Kata Ahli Ekonomi Soal Sikap Indonesia Terhadap Keluhan Qris dan GPN Oleh AS: Harusnya Biarkan Saja
Menurut Direktur Center of Economyic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, kekhawatiran AS terkait penggunaan QRIS dan GPN ini ada kaitannya den
Penulis: Yeni Hardika | Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM - Penggunaan sistem pembayaran domestik Indonesia belakangan ini mendapat sorotan oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS).
AS melalui United States Trade Represntative (USTR) mengeluhkan terkait penerapan sistem pembayaran Quick Response Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).
Keluhan tersebut disampaikan dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang terbit pada 31 Maret 2025, tepatnya beberapa hari sebelum Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor resiprokal.
Dalam laporan tersebut, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) merinci hambatan perdagangan dari 59 negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia.
AS menyoroti kebijakan QRIS dan GPN yang dinilai dapat menghambat perdagangan digital dan elektronik, serta berpotensi memengaruhi perusahaan-perusahaan AS.
Penggunaan layanan QRIS dan GPN juga menjadi salah satu bahasan dalam negosiasi tarif impor yang ditetapkan oleh Presiden Trump terhadap Indonesia.
Diketahui, Presiden AS tersebut menetapkan tarif impor resiprokal sebesar 32 persen kepada Indonesia.
Penerapan tarif tersebut masih ditunda selama 90 hari d Indonesia diberikan peluang untuk melakukan negosiasi.
Baca juga: Sinyal Damai dari Trump, Tarif China Bisa Turun, Tapi TikTok Masih Terancam!
Pemerintah Indonesia melalui delegasinya pun telah melangsungkan pertemuan bilateral dengan pihak AS sejak 16-23 April 2024.
Dalam negosiasi tersebut, pemerintah RI membawa sejumlah penawaran agar AS mau menurunkan tarif impornya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang turut dalam negosiasi itu mengatakan, sektor keuangan menjadi salah satu topik yang dibahas dalam pertemuan negosiasi dengan AS.
Pihak AS menyampaikan sejumlah masukan terkait sistem pembayaran domestik Indonesia, terutama penggunaan QRIS dan GPN.
Airlangga pun memastikan pemerintah telah berkoordinasi dengan BI dan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait masukan dari pihak AS.
"Kami sudah berkoordinasi dengan OJK dan Bank Indonesia, terutama terkait dengan sistem pembayaran yang menjadi perhatian pihak AS," ujarnya dalam konferensi pers, akhir pekan lalu, dikutip dari Kompas.com, Selasa (22/4/2025).
Baca juga: Trump Ajak China Negosiasi Tarif Dagang usai Patok Tarif Impor 145 Persen, Tiongkok Ogah Berunding
Tanggapan ahli ekonomi
Menurut Direktur Center of Economyic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, kekhawatiran AS terkait penggunaan QRIS dan GPN ini ada kaitannya dengan dominasi Mastercard dan Visa.
Penggunaan dua sistem pembayaran AS di Indonesia tersebut dinilai semakin tergerus dengan kehadiran layanan keuangan domestik Indonesia.
"Masalah persaingan usaha saja. Karena sejak adanya QRIS, Indonesia tidak bergantung lagi dengan sistem pembayaran Visa dan Mastercard," ujar Bhima, Senin (21/4/2025) dikutip dari Kompas.com.
Dengan begitu, Bhima mengatakan bahwa tren bisnis kartu kredit diperkirakan akan semakin turun pada tahun ini.
Sikap Indonesia terhadap keluhan AS
Menurut Bhima, Indonesia sebaiknya membiarkan keluhan tersebut dan tetap memajukan peran QRIS.
"Jadi, sikap Indonesia harusnya membiarkan saja. Terus majukan peran QRIS. Jangan semua poin negosiasi AS ditindaklanjuti," kata dia.
Dia menambahkan bahwa pemerintah perlu melihat kepentingan dalam negeri.
Senada dengan Bhima, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin berpendapat bahwa tidak semua masukan harus diikuti oleh pemerintah Indonesia.
"Namanya saja negosiasi, pasti mereka memulai dengan high call. Terkait QRIS dan GPN, ini national interest dan national security kita. Indonesia wajib keukeuh," terangnya saat dihubungi secara terpisah, Senin (21/4/2025).
Wijayanto menambahkan bahwa sebagai solusi, Indonesia perlu berbicara dengan negara-negara lain untuk mencari alternatif pasar selain AS.
Baca juga: Inilah Daftar Produk yang Dipertaruhkan AS dan China di Tengah Tarif Brutal Trump!
Dia juga mengingatkan mengenai barang selundupan dan barang palsu yang beredar di Mangga Dua.
"Ini perlu direspons secepatnya. Bukan karena AS, tetapi demi menjaga kepentingan produsen lokal kita. Mayoritas barang palsu itu dari luar negeri yang masuk lewat jalur ilegal," kata dia.
Alasan US khawatirkan GPN dan QRIS
Dilansir dari Kompas.com, Minggu (24/4/2025), penggunaan QRIS dan GPN memaksa penggunaan sistem dalam negeri sehingga dapat menciptakan hambatan pasar bagi penyedia jasa pembayaran dan bank asal AS.
Terkait GPN, Bank Indonesia telah mewajibkan semua transaksi debit dan kredit ritel domestik untuk diproses melalui lembaga switching GPN yang berlisensi oleh BI dan berlokasi di Indonesia.
Peraturan mengenai hal ini temuat dalam Peraturan BI Nomor 19/08/2017.
Sementara itu, dalam Peraturan BI Nomor 19/10/PADG/2017, disebutkan bahwa perusahaan asing yang ingin mengelola transaksi pembayaran dalam negeri di Indonesia tidak bisa berdiri sendiri.
Perusahaan tersebut harus membentuk perjanjian kemitraan dengan perusahaan lokal yang berlisensi dari BI untuk memproses transaksi ritel domestik melalui GPN.
Kemudian, terkait QRIS, kekhawatiran AS muncul karena QRIS ditetapkan sebagai standar nasional untuk semua pembayaran yang menggunakan kode QR di Indonesia.
Dalam proses pembentukan penetapan ini disebutkan bahwa pemangku kepentingan asing tidak diajak berdiskusi sehingga dapat memberikan masukan.
Laporan USTR menuliskan, "Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, mencatat kekhawatiran bahwa selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, para pemangku kepentingan internasional tidak diberi tahu tentang sifat perubahan potensial atau diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka tentang sistem tersebut, termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi paling lancar dengan sistem pembayaran yang ada".
Tidak hanya soal QRIS dan GPN, USTR juga menyoroti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 56/03/2016 yang membatasi kepemilikan bank tidak lebih dari 40 persen oleh satu pemegang saham, yang berlaku untuk pemegang saham asing maupun domestik.
Namun, dalam kasus tertentu, OJK dapat memberikan pengecualian terhadap aturan umum ini.
Dalam Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2021, OJK meningkatkan batasan ekuitas asing untuk bank umum menjadi 99 persen dengan penilaian awal dari unit pengawas perbankan di OJK.
Kemudian, AS juga mengkhawatirkan pembatasan kepemilikan asing di perusahaan pelaporan kredit swasta hingga maksimal 49 persen.
Hal ini tertuang dalam Surat Edaran BI Nomor 15/49/DPKL.
Berdasarkan Peraturan BI Nomor 18/40/PBI/2016 tentang operasi pemrosesan transaksi pembayaran, BI membatasi kepemilikan asing di perusahaan pembayaran hingga 20 persen tetapi mengecualikan investasi yang ada yang melebihi batasan ekuitas asing ini.
(Serambinews.com/Yeni Hardika)
BACA BERITA LAINNYA DI SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.