Perang Tarif
AS Kritik QRIS, GPN, dan Sertifikasi Halal di Indonesia, Begini Respons Pimpinan DPR dan NU
GPN, QRIS, dan sertifikasi halal, adalah tiga di antara produk asli Indonesia yang menjadi perbincangan masyarakat dunia.
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA – Di tengah kondisi Indonesia yang dianggap tidak baik-baik saja, ternyata ada beberapa produk asli Indonesia yang menjadi kebanggaan nasional dan mendunia.
GPN, QRIS, dan sertifikasi halal, adalah tiga di antara produk asli Indonesia yang menjadi perbincangan masyarakat dunia.
Hal ini diketahui ketika ketiga produk anak bangsa ini dipersoalkan oleh Pemerintah Amerika Serikat, dalam proses negosiasi tarif dagang antarkedua negara.
Untuk diketahui, Quick Response Code Indonesian Standard atau QRIS adalah standar kode QR nasional yang dikembangkan oleh Bank Indonesia untuk memfasilitasi pembayaran non-tunai di Indonesia.
Dengan QRIS, pengguna dapat melakukan berbagai jenis transaksi seperti pembayaran, transfer, tarik tunai, dan setor tunai dengan hanya memindai kode QR.
QRIS bertujuan untuk menyederhanakan transaksi pembayaran digital dan mengintegrasikan berbagai platform pembayaran digital.
Dikutip Serambinews.com dari Kompas.com, Selasa (29/4/2025), Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengkritik penggunaan QRIS dan GPN yang dinilai menghambat perdagangan luar negeri AS.
Kritik pemerintah AS terhadap QRIS dan GPN ini, tercantum dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang diterbitkan pada 31 Maret 2025, atau beberapa hari sebelum Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor resiprokal.
Dalam laporan tersebut, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) merinci hambatan perdagangan dari 59 negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia.
Indonesia disebutkan memiliki kebijakan yang dapat menghambat perdagangan digital dan elektronik, yang berpotensi memengaruhi perusahaan-perusahaan AS.
Salah satunya terkait implementasi QRIS dan GPN yang menimbulkan kekhawatiran perusahaan penyedia jasa pembayaran dan bank asal AS karena memaksa penggunaan sistem dalam negeri dan mengecualikan opsi lintas batas, sehingga dinilai dapat menciptakan hambatan pasar.
Kekhawatiran ini ditimbulkan karena Bank Indonesia (BI) mewajibkan semua transaksi debit dan kredit ritel domestik diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan berlisensi oleh BI.
Aturan soal GPN ini sesuai dengan Peraturan BI Nomor 19/08/2017.
Peraturan tersebut juga memberlakukan pembatasan ekuitas asing sebesar 20 persen pada perusahaan yang ingin memperoleh lisensi switching untuk berpartisipasi dalam GPN serta melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik.
Kemudian, dalam Peraturan BI Nomor 19/10/PADG/2017, perusahaan asing yang ingin ikut mengelola transaksi pembayaran dalam negeri di Indonesia tidak bisa beroperasi sendiri.
Sementara itu, kekhawatiran AS terkait sistem pembayaran yang dicanangkan BI, yakni QRIS, muncul karena QRIS ditetapkan sebagai standar nasional untuk semua pembayaran yang menggunakan kode QR di Indonesia.
Beleid soal QRIS ini berdasarkan Peraturan BI Nomor 21 Tahun 2019.
Namun, dalam proses penyusunan kebijakan QRIS ini, para pemangku kepentingan asing tidak diajak konsultasi dan tidak diberikan kesempatan untuk memberikan masukan.
"Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, mencatat kekhawatiran bahwa selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, para pemangku kepentingan internasional tidak diberi tahu tentang sifat perubahan potensial atau diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka tentang sistem tersebut, termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi paling lancar dengan sistem pembayaran yang ada," tulis laporan USTR.
Baca juga: Kata Ahli Ekonomi Soal Sikap Indonesia Terhadap Keluhan Qris dan GPN Oleh AS: Harusnya Biarkan Saja
Reaksi Rakyat, Menteri, Hingga Pimpinan DPR
Kritik Amerika terhadap QRIS dan GPN ini ditanggapi oleh banyak pihak di Indonesia.
Bahkan, muncul gerakan jiwa nasionalisme untuk membela QRIS dengan cara ramai-ramai menggunakan QRIS dalam setiap transaksi.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI, Rabu (23/4/2025) lalu mengungkapkan fakta meroketnya volume transaksi yang menggunakan QRIS.
Perry mengatakan, volume transaksi QRIS sepanjang kuartal I-2025 terus tumbuh hingga 169,1 persen dibanding periode yang sama tahun lalu (yoy). Dipicu oleh terus naiknya jumlah pengguna dan merchant.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, juga menanggapi protes Amerika Serikat (AS) terhadap sistem pembayaran QRIS di Indonesia.
Menurut Airlangga, sistem pembayaran lewat QRIS merupakan penghubung secara nasional.
Di sisi lain, Indonesia juga terbuka untuk operator pembayaran luar negeri, baik Mastercard maupun Visa, untuk digunakan di Tanah Air.
Sehingga, Airlangga menilai keluhan AS soal QRIS bisa diselesaikan dengan penjelasan.
"Terkait dengan QRIS, itu adalah Gateway Nasional. Indonesia sebetulnya terbuka untuk para operator luar negeri, termasuk Mastercard ataupun Visa. Untuk di sektor kartu kredit, itu tidak ada perubahan," jelas Airlangga dalam konferensi pers secara daring dari Washington DC, AS, Jumat (25/4/2025).
"Kemudian, untuk sektor gateway ini, mereka terbuka untuk masuk di dalam front end maupun berpartisipasi. Dan itu level playing field dengan yang lain. Jadi, ini sebetulnya masalahnya hanya penjelasan," paparnya.
Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno juga angkat bicara soal protes Amerika Serikat terhadap sistem gerbang pembayaran (gateway) QRIS yang diterapkan di Indonesia.
Menurutnya, jika produk serupa seperti Master atau Visa ingin masuk, silakan.
Sebab, Indonesia pun bersaing dengan negara lain dalam penyediaan gateway.
"Saya kira kalaupun gateway pembayaran seperti misalkan saja Visa atau Master yang mau masuk, masuk saja ke sektor ini enggak apa-apa. Bersaing tapi," ujar Eddy di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (28/4/2025).
"Saya kira kita pun di negara-negara lain bersaing kok dengan sistem pembayaran atau dengan produk dan jasa lainnya," sambungnya.
Eddy menjelaskan, yang namanya hambatan dagang, itu tentu harus dilihat dalam konteks bahwa sebuah negara perlu memiliki teknologi untuk menjalankan berbagai upaya kegiatan yang memudahkan sektor usaha yang ada.
Dia menegaskan, dalam sektor pembayaran, QRIS sangat memudahkan, bahkan sekarang sudah merambah sampai UMKM.
"Jadi saya kira persaingan ini bisa terbuka dan tidak ada dalam hal ini kelonggaran atau kekhususan dispensasi atau prioritas yang diberikan oleh pemerintah kepada QRIS dibandingkan dengan sistem pembayaran lainnya. Preferensi masyarakat lah yang saat ini sangat luas menggunakan QRIS," jelas Eddy.
Sertifikasi Halal
Selain QRIS dan GPN, Amerika Serikat juga menyorot tentang program sertifikasi halal di Indonesia.
Pemerintah AS menganggap sertifikasi halal ini sebagai hambatan teknis perdagangan.
AS juga menyoroti implementasi sertifikasi halal yang dianggap tidak transparan dan memberatkan eksportir asing.
Kritik ini mencakup potensi hambatan dalam akses pasar bagi produk dan layanan AS ke Indonesia.
AS juga mempersoalkan sulitnya mendapatkan sertifikat halal dan memenuhi syarat tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di Indonesia.
Beberapa peraturan ditetapkan tanpa pemberitahuan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Melindungi Rakyat
Terkait hal ini, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menuturkan, Indonesia mempunyai aturan ketat dalam mengeluarkan sertifikasi halal.
Hal ini diucapkan Gus Yahya untuk menanggapi kritikan dari pemerintah Amerika Serikat yang menganggap aturan halal di Indonesia sebagai hambatan teknis perdagangan. "Protes boleh saja, tapi kan kita punya kedaulatan untuk membuat pengaturan tentang semua hal di dalam masyarakat, untuk melindungi masyarakat kita," ujar Gus Yahya, dikutip Serambinews.com dari Kompas.com, Selasa (29/4/2025).
Menurut Gus Yahya, aturan halal di Indonesia merupakan hal yang wajar mengingat mayoritas masyarakatnya beragama Islam.
"Mereka (Muslim) punya aspirasi mendapatkan perlindungan dalam mendapatkan produk halal, walau ada aturan halal, saya kira itu normal dan patutlah," ujar dia.
Karena itu, kata Gus Yahya, tidak masalah apabila AS keberatan dengan aturan sertifikasi halal di Indonesia.
"Kalau mereka memasukkan barang ke sini ya tetap harus ikut aturan. Mereka saja soal tarif juga membuat masalah seperti itu," imbuh dia.
Terlepas dari adanya kepentingan ekonomi, Gus Yahya menyebut bahwa negara juga wajib melindungi warganya.
"Saya kira gimana lagi, kita punya kepentingan untuk melindungi masyarakat kita. Tapi mereka tidak dilarang untuk jual barang di sini juga toh," ucap Gus Yahya.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.