Kupi Beungoh
Ancaman Bom Sisa Perang Aceh
Bom militer buatan Rusia yang ditemukan itu adalah jenis proyektil aktif peninggalan era perang kolonial atau pupoler disebut juga Explosive Remnants
Melainkan penekanannya ditegaskan bahwa GAM harus menyerahkan 840 pucuk senjatanya untuk “decommissioning” atau pemotongan senjata.
Pada masa konflik, pihak militer Indonesia maupun GAM diyakini menggunakan alat peledak buatan pabrik maupun rakitan sebagai rangkaian strategi menaklukkan musuh satu sama lain.
Bahkan alat-alat peledak tersebut ditanam sebagai ranjau dan tersebar di wilayah-wilayah dengan eskalasi konflik bersenjata yang tergolong tinggi di Aceh.
Memang pengalaman demikian lazim terjadi disejumlah negara yang pernah terlibat konflik bersenjata, tak terkecuali dalam konflik bersenjata di daerah ini.
Baca juga: Incar Komandan Brigade Qassam, Israel Bom Rumah Sakit Eropa, 27 Warga Gaza Syahid
Pada beberapa tahun lalu, kasus penemuan benda-benda mematikan tersebut berlangsung tragis karena diikuti dengan jatuhnya korban sipil.
Penelusuran dari sejumlah dokumentasi yang ada menunjukkan sebagian besar benda maut ini ditemukan oleh warga sipil disaat-saat melaksanakan aktifitasnya.
Masih segar dalam ingatan, peristiwa penemuan alat-alat peledak yang disertai jatuhnya korban tewas seperti dialami Saiful bin Muhammad dan Yusrizal di Aceh Timur (2014). Lalu Khairul Sabri di Kota Lhokseumawe (2013), M. Daud Hanafiah di Aceh Utara (2012).
Kemudian bocah bernama Faisal Bin Matsam Puteh bersama saudaranya Iskandar sebagai korban ranjau pertama pasca konflik ketika itu (2007), dan terakhir Zulfikar Bin Harun Ibrahim di Aceh Timur (2007).
Penderitaan sebagaimana dialami para korban ranjau, nyata-nyata dapat dirasakan karena terjadi disekitar dan dihadapan mata kita.
Sangat pantas jika saat-saat sekarang ini, langkah-langkah preventif dan protektif dalam rangka menjaga kewaspadaan akan ancaman ranjau darat ditengah-tengah masyarakat Aceh harus dijamin oleh pemerintah.
Toh, dalam skala lokal pun pemerintah daerah di Aceh merupakan representasi GAM yang telah bertransformasi menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA).
Kedua pihak perlu merintis berbagai upaya seperti tukar-menukar informasi mengenai keberadaan ‘ranjau darat’ yang pernah digunakan masing-masing, lalu melakukan upaya pembersihan (demining), serta merehabilitasi para korban di wilayah tertentu (mine infested countries) yang menjadi korban.
Penting untuk diketahui bahwa, upaya perlindungan terhadap para korban ranjau menjadi sepenuhnya tanggung jawab pemerintah karena telah meratifikasi Konvensi Internasional Tentang Ranjau Darat Tahun 1997 (lazim disebut Ottawa Convention) ke dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2006.
Baca juga: Sosok Kolonel Antonius Korban Tewas Ledakan Bom Amunisi: Akmil 1997, Pernah Tugas di Kodam Pattimura
Sejak proses ratifikasi, terdapat sejumlah upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam memberi perlindungan kepada korban dan masyarakat yang berada di kawasan rawan ranjau darat secara nasional.
Bersinergi dengan usaha yang dilakukan tersebut, pada tahun 2007 Pemerintah Aceh (era Kepemimpinan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar), telah pula membuka layanan pengaduan bom (hotline bom) 24 Jam yang diikuti dengan beberapa kebijakan seperti bantuan tanggap darurat pada korban.
Untuk Tiga Perempuan Seniman Aceh: Benarkah Aturan Jilbab Syariat Islam Merendahkan Perempuan? |
![]() |
---|
Mengapa Mendirikan Fakultas Kedokteran di UTU? |
![]() |
---|
Prof Jarjani Usman: Representasi Gen X yang Optimistis dan Anti FOMO |
![]() |
---|
MIGAS Mengalir ke Medan, Kemiskinan Mengendap di Aceh |
![]() |
---|
CSR: Tanggung Jawab Korporasi Bukan Sekedar Derma |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.