Berita Banda Aceh

Aceh Rugi Rp 372 Miliar/Tahun Gegara Ekspor CPO Lewat Sumut

Jika seluruh CPO diekspor dari pelabuhan Aceh, bea keluar yang kini dinikmati provinsi lain akan berpindah ke Aceh dan nilainya bisa ratusan miliar.

Editor: mufti
SERAMBINEWS.COM/RIANZA ALFANDI
KAKANWIL DJBC – Kepala Kanwil DJBC Aceh, Safuadi, menyatakan Aceh setiap tahunnya rugi Rp372 miliar akibat ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak mentah sawit lewat pelabuhan di Sumatera Utara, Selasa (22/4/2025). 

Jika seluruh CPO diekspor dari pelabuhan Aceh, bea keluar yang kini dinikmati provinsi lain akan berpindah ke Aceh dan nilainya bisa ratusan miliar. Dan akan berdampak pada hitungan Dana Bagi Hasil (DBH) bagi Aceh. Safuadi, Kepala Kanwil DJBC Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Aceh, Safuadi, mengungkapkan bahwa selama ini Aceh setiap tahunnya rugi Rp 372 miliar akibat proses ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak mentah sawit yang dilakukan lewat pelabuhan di Sumatera Utara (Sumut). Menurut Safuadi, berdasarkan data Distanbun Aceh per Oktober 2024, produksi CPO Tanah Rencong telah menembus angka 1 juta ton per tahun. 

Meski komoditas ini menjadi tulang punggung ekspor nonmigas provinsi Aceh, hanya sekitar 70 ribu ton atau tujuh persen yang diekspor melalui pelabuhan lokal seperti Krueng Geukuh di Aceh Utara dan Calang di Aceh Jaya. Sementara sisanya, sekitar 930 ribu ton, masih harus diangkut dengan truk tangki sejauh ratusan kilometer menuju pelabuhan ekspor di Sumatra Utara.

“Jika seluruh CPO diekspor dari pelabuhan Aceh, bea keluar yang kini dinikmati provinsi lain akan berpindah ke Aceh dan nilainya bisa ratusan miliar. Dan akan berdampak pada hitungan Dana Bagi Hasil (DBH) bagi Aceh,” ujar Safuadi, Selasa (22/4/2025).

Safuadi merincikan, kerugian mencapai ratusan miliar tersebut berasal dari biaya logistik berupa ongkos angkut CPO melalui jalur darat ke Sumut yang mencapai Rp 400 ribu per ton. Kemudian kerusakan jalan akibat lalu lintas truk berat yang diperkirakan mencapai lebih dari 26 ribu perjalanan per tahun.

Ia menilai, beban kendaraan dengan muatan tinggi ini memperpendek umur ruas jalan nasional dan mempercepat kebutuhan overlay, yang tentunya membebani APBN dan APBD secara langsung.

“Kondisi ini bukan hanya memperlemah posisi logistik Aceh, tetapi juga menyebabkan kebocoran ekonomi daerah dalam skala besar. Artinya, sekitar Rp 372 miliar per tahun mengalir keluar Aceh hanya untuk biaya logistik,” jelasnya. Tidak hanya itu, kata Safuadi, setiap pengapalan CPO yang dilakukan melalui pelabuhan luar daerah menambah beban biaya sebesar Rp 2,4 miliar per kapal, dengan asumsi satu kapal membawa enam ribu ton CPO.

Selain kerugian ekonomi langsung, Aceh juga kehilangan potensi dana bagi hasil bea keluar yang saat ini dinikmati provinsi lain. Jika pelabuhan ekspor tersedia dan digunakan secara optimal di Aceh, maka dana bagi hasil atas bea keluar tersebut akan menjadi bagian dari penerimaan daerah Aceh. Melihat situasi ini, Safuadi menilai pembangunan pelabuhan ekspor yang representatif menjadi kebutuhan mendesak. 

Kajian Kementerian Keuangan sebagai unit pengelola Creative Financing KPBU bersama Dinas Perhubungan Aceh memperkirakan investasi sekitar Rp 700 miliar dibutuhkan untuk memodernisasi Pelabuhan Krueng Geukuh. Diantaranya pendalaman alur 9 m, loading arm, dan tangki 40.000 m3;. Dengan throughput fee sekitar Rp 55 ribu per ton, skema KPBU untuk pengembangan dermaga akan mampu balik modal dalam 7–8 tahun.

“Manfaat pembangunan pelabuhan ini akan meluas ke berbagai sektor. Pemerintah daerah bisa memperoleh lebih dari Rp 40 miliar per tahun dari retribusi bongkar muat. Di sisi hulu, petani sawit bisa menikmati kenaikan harga tandan buah segar (TBS) sebesar Rp100 hingga Rp 150 per kilogram karena biaya transportasi berkurang,” jelasnya.

Selain itu, kehadiran pelabuhan modern akan membuka peluang hilirisasi industri sawit seperti oleokimia dan biodiesel, yang selama ini terkonsentrasi di Dumai, Medan, dan bahkan Johor. 

Tenaga kerja lokal dapat terserap di berbagai sektor pendukung, mulai dari pergudangan, perkapalan, laboratorium mutu, hingga pabrik turunan sawit. Lebih lanjut, Safuadi menyampaikan, potensi pengembangan pelabuhan ekspor tidak hanya terbatas di Krueng Geukuh. 

Pelabuhan Calang, Meulaboh, Surin di Abdya, dan Singkil juga layak dikembangkan sebagai simpul logistik baru. Keberadaan pelabuhan-pelabuhan ini akan memperpendek rantai distribusi dan memperkuat daya saing CPO Aceh di pasar global.

Tanpa percepatan pembangunan pelabuhan ekspor, Aceh akan terus kehilangan ratusan miliar rupiah setiap tahun. Uang yang seharusnya memperkuat ekonomi lokal justru tersedot keluar daerah. 

Di sisi lain, potensi peningkatan pendapatan daerah, kesejahteraan petani, dan penciptaan lapangan kerja masih terhambat oleh ketergantungan pada infrastruktur luar provinsi.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved