Karya Hendra Kasmi
DENGAN jiwa yang bergemuruh kutatap gubuk itu dalam keremangan. Malam kian larut. Bulan pucat yang terpacak di langit barat sedikit membantu menemukan tempat ini. Kutapaki lantai gubuk perlahan-lahan. Suaranya yang berderit telah membangunkan sosok itu. Ya, Ilyas telah menanti di sana dengan siaga. Ia adalah penerus perjuangan Teungku Ali di Pemukiman Ujong Tanjong, menggantikanku yang dituduh berkhianat. Konon, ketangguhan pasukan Ilyas sejak masa Teungku Ali betul-betul mendapat perhatian serius dari Mayor Van Domfesaler, pemimpin militer Belanda di Meulaboh. Betapa tidak, setiap serangan yang mereka lakukan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi militer kolonial.
Pantas jika sang Mayor menjuluki pasukan itu dengan nama “Oemar Kedua”. Sebab, strategi serangan mereka sangat terlatih, menyerang tiba-tiba lalu menghilang dengan cepat. Makanya, mayor langsung menugasiku untuk menyelidiki sepak terjang pasukan ini. Sebab, akulah satu-satunya anggota PID, polisi rahasia, yang pernah lahir dan besar di kemukiman Ujong Tanjong, Meulaboh. Menurut beliau, aku paham betul tentang kondisi di wilayah itu. Aku menerima tugas ini dengan perasaan riang. Kuharap inilah saatnya memperbaiki hubungan baik dengan orang-orang Ilyas, sekaligus waktunya untuk membelot dari Belanda.
Suasana kian mencekam di gubuk ini. Hanya terdengar suara jangkrik yang mencabik kesunyian. Sudah sepuluh tahun aku berpisah dengan Ilyas. Semestinya pertemuan ini diwarnai dengan kehangatan dengan saling merangkul. Kalau lebih dramatis lagi, ada titik embun yang membuncah dari bola mata. Lalu kami akan saling bercerita tentang kenangan masa lalu yang sangat berkesan. Namun apa boleh buat, hidup tidaklah selurus seperti yang direncanakan. Takdir telah mempertemukan kami sebagai dua pihak yang berbeda. Bukan, bukan kesetiaanku kepada Belanda, aku tak akan pernah mengabdi kepada mereka, tetapi pilihan ini semata-mata karena dendam. Orang-orang Teungku Ali telah melakukan fitnah keji terhadapku. Otaknya adalah Ilyas.
Padahal aku dengan Ilyas sudah bersahabat sejak kecil. Bahkan hubungan kami seperti saudara saja. Kemana pergi kami selalu berdua. Masih terbayang, bagaimana sehabis mengaji di dayah Teungku Ali, aku dan Ilyas hampir selalu melakukan tradisi ke jamban. Bukan untuk buang air besar tentunya, tetapi mengintip kamar Nurul Fitri-putri sulung Teungku Ali yang cantiknya aduhai-melalui sebuah celah yang tembus ke bilik gadis itu. Pernah suatu ketika kami tertangkap basah oleh istri Teungku Ali. Kami dihukum membersihkan pekarangan setengah hari dan menghafal Al Quran 30 juzz, satu juz setiap satu malam.
Tahun berganti tahun, usia kami beranjak dewasa. Di Meulaboh pun sering terjadi bentrokan antara pejuang pribumi dengan marsose Belanda. Aku mendapat perintah dari Teungku Ali agar memimpin para santri untuk melakukan perlawanan di Ujong Tanjong, sedangkan Ilyas tetap di dayah menjadi pemimpin. Nurul Fitri pun tumbuh menjadi gadis yang jelita. Aku tertarik padanya. Namun, kabar terakhir yang kudengar telah menikam perasaanku. Aku terluka ketika mendengar bahwa diri Nurul Fitri akan dijodohkan dengan Ilyas. Hingga tragedi di dayah Teungku Ali membuat aku harus pergi selamanya dari kampung ini, dengan membawa luka hati yang nyaris tak tersembuhkan akibat tuduhan yang semena-mena itu.
Kini, di sini di balik kelam, kami bertemu kembali.”Rupanya kau kembali juga pengkhianat!” Suara dalam keremangan itu terdengar serak. Walau gubuk ini hanya disinari pelita, samar dapat kulihat wajah Ilyas memerah. “Usai membunuhku. Kau pikir bisa menjual semua informasi untuk kaphee Belanda,” sambungnya.
“Ilyas, aku datang ke sini dengan maksud baik. Aku ingin membantah bahwa bahwa apa yang kau tuduhkan itu tak benar.”
“Hah, jelas-jelas kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Sehabis bangsat Belanda membakar dayah kami, kau tiba dan menculik Nurul Fitri. Bukankah kau menginginkan kami mati semua? Berapa kau dibayar untuk semuat itu?”
“Demi Allah aku bersumpah. Aku menyelamatkannya. Bukan menculiknya.”
“Pengkhianat mana ada yang mau mengaku.”
Tanganku bergetar. Pertanda kesabaranku habis. Kuambil rencong yang terselip di pinggang dan salam sekedip mata tertancap di perut Ilyas. Ia mengerang. Darah berpecikan di lantai papan dan dinding gubuk. Ilyas mati ditengah amarahku yang tak terkendalikan. Aku menangis di depan mayatnya. Kututup matanya yang terbelalak. Seharusnya hal ini tak perlu terjadi. Tak seharusnya!
Tiba-tiba terdengar suara riuh dari kejauhan. Saat kuintip dari celah gubuk, tampak terlihat cahaya obor memanjang beriringan seperti semut rangrang. Mereka menuju gubuk. Aku segera melarikan diri. Namun, sesuara derap telapak kaki kian mendekat. Dan, sosok itu….
“Astagfirullah apa yang kau lakukan terhadap suamiku?” ujar perempuan berkerudung itu. Dapat kulihat dari gurat wajah rupawannya yang memerah, terukir murka yang tak terlukiskan. Aku masih mengenalnya.
“Maafkan aku, Nurul! Aku tak dapat mengendalikan diri. Sekarang terserah jika kau mau membunuhku sekarang, lakukanlah! Cukup sudah kau saja yang percaya hal sebenarnya tentang apa yang terjadi.”