“Kau pikir aku akan memaafkanmu pembunuh”
“Ya, bunuhlah pengkhianat ini,” aku menyerahkan rencong padanya. “Bunuhlah.” Perempuan itu mengambil rencong dengan tangan gemetar. Tatapannya tajam bergelora. Ia menyabitkan rencong yang telah membunuh suaminya. Aku meraba perutku dalam pejaman mata. Masih utuh. Rencong tadi hanya merobek dinding gubuk.
“Larilah. Sebelum orang-orang itu mengulitimu,” ujarnya berpaling. “Aku sekarang di pihak kalian,” ujarku setengah berbisik. Tak ada reaksi apa-apa darinya. Aku tak punya waktu. Kerumunan itu kian mendekat. Derap langkah mulai menyentak lantai gubuk seperti genderang tarian maut. Segera kuambil langkah seribu melalui pintu belakang. Aku terus berlari menjauhi suara kemarahan itu, menerjang lautan ilalang dengan seribu pertanyaan yang terus berkecamuk tentang maksud pertolongan perempuan berkulit kuning langsat itu.
* Hendra Kasmi, mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia PPs Unsyiah.