Breaking News

Berita Aceh Jaya

Pemkab Aceh Jaya Larang Lomba Panjat Pinang di HUT Ke-80 RI, Ini Alasannya

"Melarang dan tidak melaksanakan kegiatan panjat pinang pada peringatan HUT ke-80 RI di wilayah Aceh Jaya."

Penulis: Riski Bintang | Editor: Saifullah
SERAMBITV
LARANGAN PANJAT PINANG - Ilustrasi lomba panjat pinang. Pemkab Aceh Jaya melarang pelaksanaan lomba panjat pinang pada perayaan HUT ke-80 RI tahun 2025 karena dinilai membahayakan dan tidak punya nilai edukasi. 

Laporan Riski Bintang | Aceh Jaya

SERAMBINEWS.COM, CALANG - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Jaya mengeluarkan imbauan dan larangan pelaksanaan kegiatan panjat pinang dalam rangka memperingati HUT ke-80 RI tahun 2025.

Hal itu disampaikan Pemkab melalui surat Instruksi Bupati Aceh Jaya Nomor 400.40.1.1/757/2025.

Surat yang ditandatangani Bupati Aceh Jaya, Safwandi per tanggal 6 Agustus 2025 itu menyebutkan, jika seluruh elemen masyarakat dan desa di kabupaten itu dilarang menggelar kegiatan panjat pinang.

"Melarang dan tidak melaksanakan kegiatan panjat pinang pada peringatan HUT ke-80 RI di wilayah Aceh Jaya, karena kegiatan tersebut tidak ada nilai edukasinya dan membahayakan pesertanya," dikutip dari surat itu.

Pun demikian, pemerintah tetap mengajak seluruh keuchik di kabupaten itu untuk memeriahkan peringatan HUT ke-80 RI dengan berbagai kegiatan menarik dan positif.

"Mengajak desa untuk menyelenggarakan kegiatan dalam menyambut HUT ke-80 RI," isi surat itu pada poin pertama.

Baca juga: Viral Panjat Pinang di Cianjur Berhadiah Janda Muda, Banyak Pria Berebut Ikut Lomba

Sementara itu, saat ini sejumlah wilayah di kabupaten itu mulai menyelenggarakan berbagai kegiatan.

Seperti turnamen bola voli, kejuaraan bola kaki, hingga sejumlah perlombaan untuk anak sekolah dalam rangka memeriahkan HUT ke-80 RI tahun 2025.

Sejarah Panjat Pinang

Panjat pinang adalah salah satu lomba tradisional yang paling ikonik dalam perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus. 

Di balik gelak tawa dan semangat kompetisi, tradisi ini menyimpan sejarah panjang yang mencerminkan perjalanan bangsa Indonesia dari masa penjajahan hingga kemerdekaan.

Panjat pinang sebenarnya bukan tradisi asli Nusantara. 

Lomba ini diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-20, sekitar tahun 1920–1930-an. 

Saat itu, panjat pinang digelar sebagai hiburan dalam pesta-pesta orang Belanda seperti ulang tahun, pernikahan, atau kenaikan jabatan.

Ironisnya, yang dijadikan peserta adalah orang-orang pribumi, sementara para penjajah menonton dari kejauhan sambil tertawa. 

Tiang pinang dilumuri pelicin seperti oli, dan hadiah digantung di puncaknya. 

Para peserta harus berjuang keras untuk memanjat dan meraih hadiah, yang sering kali menjadi tontonan yang merendahkan.

Di wilayah seperti Fujian, Guangdong, dan Taiwan, tradisi serupa dikenal dengan nama qiang gu. 

Permainan ini sudah ada sejak zaman Dinasti Ming (abad ke-14), dan sempat dilarang pada masa Dinasti Qing karena sering menimbulkan korban jiwa.

Saat Jepang menduduki Taiwan, panjat pinang kembali populer dalam perayaan Festival Hantu, bahkan tiangnya bisa setinggi bangunan empat lantai.

Setelah Indonesia merdeka, masyarakat mengubah makna panjat pinang dari simbol penindasan menjadi lambang perjuangan dan kebersamaan. 

Kini, lomba ini menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan kemerdekaan, baik di kota maupun desa.

Panjat pinang bukan sekadar lomba fisik, tetapi juga sarat makna sebagai berikut:

Kerja Sama Tim: Peserta harus saling menopang dan bahu-membahu agar bisa mencapai puncak.

Pantang Menyerah: Tiang yang licin menjadi tantangan utama, menggambarkan perjuangan yang penuh rintangan.

Simbol Perjuangan Bangsa: Proses memanjat mencerminkan perjuangan rakyat Indonesia dalam meraih kemerdekaan.

Persatuan dan Kebersamaan: Lomba ini menyatukan berbagai kalangan dalam semangat yang sama.

Hingga kini, panjat pinang tetap menjadi daya tarik utama saat 17 Agustus. 

Hadiah-hadiah seperti sembako, alat rumah tangga, dan uang tunai digantung di puncak tiang pinang atau bambu yang dilumuri pelicin. 

Masyarakat menyambutnya dengan antusias sebagai ajang hiburan sekaligus refleksi nilai-nilai perjuangan.(*)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved