Subulussalam

Soal Ikan Mati Massal, Kini Anggota Dewan Desak Wali Kota Evaluasi Kepala DLHK Subulussalam

Ardhi Yanto yang akrab disapa Toto menilai, DLHK gagal menjalankan tugasnya secara profesional dalam menangani insiden lingkungan...

Penulis: Khalidin | Editor: Eddy Fitriadi
For Serambinews.com
Anggota DPRK Subulussalam, Ardhi Yanto. Soal Ikan Mati Massal, Kini Anggota Dewan Desak Wali Kota Evaluasi Kepala DLHK Subulussalam. 

Laporan Khalidin Umar Barat I Subulussalam

SERAMBINEWS.COM, SUBULUSSALAM — Desakan agar Wali Kota Subulussalam, Haji Rasyid Bancin, segera mengevaluasi bahkan menonaktifkan Kepala dan Kabid Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kota Subulussalam semakin menguat, menyusul polemik penanganan kasus kematian massal ikan di Sungai Lae Batu-Batu.

Kritik keras kali ini datang dari anggota DPRK Subulussalam, Ardhi Yanto dalam keterangan persnya kepada Serambinews.com Jumat (30/5/2025) menanggapi hasil uji lab sampel air Sungai Lae Batu-Batu yang heboh akibat ikan mati secara massal di sana.

Ardhi Yanto yang akrab disapa Toto menilai, DLHK gagal menjalankan tugasnya secara profesional dalam menangani insiden lingkungan yang mengundang keresahan publik tersebut.

"Bagaimana mungkin sampel air dan ikan mati dikirim ke laboratorium tanpa prosedur resmi? Bahkan tidak ada surat pengantar, apalagi petugas pendamping. Ini sangat tidak profesional," kata Toto.

Sebelumnya, DLHK mengklaim telah mengirim sampel air ke Balai Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri (BSPJI) Banda Aceh, dan sampel ikan ke laboratorium Kimia Universitas Syiah Kuala (USK) untuk diuji. Hasil uji disebut akan keluar dalam waktu 14 hari kerja. 

Namun faktanya, ketika Toto melakukan pengecekan langsung, ia tidak menemukan satu pun registrasi sampel di laboratorium tersebut.

Tak hanya itu, surat dari pihak laboratorium USK yang baru diterima 20 hari setelah pengiriman menyatakan bahwa pengujian terhadap bangkai ikan tidak dapat dilakukan karena keterbatasan alat preparasi. 

Hal ini makin memperbesar kecurigaan publik atas dugaan kelalaian dalam penanganan kasus tersebut.

"Kami juga menerima laporan bahwa hingga saat ini masih ditemukan ikan mati di Sungai Batu-Batu. 

Bagaimana mungkin DLHK menyimpulkan air tidak tercemar, sementara kematian ikan terus terjadi?," ujar Toto.

Kematian massal ikan di Sungai Lae Batu-Batu pada 7 Mei lalu menjadi pukulan telak bagi masyarakat setempat, khususnya para nelayan yang menggantungkan hidup dari sungai tersebut.

Namun penanganan DLHK yang dinilai tidak transparan justru memicu krisis kepercayaan publik.

DLHK Klaim Air Sungai Tidak Tercemar

Dalam Telaah Staf bernomor 66/80/DLHK/2025 yang diterbitkan pada 28 Mei lalu, DLHK menyatakan bahwa kualitas air Sungai Lae Batu-Batu, serta beberapa sungai lainnya, masih berada di bawah ambang batas baku mutu kelas 3 dan 4 berdasarkan PP RI Nomor 22 Tahun 2021.

Kesimpulan itu diambil berdasarkan hasil uji dari BSPJI Banda Aceh terhadap sejumlah parameter seperti pH, TSS, BOD5, COD, minyak dan lemak, serta nitrogen total. 

DLHK juga menyebutkan tidak terdapat korelasi antara air sungai dan limbah Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS) PT Mandiri Sawit Bersama yang diduga menjadi penyebab.

Namun publik mempertanyakan validitas hasil tersebut, terutama karena proses pengujian diselimuti banyak kejanggalan. 

Selain tidak jelasnya alur pengiriman sampel, DLHK juga mengakui bahwa laboratorium Kimia USK tidak bisa melanjutkan pengujian terhadap bangkai ikan. 

Saat ini, DLHK disebut sedang berkoordinasi dengan Lab Forensik Polda Sumatera Utara untuk kemungkinan pengujian lanjutan.

Menurut Toto, satu-satunya cara untuk memulihkan kepercayaan masyarakat adalah dengan menonaktifkan sementara Kepala dan Kabid DLHK.

Ia menegaskan bahwa tanpa langkah tegas dari Wali Kota, penanganan lanjutan akan dipenuhi keraguan publik.

"Kalau tidak dinonaktifkan, nanti hasilnya sia-sia. Publik sudah krisis kepercayaan," tegasnya.

Tuntutan Warga Menguat

Tuntutan masyarakat agar Wali Kota segera mengambil langkah tegas bukanlah hal baru. 

Sebelumnya, nelayan dan warga sekitar Sungai Lae Batu-Batu juga telah menyuarakan hal serupa. 

Mereka meminta kepala daerah tak menutup mata atas berbagai keluhan yang muncul dari lapangan.

Toto berharap agar Wali Kota HRB tidak membiarkan kesalahan teknis DLHK mencoreng kredibilitas pemerintah kota.

"Jangan sampai karena kelalaian satu dinas, nama baik Wali Kota ikut tercemar. Ini soal kepercayaan publik, dan harus dijawab dengan tindakan tegas," Toto.

Sebelumnya, desakan penonaktifan juga disuarakan pemerhati lingkungan, Nukman Suryadi Angkat, SP dalam keterangan persnya kepada Serambinews.com, Kamis (29/5/2025).

Desakan tersebut seirama dengan warga yang mempertanyakan keabsahan proses pengujian sampel air dan bangkai ikan mati yang terjadi di Sungai Lae Batu-batu pada 7 Mei lalu.

Insiden matinya ikan secara massal di sungai yang menjadi nadi kehidupan nelayan itu menyulut keresahan mendalam di tengah masyarakat. 

Namun, alih-alih memberikan kejelasan, langkah DLHK dalam menangani krisis ini justru memantik lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban.

Kepala DLHK Subulussalam, Abdul Rahman Ali, sebelumnya menyatakan bahwa sampel air telah dikirim ke Badan Standardisasi Pengujian Jasa Indonesia (BSPJI) Banda Aceh, sedangkan bangkai ikan diuji di laboratorium Kimia Universitas Syiah Kuala (USK). Hasilnya dijanjikan keluar dalam 14 hari kerja.

Namun fakta di lapangan justru mencengangkan. Salah satu anggota DPRK Subulussalam yang melakukan pengecekan langsung ke laboratorium di Banda Aceh tidak menemukan adanya jejak sampel yang dimaksud. 

"Hasil penelusuran kami, tidak ada catatan, tidak ada registrasi. Seolah-olah sampel itu tak pernah sampai," ungkap Nukman yang akrab disapa Arung.

Kecurigaan warga pun kian menguat ketika mengetahui bahwa pengiriman sampel dilakukan tanpa prosedur yang semestinya. 

"Bagaimana bisa sampel yang menentukan nasib kesehatan dan mata pencaharian ribuan orang hanya dikirim lewat travel tanpa petugas pendamping dan tanpa surat pengantar? Ini bukan main-main!" tegas Arung.

Lebih lanjut, kegeraman warga menurut Arung memuncak setelah muncul surat dari pihak laboratorium USK yang menyatakan bahwa pengujian bangkai ikan tidak dapat dilakukan karena kekurangan perlengkapan. 

Ironisnya, pemberitahuan ini baru disampaikan 20 hari setelah sampel diterima.

"Ini bukan hanya soal kelalaian administratif. Ini persoalan nyawa, kesehatan publik, dan keberlangsungan hidup nelayan. Kalau air dinyatakan tidak tercemar, lalu kenapa ikan bisa mati berhari-hari? Ini tidak masuk akal!," ujar Arung dengan nada kesal.

Ketidakprofesionalan dalam penanganan sampel dan informasi yang simpang siur ini mendorong warga untuk mendesak Wali Kota Subulussalam segera mengevaluasi, bahkan bila perlu menonaktifkan Kepala dan Kabid DLHK Subulussalam.

"Secara hukum kami tidak bisa menuduh DLHK bermain-mata. Tapi kejadian ini sangat janggal. Ini bukan lagi sekadar kelalaian. Patut diduga, ada udang di balik batu," pungkas Arung yang juga pegiat Inisiatif Sawir Berkelanjutan (ISB),Kota Subulusdalam dengan nada penuh kecurigaan.

Sebelumnya Masyarakat dan nelayan Kota Subulussalam mendesak Wali Kota Haji Rasyid Bancin atau HRB agar segera menonaktifkan Kepala dan Kabid Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) setempat.

Desakan itu disanpaikan Hasbi Bancin warga Kecamatan Rundeng kepada Serambinews.com Kamis (29/5/2025) menanggapi hasil uji laboratorium air Sungai Lae Batu-Batu yang diduga tercemar oleh limbah dari Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS).

Menurut Hasbi, warga dan nelayan meragukan hasil uji lab air maupun ikan yang dilaksanakan oleh pihak DLHK Subulussalam.

Kecurigaan tersebut diakui sejak awal apalagi saat mendapat pemberitaan jika sampel air dan ikan dikirim seperti paket biasa dan tujuannya bukan ke lembaga lab namun personal.

"Kami dari nelayan dan masyarakat Desa Muara Batu-Batu sudah jauh hari tidak percaya dengan hasil uji lab dan kami duga ada permainan di dalamnya itu sudah terlihat mulai dari pengiriman nya yang tidak realistis dan tidak secara prosedural," kata Hasbi.

Terbukti, kata Hasbi saat hasil uji lab keluar dinyatakan air Sungai Lae Batu-Batu tidak tercamar padahal sampai Kamis (29/5/2025) kasus ikan mati masih terjadi.

"Sampai hari ini masih ada kasus ikan mati massal di Sungai Batu-Batu, kalau tak percaya silakan turun ke lapangan," tegas Hasbi.

Terhadap hal ini, Hasbi menegaskan sebagai masyarakat dan nelayan meminta Wali Kota Subulussalam HRB agar menonaktifkan kepala dan kabid DLHK dan Kota Subulussalam.

Penonaktifkan tersebut menurut Hasbi penting agar nanti ada pengambilan sampel air dan ikan mati untuk diuji kembali ke laboratorium.

"Kalau tidak dinonaktifkan maka tetap saja nanti hasilnya sia-sia, karena kami tidak percaya lagi kepada kedua orang tersebut," tegas Hasbi.

Hasbi berharap agar Wali Kota Subulussalam segera menindak tegas atas keluhan-keluhan dari rakyat.

Hasbi mengaku tidak ingin karena kesalahan dari DLHK Wali Kota Subulussalam menjadi sasaran.

Terakhir, Hasbi menyatakan bahwa mereka warga dan nelayan akan melakukan aksi lanjutan terkait hasil laboratorium tersebut. 

Sebagaimana berita sebelumnya, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kota Subulussalam menyimpulkan jika air sungai Lae Batu-Batu masih baik atau tidak tercemar.
Kesimpulan itu tertuang dalam Telaah Staf yang dikuarkan DLHK Kota Subulussalam, Rabu (28/5/2025) menyikapi hasil uji aboratorium terhadap sampel air sungai Lae Batu-Batu (daerah Belintang), Lae Sarkea, Lae Raso (Singgersing), Hilir Lae Rikit Dusun Rikit), Median Lae Rikit, dan Hulu Lae Rikit.

Telaah staf tersebut bernomor :66/ 80 /DLHK/2025 tentang Analisis Data dari Hasil Uji Laboratorium Balai Standarisasi dan Pelayanan Jasa Industri (BSPJT) Banda Aceh terhadap sampel yang diambil pada tanggal 7 Mei 2025 meliputi Hulu Lae Rikit, Lae Sarkea, Hilir Lae Rikit, Median lae Rikit, Lae Raso Singgersing), Sungai Baltu-Batu (Belintang) Dugan Pencemaran PMKS PT Mandiri Sawit Bersama.

Dijelaskan berdasarkan hasil analisa kualitas air sungai Lae Batu-Batu (Belintang), Lae Sarkea, Lae Raso Singgersing), Hilir Lae Rikit, Median Lae Rikit, dan Hilir Lae Rikit dengan baku mutu air sungai kelas 3 dan 4 sesuai PP RI Nomor 22 tahun 2021.

Maka semua parameter yang diuji masih berada ibawah baku mutu air sungai kelas 3, sehingga kualitas air sungai tersebut masih baik atau tidak tercemar.

Parameter kualitas air yang dipengaruhi oleh air limbah Pabrik Minyak Kelapa Sawit berdasarkan PermenLHK Nomor 5 tahun 2014 adalah pH, TSS, BODS, COD, minyak dan lemak, serta N-Total.

Sehingga untuk mengatakan suatu air sungai telah tercemar oleh sebuah pabrik minyak kelapa sawit dapat dilihat dari kadar parameter tersebut apakah melebihi baku mutu atau tidak. 

Sementara dari hasil uji laboratorium yang telah dilakukan yakni kadar parameter pli, TSS, BOD5, COD, minyak dan lemak, serta N-Total pada lokasi Hilir.

Air Sungai Lae Rikit dari titik rencana pembuangan air limbah PMKS PT. Mandiri Sawit Bersama (MSB) masih berada di bawah baku mutu air sungai.

Kemudian kadar parameter pH, TSS, BODS, COD, minyak dan lemak, serta N-Total pada lokasi Hilir' Air Sungai Lae Raso (Singgersing) juga masih di bawah baku mutu air.

Dikatakan pula sesuai telah hasil uji kualitas air sungai yang dilakukan, kematian ikan yang terjadi pada tanggal 07 Mei 2025 di Lae Batu-Batu (Daerah Belintang), tidak terdapat korelasinya dengan air limbah Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS), sesuai dengan P 22 Tahun 2021 dan PermenLHK Nomor 5 tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah.

"Kematian ikan pada tanggal 07 Mei 2025 di Lae Batu-Batu (Daerah Belintang) belum dapat kami kami berikan keterangan, karena Lab Teknik Kimia Unsyiah yang telah menerima sampel ikan pada tanggal 8 dan 10 Mei 2025 untuk melakukan uji residu pestisida, pada hari ini tanggal 28 Mei 2025 telah mengeluarkan surat tidak bisa melakukan uji karena tidak ada bahan preparasi contoh uji," tulis DLHK dalam surat telaahnya.

Namun demikian DLHk mengaku sedang melakukan koordinasi dengan lab forensik POLDA Sumatera Utara yang memiliki Alat analisanya sama dengan Lab Teknik Kimia Unsyiah, apakah dengan kondisi sampel yang sudah lama tersimpan di Lab Kimia Unsyiah masih bisa dianalisa atau tidak di Lab Forensik Polda Sumatera Utara.

Dijelaskan Lab Forensik Polda Sumatera Utara baru bisa memberi jawaban bisa atau tidaknya, pada hari Senin tanggal 2 Juni 2025. 

Apabila Lab Forensik Polda Sumatera Utara menyanggupinya, maka DLHK berjanji akan memindahkan sampel ikan tersebut ke Lab Forensik Polda Sumatera Utara.

Masih menurut DLHK Subulussalam pembacaan data Sertifikat Hasil Uji Kualitas Air dilakukan oleh tim DLHK Kota Subulussalam sesuai dengan`keilmuan yang dimiliki.

"Apabila terdapat kekeliruan sesuai dengan keputusan ahli menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku, maka akan diperbaiki sebagaimana mestinya," terang Abdul Rahman Ali, S.Hut, Kepala DLHK Subulussalam dalam telaahnya.

Sebelumnya juga disebutkan Kota Subulussalam belum memiliki Qanun Tentang Penentuan Kelas Sungai dan Daya Dukung Daya Mutu Air Nasional.

Lantaran itu peraturan baku mutu yang digunakan sesuai Baku Tampung Lingkungan Hidup Pemerintah PP) Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup maka untuk melihat kualitas air sungai digunakan Baku Mutu Air Sungai Kelas 3 atau maksimal kelas 4, pengguanaan kelas tersebut karena kegiatan yang ada disekitar air sungai tersebut terdapat perkebunan, pertanian, industri, peternakan dan pemukiman.

Sebagaimana diberitakan keanehan muncul dalam penanganan masalah ikan mati secara massal di Sungai Lae Batu-Batu Kota Subulussalam yang diduga akibat pencemaran limbah pabrik kelapa sawit.

Bahkan dilaporkan pengiriman sampel ikan dan air Sungai Batu-Batu oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kota Subulussalam ke laboratorium diduga tidak sesuai dengan mekanisme resmi, bahkan tanpa pendampingan atau surat pengantar yang sah sebagaimana informasi yang terima Serambinews.com, Senin (19/5/2025).

Dugaan menyalahi prosedur dalam proses pengiriman sampel air dan ikan mati dari Sungai Lae Batu-batu ini pun memicu pertanyaan publik.

Sampel ikan mati dan air Sungai Batu-Batu ternyata dikirim lewat travel pengangkutan umum layaknya paket barang biasa.

Sampel ikan dan air yang notabene sebagai bukti hukum diduga dikirim tanpa didampingi dan dilengkapi dokumen surat pengantar.

Bahkan saat ditanyai surat tanda terima sampel air dan ikan dari Labpratorium Kimia Universitas Syiah Kuala (USK) pihak DLHK tidak bisa menunjukan.

Ironisnya lagi, hasil investigasi wartawan mengungkapkan bahwa seorang narasumber ternyata sampel terkait tidak ditemukan adanya pencatatan resmi dalam sistem register di Laboratorium USK.

Sumber Serambinews.com yang meminta identitasnya dirahasiakan mengaku sudah melakukan verifikasi langsung ke dua laboratorium Universitas Syiah Kuala (USK), Banda Aceh — yang sebelumnya disebut-sebut sebagai tujuan pengiriman sampel. 

Berdasarkan keterangan petugas laboratorium, tidak ada sampel yang diterima, termasuk tidak ditemukan adanya pencatatan resmi dalam sistem register.

“Barusan saya sudah kroscek langsung ke laboratorium Unsyiah (USK), dan berdasarkan informasi dari petugas lab dilaporkan tidak ada sampel terkait masuk, dan tidak ada register resmi,” terang sumber tersebut.

Narasumber juga menyebut bahwa ia telah menelusuri keberadaan sampel ke Laboratorium Fakultas MIPA dan Laboratorium Teknik Kimia Fakultas Teknik USK, namun keduanya menyatakan tidak pernah menerima kiriman dari DLHK Subulussalam.

Hal ini pun memicu tanda tanya dan kecurigaan publik. Usut punya usut hal yang mencurigakan, pengiriman sampel ternyata dilakukan hanya melalui jasa mobil travel, tanpa ada petugas resmi yang mendampingi atau surat pengantar yang menyertai. 

Dalam foto paket yang diterima redaksi, terlihat sebuah tulisan sederhana bertuliskan “Kepada Pak Edy di Lab Kimia Unsyiah” lengkap dengan nomor handphone dan catatan “Ambil di loket”. (*) 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved