Jurnalisme Warga

Dari Tiram ke Teknokrasi: Layakkah Jamaica Menjadi Wakil Menteri BUMN?

Bagi mereka yang mengenal rekam jejak dan dedikasi Jamaica, wacana ini bukan sekadar mimpi, ini akan menjadi kenyataan

Editor: mufti
IST
FAISAL, S.T., M.Pd., Tauke ‘Tirom’ Kawasan Julok, melaporkan dari Aceh Timur 

FAISAL, S.T., M.Pd., Tauke ‘Tirom’ Kawasan Julok, melaporkan dari Aceh Timur

SETIAP pergantian kepemimpinan, publik selalu menantikan siapa sosok baru yang akan mengisi jabatan penting di lingkaran strategis kekuasaan. Di tengah wacana ‘reshuffle’ Kabinet Indonesia Maju, satu nama yang mencuat dari Tanah Rencong adalah Syardani Syarif, lebih dikenal sebagai Teungku Jamaica. Mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini kini disebut-sebut sebagai kandidat kuat Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (Wamen BUMN).

Bagi sebagian orang, ini mungkin terdengar mengejutkan. Bagaimana bisa seorang eks pejuang bersenjata di hutan belantara Aceh, kini justru digadang-gadang mendampingi menteri yang membawahi urusan korporasi negara?

Bagi mereka yang mengenal rekam jejak dan dedikasi Jamaica, wacana ini bukan sekadar mimpi, ini akan menjadi kenyataan, buah dari proses panjang dan konsistensi yang tidak pernah berhenti.

Teungku Jamaica lahir di Meurandeh Paya, Kabupaten Aceh Utara, pada 5 April 1977. Anak desa yang sempat menempuh pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala, jurusan Kimia, ini memutuskan keluar dari kampus pada semester V demi satu panggilan besar: membela keadilan untuk negerinya yang kala itu bergolak.

Pada tahun 1998, ia resmi bergabung dengan GAM dan menjadi bagian dari barisan gerilyawan yang bergerak di wilayah Samudra Pase. 

Namanya mulai dikenal sebagai "Komputer", nama samaran yang melekat erat saat dirinya menjabat Juru Bicara GAM Wilayah Samudra Pase sejak 2001 hingga terwujud nota kesepahaman damai antara Pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki tahun 2005.

Seiring peralihan dari konflik ke damai, Teungku Jamaica mengambil peran sentral dalam proses transisi. Ia menjadi Sekretaris Majelis Pusat Sosialisasi MoU Helsinki, Deputi Koordinator Pendidikan dan Kebudayaan Majelis GAM, serta menjabat berbagai posisi strategis di Badan Reintegrasi Aceh (BRA).

Di masa rehabilitasi Aceh pascatsunami dan pascakonflik, Jamaica juga terlibat di BRR NAD-Nias sebagai Asisten Manajer Mediasi Kemitraan Perumahan dan Permukiman. Di sanalah ia mulai menancapkan pijakan kuatnya di bidang rekonsiliasi sosial dan ekonomi.

Beralih ke inovator

Barangkali tidak banyak yang tahu, di balik citra mantan kombatan yang kerap dikaitkan dengan konflik, tersimpan sosok Jamaica yang kreatif dan inovatif.

Pada tahun 2014, ia memperkenalkan Mesin Tanam Otomatis ‘Chitajok’.  ‘Chitajok’ merupakan alat yang memudahkan petani dalam menanam jagung, kedelai, kacang hijau, dan sejenisnya. Alat sederhana ini merupakan simbol transisi peran belai: dari pejuang konflik menuju pejuang teknologi.

Prestasinya tidak berhenti di situ. Tahun 2015, ia menjadi pelopor budi daya tiram metode sederhana yang menyasar nelayan kecil agar bisa mandiri. 

Tak lama kemudian, ia mengembangkan budi daya tiram superjumbo di perairan Ulee Lheue dan Alue Naga, Banda Aceh.

Langkahnya membudidayakan tiram genus ‘Ostrea’, spesies O. edulis itu bukan hanya soal bisnis, tapi ikhtiar nyata menggerakkan ekonomi masyarakat pesisir. 

Tiram superjumbo ini dijual dengan harga lebih tinggi daripada tiram biasa sehingga menjadi sumber pendapatan baru bagi masyarakat nelayan.

Jamaica menjelaskan bahwa budi daya ini menggunakan ‘Oyster Mesh Bag’ dan pelampung bantuan Kodam Iskandar Muda, yang bahkan diimpor langsung dari Tiongkok. Kini, ratusan ribu, bahkan jutaan bibit tiram super, telah tersebar di perairan Aceh.

"Ini bukan soal saya, melainkan tentang bagaimana rakyat kecil bisa sejahtera dari potensi laut kita yang selama ini tidur," ujarnya ketika dikonfirmasi.

Pengalaman birokrasi

Bagi banyak pengamat, kemampuan Jamaica dalam menjembatani komunitas akar rumput dengan sistem birokrasi formal adalah keunggulan langka. Ia bukan sekadar aktivis, melainkan juga pengelola program dan teknokrat yang memahami seluk-beluk sistem.

Pengalaman panjangnya di birokrasi mencakup posisi sebagai Staf Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh, Tenaga Ahli Komisi II DPRA, Tim Kerja Pemerintah Aceh, hingga menjabat Komisaris PT Pema Global Energi (PGE) tahun 2025 yang merupakan anak perusahaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang mengelola sektor energi Aceh.

Lebih dari itu, ia juga pernah menjadi Juru Bicara Partai Aceh dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Wilayah Aceh. Peran-peran ini memperlihatkan bahwa Jamaica mampu menjembatani kepentingan politik, ekonomi, dan sosial dengan komunikasi yang efektif dan terukur.

Kenapa layak jadi wamen?

Pertama, Teungku Jamaica memahami akar masalah ekonomi dari bawah. Ia tahu bagaimana rasanya menjadi petani, nelayan, bahkan rakyat biasa yang hanya berharap pada subsidi pupuk atau hasil laut yang tidak menentu. Ia hidup di antara mereka.

Kedua, ia memiliki pengalaman organisasi dan birokrasi lintas sector, mulai dari pendidikan, teknologi, pertanian, hingga energi. Tidak banyak figur yang bisa membuktikan dirinya relevan dalam berbagai lini seperti halnya Jamaica.

Ketiga, sosok Jamaica adalah representasi keberhasilan program reintegrasi dan rekonsiliasi nasional. Mengangkat mantan kombatan seperti dia ke posisi strategis bukan hanya simbol rekonsiliasi, melainkan juga wujud kepercayaan bahwa setiap warga negara punya kesempatan yang sama membangun negeri.

Keempat, ia membawa visi ekonomi berbasis rakyat dan kedaulatan lokal. Proyek tiram jumbo misalnya, bukan sekadar usaha bisnis, melainkan cermin dari pembangunan berbasis sumber daya lokal yang bisa direplikasi di banyak daerah.

Kelima, kepribadian Jamaica yang rendah hati, terbuka, dan tidak segan “turun ke lumpur” menjadi kelebihan dalam membangun komunikasi antara pemerintah pusat dan komunitas lokal.

“Kalau memang dipercaya, itu adalah amanah. Tapi, bagi saya, yang utama adalah terus bekerja. Kursi bisa datang dan pergi, tapi kerja tak boleh berhenti,” ujarnya tenang.

Simbol perubahan

Aceh telah banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional. Tokoh seperti Teungku Jamaica adalah wajah baru dari proses panjang transisi Aceh pascakonflik. Ia bukan politisi karbitan, bukan pula pengusaha instan. Ia ditempa oleh waktu, pengalaman, dan kesabaran.

Ketika Jakarta bicara tentang hilirisasi industri, transformasi ekonomi, dan pemberdayaan BUMN, kehadiran orang seperti Jamaica justru bisa memperkaya perspektif bahwa pembangunan tidak semata soal angka dan tabel Excel, tetapi juga soal keadilan sosial dan akses ekonomi yang merata hingga ke desa-desa terpencil.

Di era ketika rakyat menginginkan pemimpin yang paham realitas, Jamaica adalah contoh bahwa pengalaman lapangan bisa sejajar dengan gelar dan birokrasi. Ia membuktikan bahwa dari akar bisa tumbuh batang yang kokoh, dan dari desa bisa muncul calon negarawan.

Apakah ia akan benar-benar dilantik sebagai Wakil Menteri (Wamen) BUMN? Waktu yang akan menjawab. Namun, satu hal yang tidak perlu ditunggu: ia telah menjadi inspirasi bagi banyak orang bahwa masa lalu bukan halangan untuk menciptakan masa depan yang gemilang.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved