Breaking News

Podcast Serambi

Lewat Buku ‘1 Kota 5 Agama di Aceh’, Dr Hasan Basri Bantah Tanah Rencong Intoleransi

Dalam buku ini, sebur Dr Hasan, banyak mengungkapkan fakta yang langsung bersumber dari pemeluk agama, yakni Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, Islam.

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Muhammad Hadi
Tangkap Layar Youtube Serambinews.
Penulis buku '1 Kota 5 Agama di Aceh', Dr Hasan Basri M Nur MA, menjadi narasumber dalam talkshow podcast TAMPIL DI TALKSHOW - Serambi Spotlight dengan tajuk 'Layakkah Aceh Disebut Tidak Toleran?". Podcast ini dipantu host Bukhari M Ali (News Manajer Serambi Indonesia) dan disiarkan langsung melalui Youtube Serambinews, Rabu (25/6/2025). 

Lalu ada Vihara Dharma Bhkati di Kampung Laksana.

Dalam penyelidikan, ternyata ada empat vihara yang terletak di dua desa, yakni Kampung Mulia dan Kampung Laksana. 

Adapun viraha tersebut, yakni Vihara Buddha Sakyamuni, Vihara Dewi Samudera, dan Vihara Maitri.

“Bukan hanya satu vihara, ada empat. Berjejer letaknya. Dalam buku ini ada diulas sejarah pembangunannya, jumlah umatnya, dan posisi dia dalam tempat ibadah serta sebagai lembaga sosial,” papar Dr Hasan.

Tak jauh dari situ juga ditemukan dua gereja protestan yang saling berdampingan, yakni Gereja Methodist dan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). 

Lalu berjarak kurang dari 1 kilometer terdapat lagi Gereja Paroki Hati Kudus untuk umat Katolik.

“Gereja Hati Kudus ini sudah dididikan oleh pemerintah Belanda pada masa kolonial dan ketika Belanda keluar dari Banda Aceh, gereja itu tetap dipertahankan,”

“Penguasa Aceh waktu itu tidak merobohkan gereja. Itulah menunjukkan bagaimana tingkat toleransi masyarakat Aceh,” jelasnya, seraya menambahkan bahwa tak jauh dari lokasi itu, ada Masjid Raya Baiturrahman. 

Oleh karena itu, Dr Hasan memandang bahwa menempatkan Banda Aceh sebagai kota intoleransi sangat merusak nama Provinsi Aceh. 

Sehingga hal ini akan berdampak dalam berbagai sektor, utamanya pariwisata.

“Kami meminta penempatan hal-hal negatif ini jangan menjadi stigma. Kami juga ingin orang luar melihat Aceh ini dalam kerangka kebijakan nasional, yang diberikan keistimewaan dan kekhususan,”

“Jangan terpengaruh dengan framing. Kami jamin tidak ada perlakuan diskriminatif di Aceh,” pungkasnya. 

(Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved