Opini
Aceh dalam Cengkraman Narkoba
Tercatat, BNNP Aceh mengungkap 231,6 Kg sabu, 180,4 Kg ganja dan 292.594 butir ekstasi. Polda Aceh memusnahkan barang bukti narkotika 108 Kg sabu, 640
Brigjen Pol Drs Marzuki Ali Basyah MM, Kepala BNN Provinsi Aceh
ACEH, daerah yang selama ini dikenal dengan kekuatan nilai religius dan kearifan lokal, kini sedang menghadapi krisis yang sangat serius. Ditemukanya narkotika dalam jumlah yang fantastis di tanah Aceh menjadi bukti bahwa Aceh tidak hanya sebagai wilayah pengguna, tetapi juga telah menjadi pusat peredaran dan jalur utama distribusi narkotika di Indonesia.Masih 6 bulan berjalan di tahun 2025, angka mencengangkan tentang pengungkapan peredaran narkoba di Aceh. Tercatat, BNNP Aceh mengungkap 231,6 Kg sabu, 180,4 Kg ganja dan 292.594 butir ekstasi. Polda Aceh memusnahkan barang bukti narkotika 108 Kg sabu, 640 Kg ganja dan 25 Kg kokain.
Pengungkapan ini bukan hanya tentang jumlah dan angka, namun lebih dasyat dampak dari narkoba akan menggerogoti akar kehidupan masyarakat, pendidikan, ekonomi, dan nilai-nilai agama. Di balik setiap paket narkoba, tersembunyi jutaan nyawa anak-anak muda yang terancam masa depannya. 1 kilogram sabu dapat menghancur sekitar 4.000 orang pengguna, bayangkan jika ratusan kilo sabu beredar di Aceh, berapa ribu anak Aceh/generasi Aceh yang akan hancur?
Dampak menghancurkan
Data Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Aceh mencatat bahwa sepanjang tahun 2020-2024 sebanyak 2.730 klien penyalahguna narkotika wilayah Aceh yang telah dilakukan rehabilitasi oleh BNN.
Yang paling memprihatinkan, sebagian besar korban penyalahgunaan adalah generasi muda, bahkan anak-anak usia pelajar. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat pendidikan dan pembinaan karakter kini menjadi lahan yang mulai terkontaminasi zat adiktif berbahaya. Banyak remaja kehilangan arah, gagal menyelesaikan pendidikan, hingga mengalami gangguan jiwa akibat mengonsumsi narkoba yang berkepanjangan.
Kisah seorang mahasiswa dengan ekonomi keluarga yang pas-pasan mengalami gangguan jiwa di semester akhir pendidikannya pada salah satu universitas di Banda Aceh setelah lebih kurang 3 tahun menggunakan ganja dan sabu. Ada lagi kisah keluarga dari Takengon datang ke BNN Aceh membawa anak yang telah mengalami gangguan jiwa, setelah dilakukan asesmen si anak (usia 21 tahun) telah menggunakan ganja setiap hari selama lebih kurang 3 tahun, putus sekolah di bangku SLTA dan mengalami gangguan jiwa serius. Yang tragis, kisah seorang anak usia saat ini 18 tahun, penghafal Al-Quran 12 juz saat usia 12 tahun, kemudian masuk SMP di Banda Aceh, mengenal kawan-kawan yang pemakai, menjadi pemakai sabu dan putus sekolah.
Salah satu tokoh terkenal di Kota Banda Aceh Ustad MA bercerita pengalamannya saat berkunjung ke BNNP Aceh beberapa waktu lalu. Beliau bercerita merasakan efek dari ganja saat beliau menghadiri salah satu undangan kenduri yang menyuguhkan kuah beulangong, saat pulang beliau menyetir mobil dan merasa pusing/sakit kepala di perjalanan, dan beliau mengalami halusinasi. Beliau berhenti sejenak di pinggir jalan dan beliau tidak bisa menghadiri acara penting saat itu. Beliau mengatakan tidak berani lagi makan kuah beulangong jika ada undangan kenduri.
Mengancam Aceh
Ada apa dengan Aceh? Kenapa sabu bisa beredar begitu banyak hampir di seluruh pelosok gampong, mengapa anak-anak muda yang seharusnya ada di bangku pendidikan hari ini terseret penggunaan sabu dan ganja? Apa yang salah dengan Aceh.
Seorang peneliti dari Kanada yang telah setahun berada di Aceh, Louis Plottel menyebutkan bahwa kemiskinan dan ekonomi di Aceh menjadikan masyarakat Aceh tergiur untuk menjadi bandar narkoba. Ketimpangan ekonomi dan sulitnya mencari pekerjaan membuat banyak generasi muda mencari jalan pintas. Narkoba dianggap sebagai solusi cepat, baik sebagai pengguna untuk melupakan tekanan hidup, maupun sebagai pengedar untuk mendapatkan penghasilan. Bagi sebagian masyarakat yang hidup dalam himpitan ekonomi, narkoba dianggap sebagai jalan pintas untuk keluar dari kemiskinan. "Kami butuh beras untuk anak-anak kami, kami butuh makan, kami butuh uang untuk biaya anak-anak sekolah, cuma menjadi bandar solusi buat kami untuk mendapatkan uang,” begitu ungkapan mereka. Yang pada akhirnya penyesalan, harus mendekam di penjara puluhan tahun.
Kita melihat gambaran pergaulan anak-anak di Aceh saat ini. Sebagian besar aktivitas mereka dihabiskan dengan duduk dan nongkrong di warkop-warkop sampai larut malam, main game katanya, merokok, kemudian kenal dengan pengedar narkoba, coba sedikit narkoba, akhirnya menjadi kecanduan. Pergaulan bebas, kurangnya pengawasan orang tua menjadi faktor rentan menyebabkan anak-anak terpengaruhi oleh narkoba.
Orang tua tidak peduli dengan lingkungan pertemanan anak, kurangnya interaksi dan kedekatan dengan anak, komunikasi dan perhatian kepada anak sangat kurang. Anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, atau mengalami konflik di rumah cenderung mencari pelarian di luar. Dalam kondisi seperti ini, narkoba sering kali menjadi pelarian yang salah.
Di kesempatan lain saat BNN melakukan tes urine dan ditemukan beberapa jenis narkoba dalam satu paket yaitu sabu dan ekstasi, Setelah dilakukan asesmen lanjutan oleh tim BNNP Aceh, diketahui bahwa yang bersangkutan baru saja kembali dari perjalanan liburan ke luar Aceh. Hal ini memperkuat kekhawatiran bahwa peredaran dan penyalahgunaan narkoba tidak hanya bersumber dari dalam, tetapi juga bisa terbawa dari luar wilayah Aceh.
Meningkatnya penyalahgunaan narkoba di Aceh juga disebabkan minimnya fasilitas rehabilitasi gratis, pecandu tidak mendapatkan kesempatan pulih. Meskipun Negara ini darurat narkoba, namun fasilitas dan regulasi pendukung belum terasa optimal. Angka pengguna narkoba meningkat, akses rehabilitasi terbatas, jika menggunakan layanan swasta berbayar sekitar 3 juta per bulan. Jangankan untuk biaya rehabilitasi, untuk makan saja susah. Pecandu dibiarkan dan menjadi virus bagi anak-anak lain, mempengaruhi dan mengajak yang lainnya ikut memakai narkoba.
Tanggung jawab siapa
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.