Otomotif
Eropa Ragu-ragu! Revolusi Mobil Listrik Tak Semulus yang Dibayangkan
Dengan semangat tinggi, para pemimpin Uni Eropa menggagas pelarangan penjualan mobil berbahan bakar fosil sebagai “tugas generasi” untuk menyelamatkan
Penulis: Sri Anggun Oktaviana | Editor: Amirullah
SERAMBINEWS.COM – Rencana ambisius Uni Eropa untuk menghentikan penjualan mobil baru berbahan bakar bensin dan diesel pada tahun 2035 kini menghadapi tekanan hebat.
Dilansir dari Washingtonpost (14/5/2025), di tengah tantangan ekonomi, persaingan global, serta tekanan politik dari dalam negeri, muncul keraguan besar atas kemampuan Eropa untuk memenuhi target tersebut.
Empat tahun lalu, Eropa berdiri percaya diri sebagai pemimpin dalam aksi iklim global.
Dengan semangat tinggi, para pemimpin Uni Eropa menggagas pelarangan penjualan mobil berbahan bakar fosil sebagai “tugas generasi” untuk menyelamatkan planet.
Mereka yakin, langkah ini akan membawa industri otomotif Eropa menjadi pemimpin teknologi kendaraan listrik (EV) dunia.
Namun, hari ini kenyataannya jauh dari ekspektasi.
Industri Otomotif Terpukul, China Ambil Alih
Transformasi menuju kendaraan listrik terbukti lebih sulit dan mahal dari yang diperkirakan.
Produsen mobil Eropa seperti Volkswagen, BMW, Mercedes-Benz, hingga Renault menghadapi penurunan drastis dalam nilai pasar.
Dari pertengahan 2021 hingga sekarang, total nilai pasar lima produsen mobil top Eropa anjlok dari $364 miliar menjadi hanya $197 miliar.
“Transisi tidak berjalan sesuai rencana,” ungkap Sigrid de Vries, Direktur Jenderal Asosiasi Produsen Mobil Eropa.
“Gagasan bahwa jika Anda hanya menetapkan aturan, semuanya akan terjadi terlalu sederhana untuk diungkapkan.”
China kini mengambil alih panggung global EV.
Dengan kontrol atas pasokan mineral penting, keahlian manufaktur baterai, dan subsidi besar dari pemerintah, produsen Tiongkok seperti BYD dan CATL menjadi pesaing tangguh.
Mereka memproduksi kendaraan listrik yang jauh lebih murah dibanding mobil buatan Eropa.
Di sisi lain, produsen Eropa kesulitan memproduksi EV yang terjangkau.
Harga rata-rata mobil listrik di Eropa kini menyentuh 46.000 euro (sekitar Rp820 juta).
Ini menjadi penghalang besar bagi adopsi massal kendaraan listrik oleh konsumen.
Baca juga: Cuma Jalan Kaki 9.000 Langkah, Risiko Kanker Turun Drastis 26 Persen! Ini Penjelasan Ilmiahnya
Tekanan Politik dan Ancaman "Tarif Trump"
Masalah tidak berhenti di situ. Dunia politik Eropa kini mulai mempersoalkan kembali target 2035.
Partai-partai kanan tengah dan kanan jauh menuduh kebijakan itu sebagai bentuk "kegilaan ideologis" yang merusak industri, mengancam lapangan kerja, dan meningkatkan ketergantungan terhadap China.
“Kita perlu fleksibilitas pada target 2035,” kata Jens Gieseke, anggota Parlemen Eropa dari Partai Rakyat Eropa. “Kita tidak ingin mematikan industri ini.”
Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni bahkan menyebut target tersebut sebagai “contoh dari kegilaan” yang harus diperbaiki.
Ia menegaskan akan mendorong revisi kebijakan agar lebih realistis.
Situasi diperparah oleh keputusan Presiden AS Donald Trump yang mengenakan tarif sebesar 25 persen terhadap mobil impor, termasuk dari Eropa, sebagai bagian dari strategi proteksionisnya.
Langkah ini menambah beban industri otomotif Eropa yang sudah terluka.
Revisi Kebijakan Mulai Dipertimbangkan
Kekhawatiran akan gagal mencapai target 2035 membuat Uni Eropa membuka opsi untuk revisi.
Salah satu kemungkinan adalah memperbolehkan penjualan mobil hibrida plug-in setelah 2035, yang berarti memperpanjang era mesin pembakaran.
“Risiko bahwa target akan dilonggarkan sangat besar,” ujar Julia Poliscanova, Direktur Senior Transport & Environment, sebuah organisasi lingkungan yang berbasis di Brussels.
Meski begitu, Komisioner Iklim UE, Wopke Hoekstra, bersikeras tetap mendukung target.
Namun tekanan dari parlemen yang kini lebih condong ke kanan membuat masa depan aturan ini tidak pasti.
Baca juga: Kentang Bisa Bantu Turunkan Berat Badan dan Cegah Diabetes, Asal Dimasak dengan Cara Ini
“Kita Seperti Nokia saat iPhone Dirilis”
Beberapa anggota parlemen Eropa masih teguh pada tujuan awal.
Mereka mengingatkan bahwa mundur dari transisi hanya akan membuat Eropa semakin tertinggal secara global.
"Hari ini, saya merasa seperti berada di ruang rapat Nokia saat iPhone baru saja dirilis," kata Mohammed Chahim, anggota parlemen Belanda.
"Nostalgia itu bagus... tetapi tidak jika itu menghalangi inovasi, tidak jika itu menghalangi perubahan."
Para pendukung transisi menyerukan agar Uni Eropa lebih fokus membangun infrastruktur seperti stasiun pengisian daya dan memberikan insentif tambahan bagi pembelian kendaraan listrik.
Baca juga: Jangan Salah Urus SKCK! Ini Tempat, Biaya, dan Syarat Lengkap Pendaftaran Secara Online
Krisis Baterai: Proyek Lokal Tertatih-tatih
Eropa juga berjuang dalam upayanya memproduksi baterai sendiri.
Northvolt, perusahaan baterai asal Swedia yang sempat digadang-gadang menjadi harapan Eropa, dinyatakan bangkrut pada bulan Maret.
Sementara itu, proyek usaha patungan ACC (antara Stellantis dan Mercedes-Benz) menghentikan rencana pembangunan pabrik baru di Italia dan Jerman.
Padahal, penguasaan teknologi baterai menjadi kunci dalam kompetisi global kendaraan listrik.
Tahun ini, dua perusahaan Tiongkok CATL dan BYD mengumumkan teknologi baru yang memungkinkan pengisian daya secepat mengisi bensin di SPBU.
Volkswagen: Dari Dieselgate ke Serangan EV?
Volkswagen Group, yang pernah tersandung skandal Dieselgate, sempat memimpin revolusi EV lewat CEO Herbert Diess.
Ia meluncurkan proyek ambisius membuat baterai sendiri dan mempercepat peluncuran EV.
Namun, banyak kendala muncul: masalah perangkat lunak, peluncuran produk yang tertunda, hingga target produksi yang tidak tercapai.
Oliver Blume, CEO baru Volkswagen, kini mengambil pendekatan lebih realistis.
“Keputusan apa pun soal larangan mesin pembakaran harus didasarkan pada realitas seberapa cepat mobilitas listrik menyebar,” katanya.
“Dan jika perlu, diperlukan periode transisi yang fleksibel secara politik.”
Volkswagen tetap optimistis dan berencana meluncurkan model EV murah seharga 20.000 euro pada tahun 2027.
Tapi itu mungkin belum cukup untuk membendung arus dari pesaing China.
Baca juga: 12 Kloter Jamaah Haji Embarkasi Aceh Siap Diberangkatkan, Ini Jadwal Lengkap dan Daftar Daerahnya!
Uni Eropa Coba Kendurkan Regulasi
Sebagai tanggapan terhadap semua tekanan ini, Uni Eropa pada bulan Maret mengusulkan kelonggaran tambahan.
Di antaranya adalah memberi waktu tiga tahun, bukan satu, untuk memenuhi target emisi karbon antara 2025 hingga 2027.
Pendanaan tambahan untuk industri baterai juga sedang digulirkan.
“Kita tidak bisa membiarkan kendaraan listrik menjadi lebih mahal,” ujar Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen. “Namun, kita juga tidak boleh menciptakan ketergantungan baru.”
Pertarungan antara idealisme iklim dan realitas ekonomi kini memuncak di Eropa.
Target tahun 2035 bisa jadi merupakan puncak dari pertarungan ini.
Apakah Eropa tetap menjadi pelopor dalam transisi energi bersih atau justru mundur dari ambisi besarnya masih menjadi pertanyaan besar.
Yang jelas, transisi ini bukan sekadar soal mobil tetapi juga soal masa depan industri, lapangan kerja, dan kemandirian teknologi di tengah dunia yang terus berubah.
Baca juga: Demi Bawa Pulang Rp9.600 Triliun dari Saudi, Trump Cabut Sanksi Suriah dan Ajak Iran Damai?
(Serambinews.com/Sri Anggun Oktaviana)
Honda Forza Kini Tampil dengan Warna Baru yang Eksklusif |
![]() |
---|
Harga Mobil di Aceh Bakal Naik, Pengusaha Otomotif Berharap Mualem Lakukan Ini |
![]() |
---|
Suzuki Fronx Siap Dipasarkan di Aceh, Harga Mulai Rp 264 Juta |
![]() |
---|
Danish Boyong 3 Mobil Ke Event Modifikasi Turbo Clash di Medan |
![]() |
---|
Danish Car Exhibition Menyapa Masyarakat Aceh, Pamer Interior Jok Mobil Bertabur Diskon Akhir Tahun |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.