, hari meugang biasanya dilaksankan dua hari, yakni meugang kecil dan meugang besar.  Orang Aceh menyebutnya 'meugang chet' dan 'meugang rayeuk'. 

Menurut sejarahnya, lanjut Chairul Bariah, dari beberapa sumber referensi yang ia telaah, tradisi meugang ini awalnya lahir bersamaan dengan masuknya penyebaran agama Islam di Aceh, sekitar abad ke-14.

Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah kepemimpinan  Sultan Iskandar Muda  (1607-1636), meugang ini dilaksankan sebagai wujud rasa syukur atas datangnya bulan Ramadhan, dengan membagi-bagikan daging kepada rakyat. 

Tradisi ini ternyata berlanjut sampai masuknya Belanda, kemudian Jepang, ke Aceh, hingga berlanjut sampai saat ini.
 
"Satu hal yang membuat setiap orang Aceh merindukan tradisi meugang adalah  kebersamaan dan silaturrahmi dengan keluarga, kerabat, dan fakir miskin, anak yatim tanpa batas pangkat golongan dan ras," kata Chairul yang juga Wakil Rektor II Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) Bireuen ini.

Ia tambahkan bahwa sudah menjadi tradisi pula bagi menantu laki-laki punya kewajiban yang tidak tertulis, yakni harus membelikan daging semampunya untuk mertua. Jika tidak, akan merasa malu dan seakan ada yang janggal.

"Apalagi bagi pengantin baru, biasanya harus membawa daging minimal 3 kg untuk mertua, walaupun tidak ada ketentuan, tetapi hal ini sudah menjadi tradisi yang dijalani oleh seorang pengantin pria di Aceh," kata Chairul. 

Menurut Chairul,  walaupun saat 'meugang' harga daging mahal, mencapai Rp160.000 sampai Rp190.000 per kilogram, bagi orang Aceh itu hal yang biasa karena dalam setahun hanya terjadi tiga kali lonjakan harga tersebut, yakni saat 'meugang' puasa, 'meugang' hari raya Idulftri, dan saat 'meugang' Iduladha.

"Mau tak mau daging harus dibeli karena sudah menjadi tradisi baik pada saat meugang menyambut Ramadhan atau nantinya saat menyambut Idulfitri dan Iduladha. Bagi yang tidak ada uang biasanya daging dibayar kemudian setelah ada uang. Ada juga yang bersedekah uang atau daging meugang untuk fakir miskin," demikian Chairul Bariah. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved