Berita Aceh Timur

Buaya di DAS Peureulak dan Arakundo Aceh Timur Makin Menakutkan, YAKATA Desak Solusi Jangka Panjang

Serangan buaya sungai (Crocodylus Porosus) di wilayah Perairan Kabupaten Aceh Timur menjadi teror menakutkan bagi warga di Kawasan Daerah Aliran Sunga

Penulis: Maulidi Alfata | Editor: Mursal Ismail
Dokumen pribadi 
KONFLIK DENGAN BUAYA - Zamzami Ali, Ketua YAKATA. Yayasan Konservasi Alam Timur Aceh (YAKATA) melihat konflik satwa dengan manusia di Aceh Timur semakin memprihatinkan. Semakin lama konflik tersebut, korban dari masyarakat juga terus bertambah. 

Serangan buaya sungai (Crocodylus Porosus) di wilayah Perairan Kabupaten Aceh Timur menjadi teror menakutkan bagi warga di Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Peureulak dan DAS Arakundo.

Laporan Maulidi Alfata | Aceh Timur

SERAMBINEWS.COM, IDI - Yayasan Konservasi Alam Timur Aceh (YAKATA) melihat konflik satwa dengan manusia di Aceh Timur semakin memprihatinkan.

Semakin lama konflik tersebut, korban dari masyarakat juga terus bertambah.

Serangan buaya sungai (Crocodylus Porosus) di wilayah Perairan Kabupaten Aceh Timur menjadi teror menakutkan bagi warga di Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Peureulak dan DAS Arakundo.

Aliran sungai itu juga merupakan habitat alami bagi buaya hingga menjadi lokasi rawan bagi warga yang beraktivitas di sungai.

Dalam rilis resmi yang diterima Serambinews.com, Kamis (26/6/2025), dalam pernyataan resminya, YAKATA menjelaskan bahwa buaya muara adalah satwa liar yang dilindungi undang-undang. 

Termasuk dalam jajaran predator puncak di ekosistem sungai.

Baca juga: VIDEO - Remaja Diterkam Buaya Saat Mandi di Krueng Meureubo Aceh Barat

Meski manusia bukan mangsa alami buaya, namun konflik kerap terjadi akibat insting bertahan hidup buaya yang terancam oleh aktivitas manusia di wilayah habitatnya.

“Interaksi negatif antara manusia dan buaya sebagian besar dipicu oleh meningkatnya populasi keduanya, serta eksploitasi wilayah sungai oleh manusia yang memicu perebutan ruang dan sumber daya,” terang Ketua YAKATA Zamzami Ali.

Tak hanya itu, berkurangnya ketersediaan pakan alami di sungai turut memaksa buaya untuk mencari mangsa lebih jauh dari habitatnya, bahkan hingga ke dekat pemukiman warga.

Limbah organik yang mencemari perairan juga memperburuk kondisi, menyebabkan buaya semakin sering muncul di sekitar aktivitas masyarakat.

"Di satu sisi, manusia juga berhak untuk bertahan hidup dan mencari rezeki di sungai.

Namun, manusia yang diciptkakan sebagai khalifah atau pemimpin di bumi, perlu beradaptasi dan mau tidak mau harus memahami perilaku buaya agar dapat hidup berdampingan," tuturnya. 

Baca juga: Sedang Retreat, Cara Bupati Aceh Timur Tunjukkan Kepedulian Terhadap Keluarga Korban Terkaman Buaya

Zamzami mengingatkan semua pihak tentang adanya  UU Nomor 32 Tahun 2024, sebagaimana perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Kewenangan konservasi buaya telah beralih dari Kementerian Kehutanan dalam hal ini Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA), kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Pemerintah Daerah.

"Solusi jangka pendek tidak akan menyelesaikan masalah.

Pemerintah perlu segera hadir dan memberikan solusi jangka panjang untuk mengatasi permasalahan ini, baik untuk melindungi ekosistem serta menjaga dan menjamin keberlangsungan serta keamanan hidup masyarakat," tuturnya. (*)

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved