Breaking News

KUPI BEUNGOH

Membaca Kearifan Tambang dalam Hadih Maja dan Syair Langgolek

Tambang mungkin mempercepat pembangunan, tetapi juga mempercepat kerusakan jika tidak dikendalikan dengan hati dan nurani.

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/HO
ROZAL NAWAFIL, Alumni IPDN, Mahasiswa Pascasarjana UISU, dan Analis Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah pada Sekretariat Daerah Kabupaten Aceh Barat Daya, tinggal di Blangpidie, Aceh Barat Daya. 

Oleh: Rozal Nawafil*)

Di tengah diskursus mengenai tambang dan izin eksplorasi di berbagai daerah Aceh, pesan indatu dalam Hadih Maja ini terasa sangat relevan.

Petuah lama itu berbunyi, “Kaya meuïh hana meusampé, kaya padé raeusampurna”. Artinya, “Kaya emas belum sempurna, kaya padi baru sempurna.”

Petuah yang direkam dalam catatan kolonial De Rijkdom van Atjeh (1923) ini menggambarkan orientasi nilai masyarakat Aceh terhadap keseimbangan antara kemewahan dan keberlanjutan hidup. 

Secara antropologis, Hadih Maja ini berfungsi sebagai transmisi nilai ekologis dan perangkat moral dalam masyarakat Aceh

Padi (padé) melambangkan kehidupan yang berulang, dapat ditanam kembali, dan memberi makan banyak orang. 

Sedangkan emas (meuïh) bersifat terbatas, sekali digali akan habis. 

Falsafah “kaya padé raeusampoerna” menegaskan bahwa kekayaan sejati adalah yang berkelanjutan, yang menumbuhkan kehidupan baru.

Para indatu Aceh sudah menolak paradigma materialistik jauh sebelum istilah “pembangunan berkelanjutan” dikenal. 

Dalam pandangan mereka, kekayaan bukan sekadar kepemilikan, tetapi kesinambungan hidup dan kesejahteraan bersama.

Baca juga: Mualem Ultimatum Tambang Ilegal, Minta Tarik Semua Alat Berat dalam Hutan dalam 2 Minggu

Sejarah mencatat, sejak abad ke-17 Kesultanan Aceh hidup dari hasil bumi seperti padi, lada, dan hasil hutan, bukan dari eksploitasi mineral. 

Namun pada masa kolonial, arah itu berubah. Pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan model ekonomi ekstraktif dengan membuka perkebunan dan tambang (Schrieke, 1955). 

Dalam konteks itu, Hadih Maja dapat dibaca sebagai kritik kultural terhadap ekonomi kolonial yang menguras alam tanpa menyejahterakan rakyat.

Kini, seabad kemudian, persoalan serupa muncul kembali: pertentangan antara kepentingan tambang dan kelestarian lahan pertanian. 

Tambang sering disebut jalan menuju kemakmuran, padahal pengalaman banyak daerah menunjukkan sebaliknya. Setelah emas habis, yang tersisa hanyalah lubang dan debu.

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved