Cerpen

Pengawal

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Saya pun datang lagi ke rumahnya. Kami seperti biasa, duduk lesehan di tikar pandan mewah rajutan khusus. Rupanya Tuan Abdullah mulai dihantui oleh teorinya, bahwa tekhnologi yang pada dasarnya ciptaan manusia, juga dengan amat mudah dilumpuhkan oleh manusia yang memiliki tingkat pengetahuan yang sama. Nah, jika manusia dengan jenis ini hendak menyerang mahligainya, maka dengan sangat mudah itu dapat terjadi.

“Jadi? Ya, ampun, gila nian Tuan ini! Lalu apa lagi yang harus kita lakukan untuk pengamanan mutlak rumah orang kaya rada bocor macam ini?” tanya saya. “Anjing!” jawabnya.

“Tapi, tunggu dulu,” kata saya. “Apa tujuan Tuan melapisi ratusan penjaga plus sistem keamanan dengan anjing?” Tuan Abdullah menerangkan, “Manusia bisa tidur tanpa sengaja dan terlelap tanpa tahu apa-apa. Sistem pengamanan elektronik dapat dilumpuhkan oleh orang yang ahli bidang itu. Nah, anjing, kalau pun ia tidur, instingnya tetap menyala. Sekecil apa pun ada yang mencurigakan, dia akan terkejut dan spontan menggonggong, dan pada saat itu semua pengawal yang tadi tertidur akan bangun serentak.”

Waktu itu saya langsung dapat menebak rencana Tuan Abdullah. Ketika Tuan Abdullah memaparkan niatnya, persis seperti saya duga. Dua ekor anjing kampung bertugas mengawal seluruh lingkungan rumah. Dua anjing kampung ini masing-masing dikawal oleh dua ekor anjing kampung lagi. Empat ekor anjing kampung berikutnya dikawal lagi oleh dua ekor anjing kampung lainnya. Delapan ekor anjing kampung terakhir ini masing-masing dikawal lagi oleh…begitulah seterusnya sehingga saya tak ingat lagi berapa ratus ekor anjing kampung yang tiap hari berjalan-jalan bersiliweran di antara kaki-kaki tegap para pengawal.

***

Telepon genggam saya berdering lagi. Kali ini saya mengangkatnya. “Hallo, assalamu’alaikum. Ada apa Tuan Abdullah? Nampaknya penting sekali.”

“Wa’alaikumsalam. Tidak, masalahnya, mimpimu sampai di mana tadi?”

“O, itu? Baik. Ketika saya tantang, Malaikat Maut berkata, ‘Masalah kamu mati di ujung parang pedagang ikan, itu perkara lain. Sekarang aku diutus Tuhan untuk mencabut nyawamu, titik!’ Demikian penegasan Malaikat.”

“Lalu?”

“Maaf, Tuan. Sampai di bagian ini saya sangat segan melanjutkannya. Justru karena bagian inilah yang membuat saya hampir tidak menceritakan mimpi ini pada Tuan. Namun mengingat apa yang terjadi dalam mimpi itu sesuatu yang benar-benar akan terjadi, saya tidak mungkin memeram hingga Tuan tidak mengetahuinya samasekali.”

“‘Sesuatu yang benar-benar akan terjadi’, apa maksudmu dengan kata-kata itu?”

“Dalam mimpi itu Malaikat benar-benar bersumpah bahwa meski itu hanya mimpi tapi semua akan menjadi nyata. Dan pada subuh, saya serta-merta berlari ke halaman mesjid, menunggu Teungku Abdurrahman shalat subuh, lalu saya memaparkan semua kisah dalam mimpi dengan suara bergetar karena takut, dan Teungku Abdurrahman mengatakan, ‘Subhanallah, kau orang yang mendapat ilham dari Allah. Maka sejak ini, tinggalkanlah semua pekerjaan berdosa, berzina, menghisap shabu, ganja, memeras pedagang lemah di pasar ikan dan lain-lain. Bertaubatlah. Semua yang ada dalam mimpimu itu akan menjadi kenyataan.’ Begitu kata Teungku Abdurrahman.”

“Kamu sebenarnya mimpi apa?! Kok serius sekali? O-ya! Tadi katamu Malaikat berkata, ‘Sekarang saya diutus Tuhan untuk mencabut nyawamu, titik!’ Nah, setelah itu apa yang terjadi?”

“Nah, lalu saya bilang pada Malaikat, ‘Tak perlu wahai Malaikat engkau bersusah-payah mencabut nyawa saya, saya sendiri bisa menikam jantung sendiri dengan rencong ini semudah saya menyembelih seekor ayam. Apa artinya kematian seorang bajingan pasar ikan seperti saya? Apa hebatnya engkau wahai Malaikat sebagai Malaikat Maut kalau hanya bertugas mencabut nyawa seorang yang sangat hina dan lemah seperti tikus got pasar ikan ini? Lihatlah wahai Malaikat Tuan Abdullah yang begitu ketat penjagaan keamanan terhadap dirinya, apa engkau bisa datang memasuki kamarnya dan mencabut nyawanya?’”

“Haaaaa?!”

Halaman
1234

Berita Terkini