Cerpen

Lorong Jontor

Editor: hasyim
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Tauris Mustafa

“Lorong Jontor harus dimusnahkan selamanya,” pintanya.

“Kami akan berupaya semampunya,” tegas polisi itu.

Tiba-tiba seorang santri yang sangat mengagumi Syekh Abu mengajukan protes karena merasa para polisi tersebut telah menzalimi tokoh idolanya.

“Ini tidak adil,” katanya.

“Sebelum bicara tentang keadilan, kau harus memahami hukum terlebih dahulu, Nak,” tanggap polisi itu.

Tidak ingin dianggap bodoh, santri itu membela diri. “Anak Syekh Abu yang fasik itu pantas mati,” katanya. “Karena hukum yang kami imani memerintahkan orang seperti dia untuk dirajam.”

“Hahaha. Maafkan saya, Nak! Negara kita tidak dikendalikan oleh agama.”

Hampir saja ucapan polisi itu memancing kobaran amarah yang lebih besar. Namun dalam keadaan yang demikian genting, Syekh Abu kembali mengambil tindakan yang bijak.

“Sudahlah,” katanya. “Saya yang telah memutuskan untuk ikut bersama mereka. Tugas kalian adalah mempertahankan prinsip amar maruf nahi munkar di kampung ini.”

Titah itu disambut dengan gemuruh takbir yang menggema dan saling bersahutan. Di antara para santri, bahkan ada yang menangis haru, karena tidak sanggup melepaskan kepergian sang guru.

                                                      ***

Kabar tentang penangkapan Syekh Abu menyebar dengan cepat ke semua tempat. Mulai dari media cetak sampai media elektronik, memuat peristiwa itu sebagai kepala berita. Hal ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra yang tidak berkesudahan. Bagi kubu yang setuju dengan tindakan Syekh Abu, mengajukan banding kepada pemerintah agar tengku itu dibebaskan tanpa syarat. Mayoritas anggotanya adalah para ulama dan simpatisan organisasi yang berlandaskan Islam. Walaupun berasal dari mazhabyang berbeda, dalam perkara ini mereka sepakat untuk bersatu.

“Polisi tidak berhak melakukan penangkapan,” kata juru bicara mereka di salah satu stasiun TV. “Salah satu kewajiban seorang ayah adalah menuntun anaknya ke jalan yang benar, dan Syekh Abu telah memenuhinya. Tidak ada kemanusiaan di dalam ketegasan. Sosok seperti beliau adalah pemimpin idaman yang harus dijunjung tinggi agar keadilan sejati bisa tegak di negeri ini.”

Fatwa itu disambut dengan gegap gempita oleh semua orang yang merasa berdiri di pihak yang benar. Di samping itu, kubu yang mendukung penangkapan Syekh Abu tidak mau kalah. Mereka justru mengutuk tindakan Syekh Abu terhadap almarhum anaknya, berdasarkan landasan yang humanis. Berbagai alasan mereka lontarkan untuk membenamkan posisi tengku yang telah menjadi tersangka itu ke dalam kubangan lumpur yang lebih keji.

“Sudah cukup menyalahkan Tuhan karena keangkuhan seorang manusia,” kata juru bicara mereka. “Agama itu sumber kedamaian. Tidak ada alasan untuk melakukan pembunuhan dengan mengatasnamakan Tuhan. Fitrah manusia adalah makhluk yang bebas. Kami hanya ingin tegaknya keadilan yang hakiki. Oleh karenanya kami menuntut agar pria tua berjenggot itu dihukum sesuaidengan undang-undang yang berlaku di negeri kita.”

Halaman
123

Berita Terkini