Cerpen

Mata di Sudut Jendela

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

“Ya sudah, tanyalah Bu Guru.”

“Apakah kalian tahu rumah panggung dekat rumah Bu Guru?Itu rumah siapa dan tahu tidak siapa yang sering mengintip dari balik jendela?”

 Untuk sesaat mereka diam sebelum akhirnya dengan kompak menggeleng dan berkata,”Tidak tahu.”

Ini sedikit aneh.Bagaimana mungkin mereka tidak mengenal tetangga mereka sendiri? Bahkan tidak satupun diantara mereka? Tapi aku tidak bisa memaksa mereka, mungkin saja mereka memang benar-benar tidak tahu atau mereka dilarang untuk memberi tahu. Rasanya aku memilih jawaban yang terakhir, mungkin mereka atau semua orang di sini mengetahui sesuatu namun mendapat larangan menceritakannya.

Siang hari berjalan kaki dibawah payung matahari, tidaklah mudah bagiku yang terbiasa menggunakan kenderaan. Apalagi rasanya matahari siang ini benar-benar panas melebihi hari-hari kemarin. Tidak ada kendaraan umum disini, samua warga berjalan kaki atau sepeda. Kalaupun ingin menggunakan kendaraan umum warga menunggunya dipersimpangan jalan masuk kedesa ini. Karena aku tidak bisa naik sepeda jadi aku memilih berjalan kaki. Selain kakiku sakit aku juga harus menahan sakitnya pipiku setiap kali aku berjalan melewati jalan yang masih penuh dengan batu-batu kerikil, itu semua dikarenakan aku harus terus tersenyum kepada setiap warga yang tidak pernah bosan menyapa dan sebagai balasan mereka mendapatkan senyumanku.

Langkahku semakin mendekati rumah panggung sipemilik mata itu, aku mulai melambatkan langkah kakiku untuk memastikan melihat mata itu lagi. Entah untuk apa aku ingin sekali mengetahui mata siapa itu, tapi yang jelas kehadiran mata dibalik jendela itu membuatku bertanya-tanya. Tidak seorangpun yang berkenan memberi tahu jawabannya. Kalau begitu harus aku sendiri yang mencari tahu jawaban dari pertanyaanku. Seolah-olah memang ditakdirkan untuk menemukan jawabannya, pintu rumah itu terbuka walau tidak selebar seharusnya. Sejenak aku berdiri terpaku diluar gerbang rumah itu, melihat sekelilingku entah untuk memastikan apa.

Dengan menahan nafas, aku membuka pintu gerbang yang terbuat dari bambu. Mungkin seperti inilah tingkah laku seorang pencuri. Tapi aku tidak ingin mencuri apapun, aku hanya ingin mencari tahu jawaban dari pertanyaan yang sudah beberapa minggu ini mengganggu pikiranku. Apa mungkin saat ini yang aku lakukan adalah pencurian? Sebab masuk tanpa izin sang empunya rumah.

Rasa penasaranku lebih kuat daripada perasaan bersalah ataupun takut. Aku terus melangkahkan kakiku memasuki halaman yang kering tanpa ditumbuhi bunga-bunga, kecuali beberapa pohon pisang. Sebelum menaiki tangga rumah panggung ini terlebih dahulu aku memastikan agar sepatu tapak rataku tidak menghasilkan suara apapun agar tidak ada yang mengetahui kehadiranku. Tindakan yang kulakukan ini jelas aneh, kenapa tidak kucoba bersilaturahmi dengan baik ke rumah ini? Tapi kenyataannya tidak ada orang bertamu kerumah ini semenjak bertahun-tahun yang lalu karena pemililk rumah tidak mau menerima tamu, paling tidak itu yang pernah aku dengar dari masyarakat yang pernah aku tanyai dan hanya sebatas itu mereka menjawab.

Sekarang ini aku sudah memegang pintu bersiap untuk membuka sedikit lebih lebar agar aku bisa masuk.

Aku terkejut saat membuka pintu, dihadapanku yang hanya berjarak 3 kaki berdiri seorang perempuan yang mungkin saja usianya sekitaran 25 tahun. Perempuan ini mengenakan baju daster dan kain sarung. Dia cantik dengan kulit putih pucat.Hanya saja penampilannya seperti orang tua, ditambah dia menyanggul asal-asalan rambutnya.

Aku mulai merasa ketakutan, semua hal-hal buruk melintas dikepalaku dan yang paling membuatku takut adalah pemikiran bahwa mungkin saja orang ini gila. Tapi perempuan ini tersenyum kearahku, senyum yang cukup ramah menurutku.

“Aku sama sepertimu.Hanya saja kau tidak terkurung didalam rumah,” perempuan ini itu berbicara kepadaku.

Tiba-tiba sebuah hardikan dari arah belakang mengagetkanku, “Sedang apa Bu Guru di sini?” suara seorang perempuan tua.

Aku kehilangan kata-kata sekaligus suaraku. Aku tertangkap basah dan rasanya apapun alasan yang akan aku berikan tidak akan dapat diterima.

“Sebaiknya Bu Guru cepat pergi!”

Halaman
123

Berita Terkini