Jurnalisme Warga
Sisi yang Kerap Terlupakan dalam Menjaga Kesucian Ramadhan
Ada sisi yang luput dari perhatian kita. Sepele sih, tapi justru menjadi sangat krusial. Persoalan yang sering terabaikan tersebut adalah sampah.
DEWI SOFIANA, S.P., guru, berdomisli di Bireuen, melaporkan dari Bireuen
Tak terasa kita sudah berada dalam tahapan terakhir bulan Ramadhan. Kita masih diberi kesempatan untuk dapat bertemu kembali dengan bulan penuh keagungan ini. Sementara hamba lainnya telah lebih dahulu dijemput sebelum bulan suci ini tiba. Bulan penuh berkah dan ampunan yang senantiasa menghadirkan kerinduan pada diri setiap muslim untuk dapat kembali bertemu dengannya.
Istimewanya bulan Ramadhan, terdapat kewajiban untuk menunaikan rukun Islam yang ke tiga, yaitu puasa. Puasa merupakan ibadah kepada Allah Swt dalam bentuk menahan diri dari makan dan minum mulai dari terbit fajar hingga matahari terbenami. Tak terbatas pada itu saja, dalam ibadah puasa juga diwajibkan untuk menghindari perbuatan buruk dan hal-hal yang dapat membatalkan puasa.
Puasa mengandung makna dan hikmah yang sungguh besar. Ibadah ini memiliki nilai amalan yang sangat spesial. Orang yang berpuasa akan mendapat ganjaran pahala yang besar. Selain mendapat raihan pahala yang tinggi, ibadah puasa juga dapat menjadi ajang menguji kesabaran seorang muslim. Ibadah ini pun ampuh sebagai terapi kesehatan jiwa dan raga serta memupuk nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Ramadhan dipandang mampu merekatkan keakraban dan ukhuwah persaudaraan sesama muslim.
Kesucian dan keagungan bulan Ramadhan bukan hal asing lagi bagi orang Islam. Sejak dini kita telah dibekali ilmu dan aneka kajian tentang keutamaan bulan Ramadhan. Pada bulan ini Allah menjanjikan ganjaran pahala berlipat-lipat bagi yang berbuat kebaikan, demikian pula sebaliknya. Umat muslim senatiasa akan menjaga diri dari perbuatan yang dilarang Allah karena takut akan ganjaran dosa. Sebagai gantinya, setiap muslim akan berlomba-lomba berbuat ibadah dan amal kebaikan demi meraup pahala berlimpah.
Dengan berbagai keistimewaan yang dimiliki, bulan Ramadhan menjelma menjadi bulan agung nan penuh berkah. Namun sayangnya, momen penuh keberkahan ini menyisakan masalah lain yang menodai kesucian bulan Ramadhan itu sendiri.
Ada sisi yang luput dari perhatian kita. Sepele sih, tapi justru menjadi sangat krusial. Persoalan yang sering terabaikan tersebut adalah sampah. Sampah?Ya, benar. Ini adalah tentang sampah. Ironis memang, di satu sisi Ramadhan adalah bulan yang suci, tetapi di sisi lain Ramadhan merupakan bulan yang penuh sampah. Selama bulan puasa umumnya menghasilkan sampah melebihi hari biasa. Produksi sampah pada bulan ini meningkat tajam akibat terjadinya peningkatan konsumsi kaum muslim yang menjalankan ibadah puasa.
Perubahan pola konsumsi tersebut berdampak bagi peningkatan volume sampah. Fenomena ini sebenarnya tidak akan menimbulkan masalah jika kita sudah memiliki budaya yang cukup baik dalam menjaga kebersihan.
Setiap muslim yang menjalankan ibadah puasa, akan berpotensi sebagai penghasil sampah. Sebagian besar sampah tersebut dihasilkan dari kegiatan yang berhubungan dengan bukaan puasa dan sisa takjil.
Peningkatan konsumsi umat muslim dalam bulan Ramadhan, disambut baik oleh penyedia kebutuhan. Hukum ekonomi pun timbul di sini. Tak heran jika kemudian banyak bermunculan “pasar kaget” atau lapak pedagang musiman. Para pedagang hadir dengan menjual aneka kebutuhan untuk berbuka puasa. Mereka berlomba menawarkan berbagai jenis takjil khas Ramadhan dan aneka penganan lainnya. Salah satu yang jadi buruan warga untuk menu berbuka adalah kelapa muda dan tebu. Selama bulan Ramadhan terlihat banyak penjual kelapa muda dan air tebu menawarkan dagangannya.
Sayangnya, kondisi ini menyisakan persoalan lain yang mengganggu. Ternyata ibadah puasa yang dilakukan sebagai bentuk ketaatan atas perintah Allah, tidak sepenuhnya dibarengi oleh kepatuhan dalam menjaga kesucian Ramadhan dari sampah yang dihasilkan. Bagai tanpa beban, sampah-sampah tersebut dicampakkan begitu saja atau dibuang bukan pada tempatnya. Pemandangan lingkungan yang dikotori sampah seakan telah menjadi hal biasa oleh sebagian kita. Padahal, jika dicermati lebih jauh, keberadaan sampah tersebut sudah sangat menggangu kebersihan dan keindahan lingkungan. Di mana-mana, dengan mudah ditemukan tumpukan sampah. Tanpa risih, kita seolah nyaman saja hidup berdampingan dengan sampah.
Pemandangan lingkungan yang dipenuhi sampah ibarat cermin diri kita. Betapa kesadaran tentang hidup bersih masih jauh dari harapan. Terlebih sebagai muslim yang notabene wajib mengedepankan kebersihan dan kesucian dalam kehidupan sehari-hari. Sudah semestinya, keseharian ataupun kegiatan seorang muslim, dilakukan dengan tidak mengenyampingkan nilai-nilai dalam menjaga kebersihan lingkungan. Bijak dalam mengelola sampah yang dihasilkan merupakan salah satu bentuk sikap yang harus dimiliki, agar tercipta lingkungan bersih dan nyaman.
Nyatanya, di sekitar kita masih banyak saja orang-orang yang tak bertanggung jawab dalam mengurusi sampah. Sebagai contoh, lihat saja pedagang air kelapa muda yang membuang batok kelapanya menumpuk sembarangan. Manakala Ramadhan usai, tak jarang muncullah penampakan sampah batok kelapa muda yang menggunung di pinggiran jalan atau lokasi lain yang “dianggap aman” oleh pembuangnya, tapi sangat merusak aspek estetika dan kelestariam lingkungan.
Pemandangan tak sedap lain muncul juga dari penjual air tebu yang membiarkan begitu saja ampas tebunya tanpa terurus. Air tebu adalah salah satu minuman yang sangat digemari untuk berbuka puasa. Rasanya yang manis diyakini cepat memulihkan tenaga setelah seharian berpuasa. Sayangnya, ampas tebu yang dihasilkan kerap mengotori lingkungan sekitar akibat ulah pedagang yang tak bertanggung jawab.
Pada bulan Ramadhan biasanya juga banyak muncul penjual buah musiman. Di antara mereka ada yang meninggalkan begitu saja buah- buah busuk yang tak laku terjual. Limbah jenis pangan yang tak tertangani dengan baik akan menimbulkan aroma busuk, selain mengotori lingkungan. Hal ini akan sangat menggangu, apalagi jika aroma tidak sedap tersebut sampai menganggu kelancaran ibadah di bulan puasa.
Sikap yang tidak bertanggung jawab dari pedagang yang dicontohkan di atas sebenarnya adalah cerminan diri kita. Mereka adalah kita. Bukan saja dari pihak pedagangnya, sebagai konsumen pun kita turut andil sebagai penyumbang sampah bagi lingkungan. Bukan saja pedagang kelapa muda, air tebu dan buah- buahan seperti yang tergambar di atas. Itu hanya secuil contoh. Masih banyak lagi pihak lain yang tak mungkin disebut semuanya dalam reportase ini.
Bu Nur, Sosok Guru Panutan SMAN 1 Baitussalam yang Purna Tugas Setelah 36 tahun Mengabdi |
![]() |
---|
Melirik Potensi Ekowisata di Samar Kilang |
![]() |
---|
Membangun Potensi Lokal: Menulis dari Gampong untuk Dunia |
![]() |
---|
Mengatasi Luka Pengasuhan: Menemukan Kesembuhan Melalui Kekuatan Pemaafan |
![]() |
---|
Jejak Leluhur Dalam DNA: Sebait Puisi Genetik dari Masa Silam |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.