Liputan Eksklusif Aceh

Terungkap Penyebab Upaya Pengendalian Buaya tidak Efektif, Ternyata Regulasinya tak Jelas

"Ketidakjelasan ini menyulitkan respon cepat saat konflik terjadi," tukas salah seorang pamong senior di Pemkab Aceh Singkil itu.

Penulis: Dede Rosadi | Editor: Saifullah
Serambi Indonesia
REGULASI PENANGANAN BUAYA - Kepala Dinas Perikan Aceh Singkil, Drs Saiful Umar, MSi mengungkapkan, penyebab tak efektifnya penanganan populasi buaya karena regulasi yang tidak jelas. 

Laporan Eksklusif Dede Rosadi | Aceh Singkil

SERAMBINEWS.COM, SINGKIL - Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Aceh Singkil, Drs Saiful Umar, MSi tidak menampik jika pemerintah daerah belum mengambil langkah pengendalian populasi buaya secara efektif. 

Penyebabnya adalah lantaran ketidakjelasan regulasi dan kewenangan penanganan buaya.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 mengubah kewenangan penanganan konflik buaya dari BKSDA ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta pemerintah daerah.

Namun belum ada aturan teknis pelaksanaannya. 

Sehingga menyulitkan respon cepat saat konflik manusia dengan buaya terjadi.

"Ketidakjelasan ini menyulitkan respon cepat saat konflik terjadi," tukas salah seorang pamong senior di Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Aceh Singkil itu.

Ia menguraikan secara rinci persoalan konflik manusia versus buaya di daerahnya. 

Mulai dari habitat buaya, penyebab konflik, hingga solusi mencegah konflik.

Baca juga: Meresahkan, Dewan Desak Pemerintah Segera Lakukan Penangkapan Buaya

Saiful Umar memulainya dengan menyampaikan lokasi rawan buaya di Aceh Singkil

Pertama Sungai Lae Soraya di Kecamatan Kota Baharu. 

Hal itu berdasarkan fakta, bahwa warga setempat dan aktivis keamanan menyampaikan keresahan terhadap aktivitas buaya air tawar yang makin meningkat di Sungai Lae Soraya. 

Kedua Sungai Lae Cinendang di Kecamatan Gunung Meriah.

Sungai itu menjadi daerah berisiko tinggi konflik buaya versus manusia, karena merupakan habitat alami buaya

Berikutnya, Sungai Singkil di Kecamatan Singkil, mulai dari Desa Teluk Rumbia dan Rantau Gedang.

Menurutnya, beberapa kasus korban luka dan korban jiwa terjadi di Kecamatan Singkil setelah diterkam buaya di perairan sungai dekat permukiman penduduk. 

Lalu di sungai Kuala Baru Kecamatan Kuala Baru. 

Baca juga: Buaya Mulai Merambah Hulu Sungai di Aceh Singkil, Habitatnya Kian Meluas  

Di wilayah itu pernah terjadi penyerangan buaya terhadap masyarakat yang beraktivitas di pinggir sungai. 

Lokasi rawan buaya berikutnya, ungkap Saiful Umar, adalah kawasan Danau Anak Laut di Kecamatan Singkil Utara. 

"Di kawasan Danau Anak Laut, sering ditemukan buaya yang melintas dan beberapa kali dapat ditangkap oleh warga untuk diserahkan kepada pihak keamanan/BKSDA," tukasnya.

Terakhir habitat buaya air asin di Kepulauan Banyak, yaitu Pulau Nago Resort, Pulau Matahari, Asantola, Ujung Sialit, Suka Makmur, Ujung Silingar, dan Asantola.

Di daerah kepulauan itu, tercatat beberapa kali ada serangan fatal buaya saat nelayan menyelam atau mencari ikan, teripang, dan udang lobster.

"Di Ujung Selingar, Kecamatan Pulau Banyak Barat, korban tewas saat mencari ikan dan teripang," ujarnya.

Terkait penyebab konflik manusia dengan buaya di Aceh Singkil, menurut Saiful Umar, salah satunya akibat tumpang tindih ruang hidup atau habitat.

Beberapa sungai di Kabupaten Aceh Singkil, sejak lama merupakan habitat alami buaya muara atau crocodylus porosus.

Baca juga: Ironi, Sarang Buaya Jadi Tempat Warga Aceh Singkil Mengais Rezeki 

Belakangan terjadi perluasan wilayah aktivitas nelayan.

Kondisi itu menyebabkan tumpang tindih dengan habitat buaya, sehingga menumbuhkan potensi konflik.

Penyebab lain aktivitas manusia yang berisiko. 

Seperti interaksi manusia dengan buaya meningkat pada malam hari atau senja saat periode aktif buaya

Mulai dari mencari ikan, pasang bubu, mencari teripang, atau mencari pakan ternak.

Hal itu berkaca dari beberapa korban tewas di lokasi rawan seperti perairan Kepulauan Banyak, Teluk Rumbia, dan Singkil karena aktivitas tradisional di perairan dekat habitat buaya.

Saiful Umar juga tidak membantah jika penyebab konflik buaya dengan manusia akibat populasi buaya meningkat tanpa pengendalian. 

Hal itu, sebutnya, faktor ketersediaan predator alami seperti biawak berkurang, sehingga populasi buaya tidak terkendali. 

Faktor ini disebabkan perburuan biawak sebagai pemangsa telur dan anak buaya

Penyebab lain adalah, kebiasaan buang bangkai ke sungai, sehingga menarik perhatiaan buaya ke area permukiman atau lokasi aktivitas manusia.

Baca juga: Kisah Korban Selamat dari Terkaman Buaya di Aceh Singkil, Mengais Nafkah dengan Tangan tak Sempurna 

Ia lantas membeberkan fakta-fakta di lapangan terkait peningkatan populasi buaya

Antara lain pernyataan dari nelayan di sepanjang perairan sungai dan laut serta pegiat lingkungan tentang populasi buaya semakin meningkat. 

Hal itu ditunjukkan dengan adanya kecemasan terhadap jumlah buaya yang mulai berlebihan dan mengancam keselamatan masyarakat.

Selain itu, sebutnya, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Singkil telah mengeluarkan pernyataan agar BKSDA melakukan survei populasi buaya.

Apakah ratusan atau bahkan ribuan, sebagai dasar kebijakan penanganan seperti penangkapan atau penangkaran.

Kemudian selama periode Januari-Agustus 2025, tercatat lima kasus interaksi negatif (term welcoming dengan manusia).

Hal ini menjadi indikator nyata bahwa buaya sudah semakin sering berhadapan dengan manusia akibat meningkatnya populasinya.

"Kesimpulan berdasarkan pengamatan lapangan dan keterangan publik, terdapat sinyal kuat bahwa populasi buaya di Aceh Singkil telah meningkat secara signifikan,” papar dia.

Baca juga: VIDEO - Buaya Sepanjang 2 Meter Terjebak Jaring Ikan Warga di Aceh Singkil

“Sehingga menjadi salah satu penyebab utama konflik antara manusia dan buaya," tegas putra Pulau Banyak tersebut. 

Adapun langkah mitigasi yang dilakukan untuk mencegah konflik manusia

dengan buaya antara lain sosialisasi dan edukasi. 

Dimulai dengan pemetaan lokasi rawan yang dapat dilakukan BKSDA, Dinas Perikanan, dan pemerintah desa. 

Setelah itu, ditindaklanjuti dengan pemasangan papan peringatan.

Lalu sosialisasi berkala prilaku aman, seperti tidak mandi dan mencuci di lokasi yang sudah terpantau ada buaya.

Menghindari aktivitas jam aktif buaya di tepi sungai saat pagi dan sore. 

Berikutnya pelatihan penanganan darurat, tentang prosedur evakuasi korban dan melapor ke petugas.

Selanjutnya langkah mitigasi fisik, dengan pemasangan pagar/pembatas dititik pemandian umum atau pelabuhan rakyat, agar buaya tidak masuk area aktivitas manusia.

Pemasangan lampu penerangan di area rawan untuk mencegah aktivitas diam-diam buaya di malam hari di sekitar dermaga atau lokasi tambatan perahu.

Baca juga: Buaya Tersangkut Jaring Nelayan Sungai Tanah Bara Aceh Singkil Jadi Tontonan Warga

Pembuatan tempat pembuangan bangkai ternak terpusat supaya tidak membuang bangkai ke sungai yang memancing buaya mendekat.

Tak kalah pentingnya adalah langkah mitigasi pengelolaan populasi dengan pendataan dan monitoring populasi dengan survei berkala jumlah buaya

Lalu relokasi buaya yang sudah terbiasa mendekat permukiman penduduk.

Pengaturan habitat dengan menjaga keseimbangan rantai makanan, misalnya melarang perburuan biawak dan predator alami lainnya.

Sedangkan mitigasi jangka panjang antara lain; Program ekowisata buaya dengan mengubah potensi buaya menjadi aset wisata edukasi, sehingga masyarakat mendapat manfaat ekonomi sambil menjaga jarak aman.

Menerapkan zona larangan aktivitas di beberapa muara atau segmen sungai yang dijadikan konservasi buaya tanpa akses manusia.

Pembuatan regulasi daerah khusus yang mengatur tata cara hidup berdampingan

dengan satwa liar.

Terakhir, Saiful Umar, mengemukakan solusi yang dapat dilakukan, yaitu menjaga rantai makanan dan ekosistem.

Tujuannya mengembalikan keseimbangan ekologi sehingga buaya tetap berada di habitat alaminya dan tidak terdorong mendekat manusia.

Dimulai dengan menjaga ketersediaan mangsa alami melalui pembatasan penangkapan ikan berlebihan (overfishing) di wilayah sungai/rawa yang jadi habitat buaya.

Lestarikan populasi satwa mangsa (ikan, burung air dan reptil kecil) dengan pengaturan alat tangkap dan musim tangkap.

Perlindungan habitat dengan melindungi rawa, hutan mangrove, dan tepian sungai dari alih fungsi lahan.

Rehabilitasi habitat rusak dengan penanaman kembali mangrove atau vegetasi tepi sungai.

Penangkaran dan Pengelolaan Populasi

Bila populasi buaya terlalu tinggi atau sering muncul di permukiman, maka harus dilakukan pengendalian aktif. 

Dengan pembuatan pusat penangkaran (rescue center) di lokasi aman jauh dari permukiman.

Bisa juga dengan model penangkaran semi alami. 

Model ini dilakukan dengan penangkaran buaya di area luas menyerupai habitat asli, digunakan untuk wisata edukasi, penelitian, dan menjaga stok genetik.(*)

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved