Kupi Beungoh
Scroll Untuk Tertawa, Pikir Untuk Tersadar: Konten Kesenjangan Sosial Yang Sedang Ramai di Medsos
Tren ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menyadarkan kita akan realitas ketimpangan yang ada di sekitar kita.
Oleh: Siti Nurramadani
Akhir-akhir ini, media sosial diramaikan oleh tren "kesenjangan sosial" yang menampilkan percakapan sehari-hari dengan twist yang mengungkap perbedaan status sosial secara halus namun membangkitkan kesadaran.
Tren ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menyadarkan kita akan realitas ketimpangan yang ada di sekitar kita. Banyak video pendek yang berlatar belakang kehidupan sehari-hari, seperti percakapan ringan antara teman, pasangan, atau keluarga, yang berakhir dengan kalimat yang memperlihatkan dua dunia yang berbeda dunia yang satu terasa mewah, sementara yang lainnya terasa begitu sederhana. (www.antaranews.com)
Di balik senyum dan canda, ada cerita tentang kehidupan yang terpisah oleh garis kemewahan dan kesederhanaan, sebuah perbedaan yang semakin nyata, terutama di platform media sosial yang sering kali hanya menampilkan wajah-wajah ceria.
Humor sebagai Cermin Ketimpangan: Mengapa Tertawa Bisa Menjadi Senjata Sosial?
Sebagai platform yang mengedepankan konten visual, media sosial dengan cepat menjadi tempat di mana ketimpangan sosial bisa disampaikan dengan cara yang mengundang tawa. Video-video ini tidak hanya menghadirkan humor ringan, tetapi juga menyentil realitas yang seringkali sulit diungkapkan secara langsung.
Humor dalam konten-konten ini menjadi cara bagi banyak orang untuk mengungkapkan ketimpangan yang ada di sekitar mereka. Meskipun dikemas dalam bentuk yang sederhana dan lucu, pesan yang ingin disampaikan cukup kuat.
Banyak orang mungkin merasa bahwa konten-konten ini hanya sekadar hiburan semata, namun bagi sebagian orang, video-video tersebut mengingatkan mereka akan perbedaan hidup yang nyata di tengah masyarakat.
Fenomena ini memberi ruang bagi orang-orang untuk mulai memikirkan kembali apakah kesenjangan sosial benar-benar hanya sebuah topik yang harus dibicarakan dalam diskusi akademik atau politik, ataukah ia merupakan kenyataan yang harus kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini mengingatkan kita pada pentingnya kesadaran sosial dan kritik terhadap struktur sosial yang menciptakan ketimpangan antara mereka yang berada di atas dan yang di bawah.
Ketika Media Sosial Jadi Cermin Ketimpangan Sosial
Tren ini kerap muncul dalam bentuk video pendek yang menampilkan percakapan ringan antara dua orang, namun dengan twist yang mengungkapkan perbedaan status sosial yang mencolok.
Salah satunya bisa dilihat dari contoh percakapan berikut: nurra bertanya, “Eh, baju jatuh di lantai” dan vannya jawab, “owhh, bukan itu kain keset kakiku.” Percakapan sepele ini justru menunjukkan kesenjangan sosial yang tajam, di mana satu pihak mungkin terlihat hidup dalam kemewahan, sementara yang lainnya hidup dalam kesederhanaan.
Contoh lain yang juga menggambarkan kesenjangan sosial dengan cara yang sama dapat ditemukan dalam video pendek di media sosial. Misalnya, perbedaan ketawa orang kaya dan ketawanya orang sederhana.
Tren ini berhasil mengangkat isu ketimpangan sosial dengan cara yang ringan, namun tetap menggugah pemikiran kita tentang ketidaksetaraan dalam masyarakat.
Di balik tawa dan candaan yang disuguhkan, terdapat pesan mendalam tentang bagaimana perbedaan status sosial dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari, meskipun kita seringkali tidak menyadarinya.
Menyinggung Namun Tidak Menyalahkan: Cara Video Pendek Menyuarakan Ketimpangan Sosial
Hal yang menarik dari tren ini adalah bagaimana video pendek yang ada tidak secara langsung menyalahkan satu pihak atas ketimpangan sosial yang ada. Sebaliknya, video-video tersebut lebih banyak menyajikan gambaran hidup yang kontras antara dua dunia, tanpa menghakimi siapa yang lebih baik atau lebih buruk.
Dengan pendekatan yang lebih santai dan tidak terlalu menggurui, konten-konten ini berhasil menyentuh banyak orang dan memberi mereka kesempatan untuk melihat perbedaan sosial yang ada.
Tanpa perlu berbicara panjang lebar atau menggunakan narasi berat, video-video ini membuat pemirsa sadar bahwa ketimpangan sosial bukanlah hal yang bisa diabaikan begitu saja, meskipun disampaikan dalam bentuk yang ringan dan menghibur.
Media Sosial Sebagai Ruang Diskusi
Salah satu hal menarik dari fenomena ini adalah bagaimana media sosial telah membuka ruang baru untuk membahas ketimpangan sosial. Dulu, berbicara tentang perbedaan status sosial sering kali dianggap sensitif. Namun, sekarang dengan adanya media sosial, isu ini bisa dibicarakan secara terbuka dan lebih mudah diterima oleh banyak orang.
Melalui tren seperti ini, masyarakat bisa mulai lebih sadar tentang ketidaksetaraan yang ada di sekitar mereka. Media sosial memberi kita kesempatan untuk mengkritisi struktur sosial yang ada tanpa perlu berbicara dengan bahasa yang terlalu serius atau rumit. Cukup dengan video pendek, kita bisa merenung dan berpikir tentang apa yang terjadi di sekitar kita.
Selain itu, media sosial juga memberikan ruang bagi para individu untuk berbagi pengalaman mereka terkait ketimpangan sosial yang pernah mereka alami. Dengan demikian, ruang diskusi ini menjadi lebih inklusif dan memberi banyak perspektif yang sebelumnya sulit untuk ditemukan. Kita jadi lebih peka terhadap perbedaan sosial yang ada, yang mungkin saja terjadi di lingkungan terdekat kita.
Dampak Positif dan Negatif dari Tren Ini
Seperti halnya dengan tren-tren viral lainnya, tren "kesenjangan sosial" di media sosial membawa dampak yang tidak hanya positif, tetapi juga negatif.
Di satu sisi, fenomena ini berhasil meningkatkan kesadaran sosial tentang ketimpangan yang ada di masyarakat.
Hal ini dapat memotivasi individu untuk lebih peka terhadap perbedaan sosial yang ada dan mulai melakukan tindakan nyata untuk mengurangi kesenjangan tersebut.
Namun, di sisi lain, jika tidak disertai dengan pemahaman yang mendalam, video-video ini juga bisa saja terjebak dalam stereotip yang memperburuk ketimpangan sosial, atau bahkan menjadikannya sebagai bahan tertawaan tanpa menumbuhkan empati terhadap mereka yang lebih miskin atau terpinggirkan.
Oleh karena itu, meskipun tren ini bisa berfungsi sebagai alat kritik sosial yang efektif, kita juga harus hati-hati agar tidak mengarahkannya pada pola pikir yang memperburuk marginalisasi.
Kesimpulan: Media Sosial Sebagai Alat untuk Memperbaiki Ketimpangan Sosial
Pada akhirnya, media sosial bisa menjadi alat yang efektif untuk mengedukasi masyarakat tentang ketimpangan sosial, sambil tetap menghibur.
Melalui tren seperti ini, kita bisa lebih sadar akan perbedaan yang ada di sekitar kita dan berpikir bagaimana cara kita untuk membantu mengurangi ketimpangan tersebut.
Namun, kita juga harus bijak dalam menyikapi setiap konten yang ada di media sosial, agar pesan yang disampaikan benar-benar membawa perubahan positif.
Media sosial bukan hanya untuk tertawa, tetapi juga untuk membuka mata kita terhadap masalah yang ada di sekitar kita. Melalui video-video ringan ini, kita bisa belajar untuk lebih peduli terhadap sesama dan menjadi lebih peka terhadap ketimpangan sosial yang sering kita abaikan.
Dengan demikian, media sosial berperan besar dalam menciptakan kesadaran sosial yang lebih tinggi. Sebagai pengguna, kita memiliki tanggung jawab untuk menjadikan ruang ini sebagai tempat yang tidak hanya menghibur, tetapi juga membangun kesadaran dan kepedulian terhadap isu-isu sosial yang sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari.
*) PENULIS adalah Mahasiswi Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Menjaga Semangat Helsinki, Menjamin Keadilan OTSUS Aceh |
![]() |
---|
Dari Aceh Untuk Indonesia dan Dunia: Ajarkan Sejarah Aceh Dalam Muatan Lokal di Sekolah |
![]() |
---|
Kolegium Kesehatan Antara Regulasi dan Independensi |
![]() |
---|
Revisi UUPA, Pengkhianatan di Balik Meja Legislatif yang Menjajah Hak Rakyat Aceh |
![]() |
---|
Baitul Mal Aceh: Masihkah Menjadi Lentera Umat? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.