Pojok Humam Hamid

MSAKA21: Loyang Mandale dan Manusia Pertama Aceh – Bagian III

Dalam skema besar migrasi manusia, Sumatra bagian utara, terutama Aceh, memegang posisi yang sangat penting. 

Editor: Zaenal
For Serambinews
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Dalam konteks ini, masyarakat Gayo bukan hanya pewaris budaya lisan atau tradisi, tapi juga benar-benar anak kandung dari tanah dan sejarah “super klasik” yang mereka pijak.

Dalam lanskap sejarah panjang Asia Tenggara, keberadaan etnis Gayo seringkali berada di pinggiran narasi besar. 

Tapi temuan ini mengangkat Gayo ke pusat panggung. 

Mereka bukan sekadar penutur bahasa dari rumpun Austronesia, melainkan juga salah satu jejak terakhir dari apa yang oleh sebagian ahli disebut sebagai “Melayu Tua.” 

Istilah ini merujuk pada kelompok manusia yang datang lebih awal ke wilayah Nusantara sebelum gelombang migrasi besar dari Taiwan yang melahirkan rumpun Melayu Tua, para pembawa kebudayaan Austronesia yang lebih dominan.

Melayu Tua sering diidentikkan dengan masyarakat yang mendiami wilayah pedalaman, pegunungan, atau daerah-daerah yang kurang tersentuh kolonisasi dan urbanisasi. 

Mereka membawa tradisi megalitik, sistem kepercayaan animistik, serta teknologi pertanian sederhana. 

Dalam konteks Gayo, tradisi upacara, pola permukiman, dan bahkan sistem sosialnya mengandung banyak unsur konservatif yang dapat ditelusuri hingga masa prasejarah. 

Temuan di Mandale memperkuat dugaan ini. 

Bahwa Gayo bukan hanya simbol identitas lokal Aceh, tetapi juga memuat warisan manusia awal yang membawa serta fragmen sejarah Homo sapiens dari gelombang pertama migrasi ke Asia Tenggara.

Namun yang lebih penting dari semua ini adalah bagaimana ilmu pengetahuan, khususnya arkeogenetika, mulai membentuk narasi baru tentang identitas lokal dan nasional. 

Baca juga: Ketua Tim Peneliti Ceruk Mendale Ketut Wiradnyana: Kopi Gayo jadi Sumber Inspirasi

Objektif memahami siapa kita

Di tengah maraknya politik identitas dan tarik-menarik antara etnisitas, agama, dan nasionalisme, temuan-temuan seperti di Loyang Mandale menawarkan landasan yang lebih objektif untuk memahami siapa kita. 

Temuan itu  mengajak masyarakat untuk melihat bahwa identitas bukan hanya hasil dari narasi elite atau doktrin agama-politik, tetapi juga tertanam dalam tulang, darah, dan tanah.

Dampaknya bisa jauh melampaui ruang akademik. 

Di tingkat lokal, kesadaran bahwa masyarakat Gayo memiliki akar genetis langsung dengan manusia prasejarah dapat mendorong kebijakan pelestarian budaya yang lebih kuat. 

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved