Berita Aceh Jaya

Pemkab Aceh Jaya Larang Lomba Panjat Pinang di HUT Ke-80 RI, Ini Alasannya

"Melarang dan tidak melaksanakan kegiatan panjat pinang pada peringatan HUT ke-80 RI di wilayah Aceh Jaya."

Penulis: Riski Bintang | Editor: Saifullah
SERAMBITV
LARANGAN PANJAT PINANG - Ilustrasi lomba panjat pinang. Pemkab Aceh Jaya melarang pelaksanaan lomba panjat pinang pada perayaan HUT ke-80 RI tahun 2025 karena dinilai membahayakan dan tidak punya nilai edukasi. 

Ironisnya, yang dijadikan peserta adalah orang-orang pribumi, sementara para penjajah menonton dari kejauhan sambil tertawa. 

Tiang pinang dilumuri pelicin seperti oli, dan hadiah digantung di puncaknya. 

Para peserta harus berjuang keras untuk memanjat dan meraih hadiah, yang sering kali menjadi tontonan yang merendahkan.

Di wilayah seperti Fujian, Guangdong, dan Taiwan, tradisi serupa dikenal dengan nama qiang gu. 

Permainan ini sudah ada sejak zaman Dinasti Ming (abad ke-14), dan sempat dilarang pada masa Dinasti Qing karena sering menimbulkan korban jiwa.

Saat Jepang menduduki Taiwan, panjat pinang kembali populer dalam perayaan Festival Hantu, bahkan tiangnya bisa setinggi bangunan empat lantai.

Setelah Indonesia merdeka, masyarakat mengubah makna panjat pinang dari simbol penindasan menjadi lambang perjuangan dan kebersamaan. 

Kini, lomba ini menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan kemerdekaan, baik di kota maupun desa.

Panjat pinang bukan sekadar lomba fisik, tetapi juga sarat makna sebagai berikut:

Kerja Sama Tim: Peserta harus saling menopang dan bahu-membahu agar bisa mencapai puncak.

Pantang Menyerah: Tiang yang licin menjadi tantangan utama, menggambarkan perjuangan yang penuh rintangan.

Simbol Perjuangan Bangsa: Proses memanjat mencerminkan perjuangan rakyat Indonesia dalam meraih kemerdekaan.

Persatuan dan Kebersamaan: Lomba ini menyatukan berbagai kalangan dalam semangat yang sama.

Hingga kini, panjat pinang tetap menjadi daya tarik utama saat 17 Agustus. 

Hadiah-hadiah seperti sembako, alat rumah tangga, dan uang tunai digantung di puncak tiang pinang atau bambu yang dilumuri pelicin. 

Masyarakat menyambutnya dengan antusias sebagai ajang hiburan sekaligus refleksi nilai-nilai perjuangan.(*)

 

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved