Opini

Syarat Haji Itu Mampu, tak Mesti Kaya

SEBAGAI rukun Islam kelima, haji menjadi penyempurnaan ibadah manusia dengan tuhan-Nya. Haji adalah perpaduan ritual fisik dan psikis secara totalitas

Editor: mufti
FOR SERAMBINEWS.COM
Tgk Akmal Abzal, Jamaah Haji Kloter BTJ 06 Tahun 2024 

Tgk Akmal Abzal, Jamaah Haji Kloter BTJ 06 Tahun 2024

SEBAGAI rukun Islam kelima, haji menjadi penyempurnaan ibadah manusia dengan tuhan-Nya. Haji adalah perpaduan ritual fisik dan psikis secara totalitas dalam proses pelaksanaan rukun, wajib dan sunnat haji.
Wukuf di Arafah merupakan puncak dari seluruh rangkaian ibadah haji sebagaimana Rasulullah saw bersabda, "Haji itu adalah wukuf di Arafah." (HR An Nasai dan Tirmizi).

Wukuf adalah inti dari ibadah haji, tanpa wukuf, haji seseorang tidak sah. Namun pelaksanaan tawaf, sai antara Safa-Marwa, mabit di Muzdhalifah, bermalam di Mina hingga melontar jamarah adalah rentetan ibadah yang tidak bisa dipisahkan dari kesempurnaan haji seseorang. Maka kesiapan mental sekaligus kemapanan fisik menjadi keniscayaan yang tidak boleh disepelekan apalagi dilupakan.

Bayangkan kebutuhan tenaga yang dibutuhkan saat memutar Ka’bah sebanyak 7 kali keliling.
Di lantai dasar seputaran Ka’bah saja bisa menempuh 2-3 Km per 7 kali putaran, bahkan jarak tempuh tawaf akan bertambah jauh jika dilakukan pada lantai dua, tiga atau lantai atap.

Lain lagi dengan perjalanan Sai bolak-balik antara bukit Safa dan bukit Marwa berkisar 3,5 Km berjalan kaki. Ibadah Sai ini pun dilakukan secara beririsan sesaat usai melakukan tawaf di Ka’bah.
Pelan-pelan energi jamaah saat melakukan umrah wajib mulai terkuras.

Namun puncak pengurasan energi, tenaga dan pikiran belum seberapa karena ekstra energi selanjutnya adalah saat berada di Armuzna alias Arafah, Muzdalifah dan Mina. Ketiga tanah mulia ini menjadi objek puncak haji dan penentu sempurna dan tidaknya ibadah seseorang.

Saat inilah istita’ah atau sehat jasmani menjadi penting karena di tiga wilayah ini setiap jamaah akan berjuang masing-masing untuk mendapatkan ruang dan waktu yang tepat dalam menyelesaikan rukun dan wajib hajinya. Jamaah yang terkendala oleh sakit dan halangan fisik lainnya tentu akan dibatasi geraknya oleh petugas karena jamaah tersebut akan dikendali oleh petugas atau maktab.

Adapun puncak kebutuhan tenaga atau fisik selanjutnya yaitu saat pelontaran jumrah di Mina. Mina menjadi lokasi menguji ketangguhan, kesungguhan dan keikhlasan jamaah. Bagaimana tidak, jarak tempuh antara tenda pemondokan dan titik lontar jumrah bisa berkisar 4-7 Km sekali jalan dan bayangkan pulang dan pergi plus ke sasar alias salah arah jalan saat pulang ke pemondokan maka bisa menempuh jarak perjalanan kaki 10-12 Km.

Inilah maksud dari tulisan ini, haji tidak semata mensyaratkan kaya sebagai pemahaman kata mampu. Tapi “mampu” mesti dimaknai memiliki kesehatan fisik dan psikis yang menjamin perjalanan ke tanah suci tidak menimbulkan gejala penyakit yang menghambat pelaksanaan rukun dan wajib haji. Kendatipun mampu materi atau kaya adalah bagian dari ketentuan pendukung yang tidak bisa dipungkiri.

Namun banyak juga jamaah haji saban tahun berangkat ke tanah suci bukan karena kayanya namun karna punya prestasi,  kemampuan skill atau SDM sehingga diberangkatkan oleh negara.Ingat syarat istitha’ah atau mampu merupakan salah satu syarat wajib haji. Artinya, hanya mereka yang mampu yang diwajibkan melaksanakan haji. Konsep ini berlandaskan ayat Al-Qur’an yang artinya “(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana” (QS Ali Imran: 97).

Ulama membagi istitha’ah menjadi dua kategori. Pertama, mampu melaksanakan haji dengan dirinya sendiri. Kedua, mampu melaksanakan haji dengan digantikan orang lain.
Seseorang bisa disebut mampu melaksanakan ibadah haji dengan dirinya sendiri apabila memenuhi salah satu syarat utama yaitu sehat jasmani.

Gambaran akhirat

Ibadah haji adalah ibadah yang membutuhkan tenaga ekstra, sehingga kondisi tubuh harus benar-benar sehat dan memungkinkan untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji. Orang yang lumpuh, tua renta atau memiliki penyakit permanen yang membuatnya tidak memungkinkan menjalani aktivitas manasik dan menempuh perjalanan jauh, tidak masuk kategori orang yang mampu menjalankan haji dengan sendiri. Tapi hukumnya menyesuaikan kemampuan finansial yang dimiliki. Bila ia memiliki dana yang cukup untuk menyewa orang lain agar menggantikan hajinya, maka wajib dilakukan. (sumber:https://app.nu.or.id).

Bagi jamaah yang memiliki riwayat penyakit atau berpotensi kambuh penyakit yang dapat menghalangi kelancaran ibadah,  sebaiknya menyiapkan obat-obatan, vitamin dan bekal makanan yang cocok sesuai untuk kesehatannya. Dan yang tidak kalah penting juga menyiapkan dana dan pendamping. Dana atau biaya sangat mendorong kelancaran aktivitas di sana. Mulai dari tawaf, sai hingga melontar jamarah butuh dana untuk membiayai orang lain jika tidak mampu melakukan sendiri. Sementara pendamping dibutuhkan guna membantu dalam berkomunikasi dan berkoordinasi dengan petugas atau maktab selama berada di Mekkah dan Madinah.

Perlu diketahui, saat puncak musim haji tiba suasana di Armuzna bagaikan gambaran kehidupan akhirat, potret nafsi-nafsi sangat terasa, ketangguhan personal dibutuhkan karena itu amal (dana) dan keluarga atau pendamping menjadi penolong di tengah semua manusia sedang mengurus ibadah personalnya. Satu sama lain tidak bisa saling menyalahkan apalagi berketergantungan mengingat pemerintah sejak awal telah mensyaratkan sehat jasmani sebagai ketentuan baku.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved