Berita Budaya

Seni Rapa-i Daboh Terancam Punah, Ekses Kurangnya Generasi Penerus dan Perubahan Kualitas Tradisi

"Syair-syair lagu Rapa-i Daboh banyak yang sudah dilupakan karena sudah sangat jarang ditampilkan," ujar Ketua Kelompok Rapai Sinar Pelita, Raja.

Penulis: Jafaruddin | Editor: Saifullah
For Serambinews.com
SENI RAPAI - Ketua Kelompok Rapai Sinar Pelita dari Gampong Cot Dah, Kecamatan Tanah Luas, Kabupaten Aceh Utara, Raja Eumpang Breuh menyebutkan, seni rapa-i terancam punah karena kurangnya generasi penerus. 

Laporan Jafaruddin I Aceh Utara

SERAMBINEWS.COM, LHOKSUKON – Seni tradisional Rapa-i Daboh, salah satu warisan budaya khas Aceh yang sarat nilai spiritual dan sejarah, kini menghadapi ancaman kepunahan.

Kelompok Rapai Sinar Pelita dari Gampong Cot Dah, Kecamatan Tanah Luas, Kabupaten Aceh Utara yang merupakan bagian dari tradisi panjang seni rapa-i di kawasan Aceh Utara sejak 1955, menjadi saksi hidup atas menurunnya eksistensi seni ini.

Rapa-i Geleng, salah satu jenis seni rapa-i yang pernah berjaya di Cot Dah Tanah Luas, Baktiya Barat, Tanah Pasir, Cot Girek, Geureudong Pase, Lhoksukon, dan Nisam, serta Kuta Makmur, kini semakin jarang dipentaskan.

Begitu pula dengan Rapa-i Daboh, yang lebih sarat dengan unsur mistik dan ritual, semakin terpinggirkan seiring berjalannya waktu.

"Syair-syair lagu Rapa-i Daboh banyak yang sudah dilupakan karena sudah sangat jarang ditampilkan," ujar Ketua Kelompok Rapai Sinar Pelita Gampong Cot Sudah, Raja kepada Serambinews.com, Senin (16/6/2025).

Para syeh--pemimpin Rapa-i Daboh--kebanyakan sudah berusia di atas 50 tahun. Kondisinya memprihatinkan karena mereka semakin jarang tampil, apalagi melatih generasi baru.

Tercatat, penampilan terakhir Grup Rapai Sinar Pelita untuk tingkat kecamatan adalah pada 17 Agustus 2024. 

Sedangkan untuk tingkat kabupaten, mereka terakhir kali tampil pada tahun 2011.

Seni Rapa-i Daboh sempat vakum lama akibat konflik berkepanjangan di Aceh dan masa rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-tsunami.

Setelah itu, tantangan lain muncul dari perubahan kualitas alat musik rapa-i itu sendiri.

Dahulu, proses pembuatan rapa-i melalui upacara adat seperti peusijuek, dan kayu yang digunakan adalah akar pohon tualang--sejenis kayu yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual dan menghasilkan bunyi yang menggema jauh.

Kini, banyak rapa-i dibuat dari jenis pohon sembarangan tanpa melalui prosesi adat, yang membuat kualitas suara, dan nilai magisnya menurun drastis.

"Dulu, orang yang memainkan Rapa-i Daboh bisa kebal senjata tajam tanpa harus membaca mantra. Sekarang, nilai-nilai itu nyaris hilang," ujar Raja yang juga aktor serial film komedi Aceh Eumpang Breuh.

Kelangkaan pohon tualang serta semakin sedikitnya pengrajin rapa-i juga memperparah situasi. 

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved