Mihrab

Fenomena Haji di Tanah Suci, Tgk Umar Rafsanjani: Pulang Hanya Bawa Stempel dan Cerita Transaksi

Menurutnya, praktik-praktik tersebut telah menggeser esensi ibadah haji dari perjalanan spiritual menjadi kegiatan yang sarat kepentingan ekonomi. 

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/ZAINAL ARIFIN M NUR
Tgk Umar Rafsanjani 

Fenomena Haji di Tanah Suci, Tgk Umar Rafsanjani: Pulang Hanya Bawa Stempel dan Cerita Transaksi

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Musim haji yang seyogianya menjadi momen puncak spiritual umat Islam justru menyisakan berbagai fenomena yang memunculkan tanda tanya. 

Di tengah jutaan umat Muslim yang berangkat ke Tanah Suci dengan niat menunaikan rukun Islam kelima, sejumlah praktik komersial justru mencemari kesakralan ibadah haji.

Dewan Penasehat Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh, Tgk. H. Umar Rafsanjani, Lc., MA mengungkapkan kekhawatirannya atas maraknya praktik perdagangan di sela-sela pelaksanaan ibadah haji.

“Fenomena perdagangan yang menyelusup di sela-sela ibadah sudah menjadi rahasia umum. Ada jamaah yang membawa serta rokok linting, jamu tradisional, bahkan obat kuat dengan merek-merek yang tidak jelas legalitasnya,”

“Di kamar hotel dan lobi maktab, transaksi berlangsung diam-diam, terkadang lebih aktif dari zikir dan munajat,” ujar Tgk. Umar, yang juga Pimpinan Dayah Mini Aceh.

Menurutnya, praktik-praktik tersebut telah menggeser esensi ibadah haji dari perjalanan spiritual menjadi kegiatan yang sarat kepentingan ekonomi. 

Tidak hanya itu, kemunculan“warung Indonesia” di sekitar pemondokan jamaah juga tak luput dari sorotan. 

Meskipun awalnya bertujuan membantu jamaah dalam hal konsumsi, banyak yang kemudian menjadikan peluang ini sebagai ajang komersialisasi dengan harga-harga yang mencekik.

“Harga seporsi makanan bisa melambung tinggi, bahkan melebihi harga makanan di pusat kota Mekkah sekalipun. Sayangnya, ada jamaah yang akhirnya lebih sibuk berdagang daripada bertawaf,” ujar Tgk Umar.

Tidak hanya pada aspek konsumsi, komodifikasi juga merambah ke ranah pembinaan ibadah.

Manasik haji yang seharusnya menjadi pembekalan ruhiyah kini dikemas sebagai paket eksklusif berbayar. 

Bahkan, istilah "haji plus" lebih sering dimaknai sebagai status sosial daripada peningkatan kualitas ibadah.

“Dakwah yang seharusnya menjadi ladang pahala, berubah menjadi sumber pemasukan,” sebutnya.

Lebih lanjut, Tgk. Umar menyoroti keberangkatan sebagian jamaah yang bukan karena dorongan ibadah, melainkan karena penugasan instansi, sponsor perusahaan, hingga titipan politik.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved